Halaman Satu: Musim Semi

Bagian Haru

"Kamu tau kenapa namaku Haru padahal aku lahir bulan Oktober?"

Laki-laki yang duduk di depanku mengangkat mukanya dari buku yang dibacanya, menampilkan ekspresi 'ha?' yang kikuk, kemudian kembali menunduk melanjutkan bacaannya. Aku berdehem, berpikir, apa jangan-jangan maksudku untuk membuka obrolan kurang jelas? Lihatlah, dia kembali membaca buku dan kali ini memasang earphone. Wah.

Aku bersedekap. Buku yang sedang kubaca adalah bukuku sendiri, bukan buku dari perpustakaan. Aku hanya melarikan diri kesini untuk membaca dengan tenang. Lagipula, diluar terlalu terik dan aku tidak suka itu. Perpustakaan adalah tempat yang tenang, sejuk (karena ber-AC) dan ada WiFi. Tapi sepertinya orang-orang memiliki pikiran yang sama, karena meja-meja ruang baca sudah penuh orang. Jadilah, aku duduk berhadapan dengan dirinya.

Buku yang kubaca ternyata suram. Aku ingin mengalihkan diriku agar tidak terbawa perasaaan. Ponselku mati, aku tidak bawa laptop, dan aku malas menjelajah rak buku untuk mencari bacaan lain. Kupikir aku bisa mengajak berbicara orang di depanku. 

"Halo?"

Aku sedikit mencondongkan tubuh ke depan sambil mengetuk jariku di meja, kali saja jika ia tidak mendengarku, ia dapat melihat kode ketukan jariku. Ia mengangkat wajahnya. Ekspresinya datar dengan ujung sebelah alis yang sedikit terangkat. Ia melepas sebelah earphone, kemudian menunjuk dirinya sendiri.

"Ngomong sama saya?"

Respon yang menarik. Aku baru pertama ini melihat orang kaku sekaligus kikuk sekaligus minim ekspresi. Perpaduan yang unik itu hampir membuatku tertawa, karena 'wah ternyata ada juga manusia seperti ini'. Ah, aku jadi ingin menjailinya. 

Aku menggeleng, "Enggak, ada orang di belakangmu. Berdiri di belakangmu. Kenapa aku harus ngobrol sama orang yang pasang earphone?"

Aku mengangkat bahu kemudian menunjuk ke arah belakang. Ia mengikuti arah telunjukku, tapi yang aku dan ia sama-sama lihat adalah: tidak ada siapapun yang sedang berdiri di belakangnya. Ia memutar kepalanya, kembali melihat ke arahku. Aku terbiasa mengamati manusia, jadi, walaupun samar, aku melihat ekspresinya berubah. Jadi orang ini takut hantu? 

"Tapi tadi kamu ketuk jari di hadapan saya. Itu buat saya, kan? Sebelumnya kamu juga bertanya." 

"Ha? Begini, orang di belakangmu itu ngeliat ke arah sini terus. Matanya. Awalnya aku coba buka obrolan karena kupikir ia ingin mengobrol. Tapi tidak ada jawaban. Yah, aku kira ia punya masalah pendengaran, jadi kuketuk jari. Kode. Cuma, ya, dia tetap diam aja. Kira-kira kenapa ya?"

Laki-laki yang memakai hoodie itu mengangguk-angguk, merasa jawabanku masuk akal. Ia menoleh lagi ke belakang, tetap tak menjumpai apapun. Ia memalingkan wajahnya ke arahku, sebelah tangannya menggosok tengkuknya. Sepertinya ia ketakutan. 

"Jadi kamu bisa lihat ada orang berdiri di belakang saya? Sejak kapan?" Ia membenarkan letak tudung hoodie-nya, padahal menurutku tak ada yang salah dengan posisinya. Ia menunduk, menampilkan bulu mata lentik dan kedipan matanya yang gusar. 

Aku tidak bisa menahan diri lagi, "ENGGAK LAH HAHAHAHAHA." Tawaku buyar, diikuti oleh beberapa pasang mata yang melihat ke arahku, termasuk matanya yang kini menatapku.

Ia menutup bukunya sambil menghela napas, kemudian tangannya bersedekap di depan dada, "nah, jadi?"

Aku mengangkat bahu dengan santai setelah melempar senyum kepada orang di seberang meja yang melihatku terus karena penasaran, "hmm? 'jadi' apa maksudmu?"

Desir AC samar-samar terdengar, begitu pula langkah kaki, derit kursi, dan lembaran buku yang dibalik. Bau rak kayu dan buku menguar, aku selalu menyukai bau ini. Kemudian, yang kudengar adalah tarikan napas panjang seseorang di depanku, dan bau parfum laundry yang menguar begitu ia mencondongkan tubuhnya.

"Jadi, apa tujuanmu?"

"Hahaha, santai saja. Aku cuma ingin ngajak ngobrol kok. Namaku Haru."

"Dan bertanya apa pendapatku tentang namamu itu?"

Wah, orang ini ternyata cukup seram. Ia menatap lurus ke arahku. Mata yang sayu dihiasi bulu mata lentik, alisnya tebal dengan sudut luar sedikit terangkat. Mata sayu harusnya teduh, tapi mata miliknya yang tanpa ekspresi justru terkesan seram. Suaranya berat dan dalam, seperti hendak mencongkel jawaban dariku.

"Hehe, kata orang, untuk membuka obrolan, perlu kalimat yang 'BOOM!', begitu. Tapi aku pribadi memang kurang jago dalam basa-basi dan mengawali obrolan."

Ia mangut-mangut tanda setuju.

"Nah, kita kenalan dulu kalau gitu. Aku Haru, kamu?" Aku melanjutkan kata-kataku, karena kulihat ia hanya menimpali dengan anggukan. Respon minimalis.

"Hino."

Tidak ada jabat tangan, hanya anggukan kepala.

"Oke! Jadi begini asal mula namaku. Aku lahir bulan Oktober, musim gugur, kan? Lalu, namaku Haru! Musim semi! Kata ibu, makna namaku adalah, walaupun aku lahir di musim gugur, aku adalah musim semi yang datang di kehidupan mereka. Bahkan jika nanti hidupku serupa musim gugur yang berjatuhan, aku tetap mampu mekar dan bangkit. Begitu."

Aku menatap Hino, yang ternyata menyimak dengan serius. Ia mengangguk beberapa kali. Sorot matanya tetap tidak berubah sejak tadi, tenang dan serius. Kemudian, ia berkata, "unik, ya. Namamu." 

Dan aku tersenyum.

0 komentar:

Posting Komentar