Aku terbangun saat jam hampir menunjuk pukul empat sore. Hujan sudah reda. Aku melihat Emi yang berkutat di depan rak buku sambil bergumam sendiri. Aku menyibak selimut dan memutuskan untuk menghampirinya.
"Hayo kamu ngapain?"
Ia sedikit terlonjak. Emi memang orang yang mudah kaget, apalagi jika ia sedang serius mengamati sesuatu. Emi menghela napas sebal, lalu mengangkat selembar kertas yang ia temukan.
"Aku nemu ini. Tadi waktu mau ambil komik volume delapan, ternyata ada kertas nyelip. Aku penasaran makanya kuambil. Lumayan butuh waktu buat baca ini. Kamu dapat darimana?"
Emi menggeser duduknya, mempersilakan aku untuk duduk di sebelahnya. Sekarang aku ikut mengamati postcard tua dengan tempelan prangko pelita di atasnya. Ternyata daritadi ia sibuk melihat ini dan berusaha untuk membaca tulisan yang ada disana. Aku meraihnya dari tangan Emi, kemudian membolak-baliknya. Melihatku begitu, ia memasang ekspresi seakan berkata, 'memangnya apa yang bakal muncul?'
Aku berdehem, mengembalikannya ke tangan Emi, "aku dapat ini di toko buku bekas. Hmm kapan ya, mungkin dua atau tiga tahun lalu. Aku lupa. Banyak barang menarik disana. Kaset lawas, prangko, poster band, piringan hitam. Dari sekian banyak pilihan, aku ngambil postcard ini. Seperti.. dorongan hati?"
Tirai jendela bergerak lembut karena semilir angin, ternyata Emi membuka jendela sehabis hujan reda. Samar-samar aku bisa mencium udara segar bercampur bau tanah lembab dan rumput basah. Aku menyukainya. Suasana yang memberikan rasa tenang tanpa perlu berusaha memunculkannya. Hujan tidak perlu melakukan hal lain agar tercipta tenang. Kehadiharannya cukup.
"Emm, oke. Lalu?"
"Aku kurang bisa bacanya gimana. Orang jaman dulu tulisannya tergolong antik ya. Aku cuma bisa baca beberapa kata, tapi enggak bisa nangkap secara keseluruhan. Kamu bisa bacanya?"
Emi tersenyum, menampilkan dua gigi gingsul miliknya. Ia membenarkan posisi duduknya, lalu berdehem, "ini sih mudah."
Aku tertawa melihat tingkahnya. Wajahnya tergolong lucu, dipadukan dengan ekpresi serius dan caranya berkata mudah, membuatnya jadi nampak semakin lucu. Melihatku tertawa, ia melirikku dan memberi kode 'tolong simak dengan baik'
"Surat-surat Tak Sampai
Di setiap tikungan, selalu aku bertanya. Apakah harus kukatakan tentang hidup yang demikian? Karena, setangkai daun yang jatuh dari pokoknya dipermainkan oleh angin. Disetiap langkah, selalu aku bertanya. Akan kemanakah kemudi kuarahkan, sedangkan di pinggir jalan, aku melihat mereka saling berpacu mengejar hari depan. Akankah harus kusandarkan hidup ini sepenuhnya pada nasib? Aku, angin, berhentilah kau sesaat agar aku bisa menentukan arah."
Emi membacanya dengan begitu lembut, perlahan, dan angin sesekali menggerakkan helaian rambutnya. Ia menunduk, menampilkan bulu matanya yang panjang. Matanya selalu terlihat bening dan penuh kejujuran. Aku terdiam beberapa saat setelah ia selesai membaca, tenggelam dalam atmosfer yang ia ciptakan bersamaan dengan keberadaannya disini.
"Ini termasuk mudah. Dulu aku pernah nemu tulisan-tulisan kakek dan lebih susah dibaca daripada ini."
Lamunanku buyar oleh kalimat Emi. Ah, jadi begitu asal mula ia bisa membaca ini dengan mudah. Sebuah postcard yang sudah kumiliki selama dua tahun (atau lebih) ini akhirnya bisa kupahami makna keseluruhannya. Entah kenapa aku merasa tulisan itu juga ditujukan kepadaku. Lebih tepatnya, tulisan itu seperti mewakili diriku. Dan baru sekarang aku mengetahui isinya melalui Emi.
"Canggih juga ya kamu." Begitu kataku sambil meraih postcard itu dari tangannya. Aku mengembalikannya pada rak buku, kali ini aku tidak menyelipkannya di antara sela-sela buku. Aku menyandarkannya pada deretan buku, seperti aku memajang sebuah gambar atau potret.
Melalui Emi, postcard ini menjadi lebih berharga. Jika aku melihat ini, maka aku akan teringat Emi. Sebuah keberadaan yang seperti hujan, tidak perlu melakukan apapun, sudah memberikan ketenangan tersendiri.
Emi menguap lebar sambil meregangkan kedua tangannya. Ia mengeluh ingin pulang karena mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur. Aku tertawa, bertanya kenapa ia tidak pulang saja ketika aku tidur tadi, alih-alih membaca komik.
"Heh, dulu kamu bilang aku mengkhawatirkan kalau sakit. Tapi liat, sepertinya kamu yang lebih mengkhawatirkan kalau sakit. Ngantuk, aku mau pulang."
Emi membereskan bawaannya, memakai jaketnya kembali, lalu berjalan menuju pintu. Ia menguap lagi ketika memakai sepatu. Sepertinya Emi benar-benar mengantuk luar biasa. Aku mengantar Emi hingga pagar, sambil bercerita tentang bawang goreng yang ada pada kacang goreng.
Sebelum ia benar-benar pulang, Emi berkata, "kalau ada hal darurat, telepon aja. Kamu boleh ngehubungi lewat manapun."
Begitulah, setelah kalimat terakhir, ia bergegas pulang. Aku melihatnya yang semakin menjauh dan menghilang di belokan jalan.
Kemudian, aku, sekali lagi terbangun dari tidurku. Dan tidak kujumpai Emi.
0 komentar:
Posting Komentar