"Kamu bocil, ya?"
Setelah selesai membenarkan kabel yang saling lilit, Emi bertanya padaku. Aku, yang sebelumnya bercerita panjang dan harus diam sejenak menunggunya mengurai kabel, merasa kesal. Sebelum sempat protes, ia melanjutkan lagi.
"Menurutku orang yang nggak bisa meregulasi emosinya itu bocil. Kamu."
Aku mendengar Una tertawa. Dari dulu aku selalu kesal mendengarnya tertawa, apalagi jika itu menyangkut aku. Ia tidak bisa bersuara keras, bahkan suara tawanya juga tidak keras. Alhasil, ketawanya berupa cekikikan yang terdengar mengejek. Una benar-benar mengejek, "udah, kamu beli suntikan titan aja biar bisa rumbling terus."
Una membenarkan posisi duduknya setelah lelah tertawa, "aku sebenernya heran sama kamu. Disatu sisi bocil banget, disatu sisi bisa jadi bijak dan dewasa. Kamu emang aneh sih, anomali. Tapi, aku kan udah bilang, diemin aja. Terima, diem, pergi. Udah, beres. Nggak usah itu kamu ngamuk-ngamuk."
Emi tersenyum, "Una, dia ini kan mikirnya belakangan. Bertindak dulu baru mikir. Terus sekarang gimana? Perasaanmu."
Aku menghela napas. Dua makhluk ini menyebalkan, tapi aku tahu keduanya serius mendengarkanku walaupun sesekali bercanda agar aku tidak terlalu terbebani. Disaat aku hampir pasrah karena tidak ada yang membalas pesan pada jam-jam ini, mereka muncul. Bukan kemunculan yang dramatis.
"Masih belum baik, sih. Tapi kan, aku udah janji buat bilang terus terang tentang apa yang aku rasain atau pikirin. Aku nggak lagi nyimpen sendiri. Aku mau jadi lebih berani dan terus terang. Jadi, Una, bukannya aku nggak mikir. Aku mikir."
Emi ber-hmm panjang, "ya ya, kamu mikir. Tapi sejauh apa kamu mikirnya? Apa kamu juga mikir akan seperti apa respon orang lain kalau kamu ngelakuin tindakan itu? Apa kamu akan mikir sejauh mana tindakanmu bisa berdampak?"
Una diam. Aku pun begitu. Kamu tahu, jika Emi sudah berkata panjang, maka masih ada kelanjutannya. Kami lebih baik menunggu Emi berkata kalimat selanjutnya.
Emi menggaruk kepalanya, membiarkan rambut ikalnya menjadi lebih berantakan, "nggak, salah, salah. Bukan mikir gimana respon orang lain. Tapi apa kamu siap dengan respon orang lain? Kalau nggak siap ya jelas kamu akan lebih terbebani. Udah keteteran sama perasaan diri sendiri, ketambahan nggak siap sama respon orang lain."
Una hanya mengangguk-angguk, entah dia setuju atau hanya tanda kalau ia masih mendengarkan. Walaupun terdengar kasar, Emi sebetulnya lebih lembut daripada Una, "yah, tapi kalau aku jadi kamu, hmm tapi aku nggak mau jadi kamu sih." Una tertawa tanpa melanjutkan kalimat perandaiannya.
Aku menghela napas, "sebenarnya aku juga capek. Aku merasa keteteran sama emosiku sendiri. Aku lebih keteteran lagi kalau aku ngeluapin perasaan atau apa yang aku pikirin. Rasanya kayak.. Susah napas? Tapi aku bingung. Kalau aku diam, aku disuruh ngomong. Giliran aku jujur dan terus terang, malah memperburuk keadaan. Lalu yang betul yang mana?"
Emi lagi-lagi menarik napas, "kamu pasti banyak ngalami penolakan ya?"
"Kalau aku, mending cabut. Beres." Una berkata santai.
Emi melotot, "diam, Una."
Ah, percakapan ini semua mengingatkanku akan satu kebiasaanku. Kalau aku menyukai suatu makanan tertentu, aku akan terus memakannya sampai aku bosan dan merasa biasa saja. Kalau ada pikiran yang mengganjal, aku akan terus memikirkannya sampai aku lelah, bosan, atau akhirnya merasa "yaudah". Mungkin kali ini, aku perlu menerapkannya juga.
Jika mereka berdua tidak ada di jam-jam ini, aku tidak tahu akan menjadi seperti apa aku. Terima kasih sudah membalas.
0 komentar:
Posting Komentar