"Jadi pergi?"
Aku melempar pertanyaan sambil merapikan barangku. Aku melihat Zaq masih bermalas-malasan. Beberapa saat yang lalu, ia mengeluh karena bingung mau melakukan apa karena biasanya Zaq banyak menghabiskan waktu di depan komputer.
Zaq melihat ponselnya, "tunggu jawaban ibu."
Sekarang hampir pukul tujuh malam. Setelah dari kafe, kami berencana pergi ke penginapan Zaq. Mumpung ada kesempatan berada di satu kota yang sama, sekalian saja menyapa ibu dan keluarganya. Ternyata aku jauh lebih gugup daripada saat mau bertemu Zaq. Aku melihat diriku di kaca sambil merapikan dandanan. Anak tengil itu masih bermalas-malasan, kali ini sambil melihatku. Saat mata kami bertemu, ia bertanya, "kenapa? Iri lihat aku malas-malasan?"
Zaq mengeluarkan parfum dari dalam tas ajaibnya. Aku menyebutnya tas ajaib karena semua barang seakan ada disana. Ia membawa banyak hal. Aku heran kenapa ada pisau lipat, salep, minyak kayu putih, sajadah travel, tisu biasa, tisu basah di dalam tasnya.
"Hansaplas ada?"
Zaq mengangguk, "ada, kamu mau?"
....
Isi tas anak ini lebih serba ada ketimbang tas milikku. Dalam tas kecilku, aku hanya membawa dompet dan ponsel. Aku bisa memahami kenapa ia membawa itu semua, tapi yang tidak kupahami adalah kenapa ada salep disana. Itu adalah salep guci pusaka yang pernah ia rekomendasikan padaku saat aku memberi tahunya ada lebam di lututku karena terantuk rak buku.
Kadang, ada kalanya Zaq terlihat seperti ibu-ibu saat kami mengobrol secara online. Ia mengomel tentang banyak hal. Omelannya yang terakhir (dan masih berlangsung sampai sekarang) adalah saat aku pergi jalan-jalan malam hari dan pulang membawa dua es krim untuk kumakan sendiri. Ia mengomel karena aku makan es malam-malam, dua es krim pula. Melihat tas ajaibnya, ternyata sisi ibu-ibu itu memang ada padanya.
Zaq menyodorkan salep itu padaku, "ini buatmu. Kamu bawa aja. Siapa tau kamu punya memar lagi kayak kemarin."
Aku mengambil salep dengan wadah putih kecil itu dari tangannya. Aku bingung akan aku apakan salep ini nantinya, "ini bisa dipakai buat apa?"
"Apa aja."
"Luka kena serangga?"
"Bisa."
Aku menimang salep mini itu. Bahkan isi tas ajaibnya pun ajaib, ada salep serba bisa. Aku berkata terima kasih padanya dan menaruh salep itu ke dalam pouch milikku. Kulitku lumayan sensitif, bahkan kadang gatal hanya karena debu. Jadi kurasa salep ini akan berguna nantinya.
Zaq menyemprotkan parfum melati miliknya. Bukan tipikal parfum yang sekali semprot langsung wangi satu ruangan, tapi tipikal parfum yang baru tercium jika jaraknya dekat. Zaq mendekat ke arahku agar aku bisa mencium baunya. Wangi melati tulen, tanpa ada campuran aroma lain. Hanya melati.
Aku tertawa dan berkata, "kunti core."
"Iya nanti dateng lewat jendela kamarmu."
Aku melotot ke arah Zaq, "jangan gitu. Aku tidur sendirian." ia tertawa.
Zaq suka bunga melati. Ia bercerita kalau halaman rumah uwa ditanami banyak melati yang ketika musimnya mekar, bau melati semerbak berhasil mengusir sekumpulan orang yang suka nongkrong. Kunti core, begitu kataku lagi. Zaq pernah mencoba menanam melati, tapi gagal. Ada satu yang berhasil, katanya, karena ditanam di tanah yang sama seperti pekarangan uwa. Tapi bunganya tidak banyak, katanya lagi.
Aku tidak punya keberanian untuk berandai. Tapi jika berandai adalah sebuah doa, maka aku harap kami bisa menanam melati di pekarangan yang sama. Aku tidak tahu masa depan akan membawaku kemana, tapi aku ingin menjaga apa yang kupunya sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar