Aku orang yang sangat mudah untuk tidur. Bahkan keluargaku kagum sekaligus heran dengan bakat tidur milikku. Aku bisa tidur dimana saja, seakan.. apapun yang terjadi, aku akan tidur dulu. Tapi, malam ini aku sama sekali tidak bisa tidur. Aku tahu besok adalah hari yang penting. Justru karena aku sangat menyadari hal itu, akhirnya aku tidak bisa tidur. Ternyata akan ada hari dimana kemampuan tidurku dikalahkan oleh rasa gugupku sendiri.
Akhirnya aku menyerah berusaha tidur dan membiarkan pagi datang begitu saja. Aku membuka gorden jendela dan kaget karena ternyata aku bisa melihat matahari terbit dari sini! Biasanya, matahari terbit atau tenggelam terlihat tidak ada istimewanya bagiku. Tapi, dalam kondisi tidak tidur karena perasaanku berisik karena ulah seseorang, matahari pagi terlihat cantik. Aku mengambil foto dan mengirimkannya pada Zaq.
"Oh, bagus ya. Sawah sih. Ga salah emang tempat yang kupilih."
Aku tersenyum, bukan, ini senyum dimana kamu menaikkan salah satu ujung bibir. Bagiku, itu teks yang bisa didengar. Aku seperti bisa mendengar suaranya yang tengil menyombongkan dirinya. Tapi harus kuakui pilihannya bagus, jadi aku membiarkannya kali ini.
Zaq membantuku memilih penginapan di Jogja. Ia mencari yang dekat dengan penginapannya. Tempat ini kurasa jauh dari peradaban, begitu kataku setelah sampai di stasiun Brambanan. Zaq menjawab, "di pinggir jalan kok tempatnya." Rasanya aku ingin berkata, "YA SEMUA TEMPAT JUGA ADA DI PINGGIR JALAN." Maksudku, bahkan rumahku yang berada di pinggiran kota pun juga berada di pinggir jalan. Ada jalan di depan rumahku dan itu lah alasan mengapa kami bisa bertransportasi!
Oke.
Sekarang pukul lima lewat sedikit, hampir pukul enam. Aku menyerah untuk tidur dan memutuskan untuk mandi. Aku akan bertemu Zaq sekitar pukul setengah delapan, jadi apa guna tidur jika hanya satu dua jam?
Sebelum ia datang ke tempat janji kita bertemu, aku sudah berulang kali melihat kaca dan memastikan seperti apa penampilanku. Ha, lihatlah, sejak kapan aku peduli pada hal seperti ini? Tentu saja sejak sekarang :D . Melihat pantulanku di kaca, aku mencoba membuat gambaran seperti apa aku akan menyapanya nanti. Kurasa aku bisa melakukannya dengan tenang dan tersenyum secara alami. Chill.
Tapi semua usahaku itu ternyata langsung menjadi tidak ada gunanya begitu Zaq membuka pintu dan wajahnya menyembul sambil tersenyum. Apakah anak ini tidak tahu bahwa dirinya adalah asal muasal aku tidak tidur semalaman? Ia muncul, nyengir, dan tampak lebih tenang dariku.
Aku menyapanya, lalu ia memelukku singkat sambil menepuk punggungku. Peluk jenis ini namanya adalah peluk dahak bayi, begitu istilah dari Zaq. Istilah lainnya adalah peluk bela sungkawa karena biasanya orang akan memeluk sambil menepuk punggung sambil berkata, "turut berduka cita."
Tapi aku tidak sedang berduka cita. Aku bersuka cita. Hehe. Ralat lagi, aku malu!
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan karena Zaq terus melihatku sambil tersenyum. Bahkan ia tetap tersenyum setelah meletakkan tas dan mengeluarkan wafer dari dalam tasnya. Kenapa anak tengil ini bisa terlihat sangat santai?
Setelah sembilan tahun, kami bertemu.
Aku masih menutup wajahku dengan tangan, "aku malu, Zaq. KENAPA KAMU NGELIATIN TERUS?"
Zaq duduk di sebelahku, tertawa, "emangnya aku ngga boleh liatin kamu?"
"Jangan senyum-senyum!"
Zaq tertawa dan kurasa ia anak yang mudah untuk tertawa atau tersenyum, "ya aku seneng bisa ketemu kamu."
Aku mengumpulkan keberanian untuk melepaskan kedua tangan dari wajahku untuk menatap Zaq. Begitu aku melakukannya, Zaq malah melepas kacamatanya sambil tersenyum. Tentu saja dia sengaja melakukannya untuk menjailiku karena dulu aku tidak bisa menatap matanya jika ia tidak pakai kacamata.
"ZAQ!" Aku setengah berteriak sambil kembali menutup wajahku. Sedangkan ia tertawa lepas sambil kembali memakai kacamatanya.
Aku versi sembilan atau sepuluh tahun lalu pernah membuat nama... Apa ya istilahnya, intinya nama untuk Zaq yang biasa kuletakkan sebagai... Yang ini aku juga tidak begitu tahu istilahnya. Mudahnya, aku membuat puisi yang ditujukan, terinspirasi, atau seperti Zaq, dengan mencantumkan ":Tuan Teduh" di bawah judul puisi. Tuan Teduh itu adalah Zaq. Darimana semua energi puitis nan cringe itu berasal?
Ketika Zaq meninggalkanku sebentar karena urusannya, aku menunggunya sambil membaca buku. Aku mencoba tenang sambil mengalihakan sebagian fokusku ke dalam buku yang sedang kubaca. Cara ini ternyata berhasil. Begitu Zaq kembali, aku sudah lebih tenang dan bisa menatapnya dengan.. Lebih kalem. Aku senang karena memiliki kebiasaan membawa buku bacaan kemana-mana. Ini berguna untuk menghadapi Zaq :D
Sebenarnya aku tidak tahu apakah aku bisa mengobrol dengannya tanpa rasa canggung atau tidak. Pada menit-menit pertama, aku bahkan tidak begitu yakin dengan kata-kata yang kuucapkan. Aku hanya melempar beberapa pertanyaan basa-basi. Terima kasih kepada Zaq yang begitu sabar menghadapiku dan sisi santainya ternyata membantuku untuk cepat beradaptasi dengannya. Selang satu jam, aku sudah bisa menjadi manusia normal yang tahu bagaimana cara mengobrol dan tersenyum secara normal.
Jadi seperti ini ya kalau Zaq tersenyum? Ngomong-ngomong, dia punya beberapa jenis senyum :0 ada senyum senang, tengil, bingung, senyum 'iya kan? Iya dong', dan dia terlihat sangat ekspresif.
****
Cerita mini random:
Aku melepas sepatuku dan berdiri di samping Zaq sambil melihat ke arah cermin. Ia tersenyum sambil berkata, "aku lebih tinggi darimu."
Aku mengenakan sebelah sepatuku, menunjukkan perbedaan jika aku pakai dan tidak pakai sepatu. Kami melihat cermin lagi dan tinggi kami sekarang sama. Di mataku terlihat sama. Tapi Zaq gigih berkata ia tetap lebih tinggi walaupun aku memakai sepatu dengan sol 5cm itu.
"Ini karena rambutmu kali, Zaq. Rambutmu kayak jamur." Aku memainkan rambutnya yang mengembang dan mirip seperti bolu.
Zaq menoleh ke arahku sambil menaikkan sedikit suaranya, "GA, AKU TETEP LEBIH TINGGI."
Jika kami hidup dalam sebuah film, kurasa genre kami adalah romcom. Romance-comedy.
0 komentar:
Posting Komentar