Omong Kosong Pukul Dua Belas

Aku sebenarnya lumayan mengantuk, tapi rasanya ingin menulis sesuatu entah apapun itu. Seperti ada yang harus dikeluarkan dari dalam pikiran entah bentuknya seperti apa. Di titik ini, ketika jariku memencet huruf f, aku masih tidak tahu akan dibawa kemana arah tulisan ini nantinya. Mari anggap ini adalah sebuah obrolan dimana topik bisa berloncatan kemanapun yang aku kehendaki.

Ngomong-ngomong, belakangan hawanya dingin sekali, ya. Bahkan untuk orang yang lebih menyukai dingin daripada panas, aku sedikit kesulitan. Hawanya dingin, benar, tapi sekaligus kering. Baru-baru ini aku menyadari bahwa kulitku ternyata tipikal kering. Jadi ketika dihadapkan dengan cuaca yang seperti ini, jika aku tidak mengoleskan pelembab dengan baik, kulitku bisa mengelupas. Tidak perih atau sakit, hanya rasanya wajahku terasa seperti klepon yang ditaburi parutan kelapa.

Aku mematikan lagu beberapa saat lalu. Ada kalanya aku merasa begitu sepi, ada kalanya mendadak lagu yang kuputar untuk mengusir sepi berubah menjadi sesuatu yang berisik dan menganggu. Aku mematikannya. Sekarang yang terdengar di sekelilingku hanya suara hewan malam, keyboard, sesekali suara langkah kaki seseorang di luar kamar, satu dua kendaraan, dan aku bisa mendengar suara tarikan napasku yang dalam dan perlahan.

Aku membaca ulang tulisan yang baru kuketik. Aku ingat perkataan Una saat ia pertama kali membaca tulisanku. Ia tidak percaya bahwa akulah yang menulis itu. Una, setengah takjub setengah heran, bertanya apakah aku memiliki kepribadian ganda. Ia tidak menyangka bahwa anak yang ia kenal sebagai orang yang menyebalkan dan mirip om-om ini bisa menulis. Nah, aku juga tidak menyangka Una akan membaca dengan begitu serius.

Begitu aku bisa mengenal huruf dan membaca, aku menghabiskan waktuku dalam buku-buku. Ketika masih kecil, Bapak sering membawakan buku cerita anak. Memasuki masa SD, aku menjelajah perpustakaan SD, berlangganan Bobo, sesekali mengintip koran hari minggu, dan Bapak dengan senang hati mengantarkanku ke perpustakaan daerah jika ada waktu luang. Ah, ternyata aku begitu mencintai dunia ini.

Aku ingat, cerita utuh pertama yang kubikin adalah dongeng berjudul Lima Pendekar. Aku menemukan buku tulis lamaku ketika beres-beres kemarin. Aku membacanya dan merasa itu cerita yang lucu karena nama tokohnya adalah nama kucingku dan sepupuku. Pus dan Merau. 

Masa SMP kurasa yang paling berpengaruh besar disini. Aku ikut lomba class meeting kategori cerpen ketika kelas satu. Tentu saja aku kalah karena aku pun tidak tahu apa yang harus kutulis waktu itu. Aku merasa kesal dan memutuskan untuk belajar menulis agar aku bisa balas dendam tahun depan. Kebetulan saat itu aku berkenalan dengan Awal. Ia suka menulis sepertiku. Awal dulu memiliki blog dan kami bertukar cerita lewat blog. Ia menulis di blognya, aku membalasnya di blogku. Betul, blog-ku yang sekarang sudah ada sejak aku SMP. Awal memiliki pengaruh dalam prosesku menulis.

Kelas dua, aku memenangkan lomba cerpen, begitu juga saat kelas tiga. Aku lupa kapan tepatnya hubunganku menjadi buruk dengan Awal, tapi itu asal mula akhirnya aku menulis puisi. Aku ingin menulis sesuatu yang tidak dipahami orang lain dan membiarkan mereka mencari tahu isinya sendiri. Aku ingin menyampaikan sesuatu sekaligus tidak ingin mengatakannya. Puisi adalah jawaban yang kutemukan. 

Masuk SMA, aku bertemu dengan Zaq. Aku suka namanya seperti aku menyukainya, jadi aku meminjam namanya. Itu adalah saat-saat aku menulis cerita Wattpad dan cerita pendek lainnya. Inspirasiku berasal dari orang-orang sekitarku. Aku banyak menggunakan referensi karakteristik orang yang kukenal, mengubahnya menjadi tokoh fiktif bikinanku. Dari sana, aku jadi belajar mengamati dan menganalisis orang lain dan ternyata sangat berguna hingga sekarang.

Dulu aku punya prinsip yang lumayan aneh atau mungkin salah satu gaya penokohan cerita milikku. Sebisa mungkin, harus bisa, nama tokoh hanya terdiri dari satu suku kata. Itu juga yang mendasari aku menyukai nama Zaq, juga nama depannya. Nama-nama lain yang aku suka adalah Nun, Sol, Ra, dan tentu saja, Ren. Nun adalah nama teman SD-ku, Nuna. Sol dari kata solstice, titik balik matahari. Ra dari samudera. Ren.. Hanya nama yang kupungut asal saat aku harus membuat nama samaran, tapi tetap kugunakan sampai sekarang. 

Aku juga semakin aktif menulis puisi, memenangkan lomba, dan orang-orang di sekitarku sangat mendukungku. Walaupun (mungkin) tidak mengerti dengan apa yang kutulis, mereka tetap bersedia membacanya. Aku sering memberi puisi pada Zaq. Ia membacanya, entah paham atau tidak, itu tidak jadi masalah buatku. Ia juga pernah memberiku buku, walaupun aku sudah tidak ingat kenapa dulu ia memberikan itu padaku. 

Saat SMA, bahasa yang kupahami adalah tulisan. Aku meletakkan begitu banyak perasaan disana. Sebenarnya itu karena dulu aku kesulitan untuk menyampaikan dengan suara. Sekarang aku sudah lebih berani, terlalu vocal malah. Tapi tulisan sudah lama menjadi duniaku, tempat dimana aku bisa menggali diriku sendiri. Jadi aku akan selalu kembali.

Kemudian setelahnya, aku terus menulis. Mungkin tidak se-aktif dulu, tapi aku tetap menulis. Setidaknya untuk diriku sendiri. Aku juga masih suka membaca dan berlama-lama di toko buku. Aku menyukai diriku yang seperti itu. 

0 komentar:

Posting Komentar