Aku melempar kulit kacang yang ternyata membentur tepian tempat sampah. Lagi-lagi gagal. Aku melempar senyum bodoh saat temanku berjalan melewati tempat sampah bundar itu, kakinya sibuk menyingkirkan kulit kacang agar tidak terinjak dan lebih susah dibersihkan.
"Jadi, ini kegabutan barumu, Haru?"
Nael meletakkan tas di sampingku, kemudian menyeret kursi plastik untuk duduk di dekatku. Kantin kampus sepi, mungkin bukan jam makan untuk para mahasiswa. Wajar, sekarang pukul sepuluh pagi. Kantin biasanya penuh sesak saat jam makan siang atau sarapan, tapi sepi di jam nanggung seperti sekarang.
Aku membuka kacang lagi, memasukkan isiannya ke dalam mulut, kemudian mengulangi hal yang sama. Melemparnya ke tempat sampah bundar di seberang meja. Kali ini masuk, aku bersorak.
"Lebih baik kamu punguti dan kamu bisa bersorak lebih kencang karena kulit kacangnya masuk semua ke tong." Nael mencomot kacang di atas meja, ikut makan kacang sambil menunggu kelas mulai.
"Hmm. Nanti kalau udah habis. Kamu kesini buat ngerampok kacang, ya?"
Nael terkekeh pelan, mengangguk, lalu mengambil kacang lebih banyak. Untuk beberapa saat, kami diam sambil sibuk mengunyah kacang. Aku sudah lama mengenal Nael, pertemuan yang aneh di suatu forum membawa kami akhirnya menjadi teman baik. Mungkin bisa dibilang, dua orang yang sulit akrab dengan orang lain ini memiliki kesamaan atas itu dan bergabung menjadi teman. Kira-kira begitu.
"Nah, gimana ceritanya kemarin? Kamu ketemu sama orang aneh di perpustakaan, lalu kamu jahili? Kebiasaan ya kamu ngilang kalo chat malam-malam, lalu enggak balas."
Ah, aku lupa membalas pesannya ternyata. Semalam aku mengiriminya pesan, bilang kalau aku bertemu orang yang cukup unik, lalu aku sepertinya terlalu asyik membaca dan ketiduran. Aku merogoh ponsel yang ternyata lowbatt dan meihat ada notifikasi pesan darinya.
"Oh, aku lupa balas." Aku berkata santai sambil kembali memasukkan ponsel setelah membalas pesannya dengan stiker.
Entah sejak kapan, aku dan Nael menjadi teman yang senang bertukar cerita. Aku mendengar ceritanya tentang anak-anak perempuan yang menyukainya, kesehariannya yang aneh, kerjaan sampingannya yang sibuk. Ia mendengar ceritaku tentang teman-teman di angkatan (kami beda jurusan), tugasku yang membuatku harus begadang. Entah siapa yang mengawali itu, tahu-tahu kami menjadikan saling cerita adalah bagian dari kami.
"Terus gimana orangnya? Takut sama kamu?"
Aku tertawa, "takut sih enggak. Dia yang mukanya seram! Tapi anehnya dia menyimak ceritaku dengan ekspresi serius. Dia baca Norwegian Wood. Sepertinya kami sama-sama suka baca buku. Menarik."
"Kamu tahu dia jurusan apa? Siapa tau kan kamu bisa nambah daftar teman yang isinya hanya hitungan jari itu. Entah, rasanya terharu kamu bisa nemu teman."
Nael berpura-pura mengusap ujung matanya. Ia tahu bagaimana aku dan anak-anak angkatan. Nael tahu aku pernah kesulitan mendapat teman karena rumor buruk tentangku. Wajar jika ia merasa terharu akhirnya aku bisa kembali terbuka untuk mendapat teman baru.
"Aku lupa tanya. Mungkin nanti bisa ketemu lagi. Hehe. Malah kurasa dia risih karena aku tiba-tiba cerita hal pribadi? Apalagi aku menjahilinya. Mungkin dia merasa aku aneh."
"Kamu kan memang aneh." Nael melempar kulit kacang ke kepalaku.
Aku menghela napas. Kemarin hari yang cukup aneh. Aku biasanya tidak berbicara banyak kepada orang yang belum akrab denganku, tapi, orang bernama Hino itu seperti bisa membuatku menceritakan apa saja. Ia seperti menarikku yang sedang meringkuk dalam tempurung paling tebal. Aku tidak mengenalnya, ia tidak mengenalku. Bagaimana mungkin seorang yang asing bisa terasa seperti begitu dekat?
"Yah, malah bengong. Haru? Itu kelasmu jam berapa? Aku habis ini mau latihan sama anak-anak paduan suara, biasa, ngiringin pakai piano."
"Kelasku libur. Aku nongkrong disini karena gabut. Aku ikut ke aula latihan deh."
"Yaudah, yuk."
Nael beranjak, mengambil tas punggungnya. Ia membungkuk memunguti kulit kacang yang ada di lantai, aku juga melakukan yang sama karena itu sejatinya adalah ulahku. Setelah lantai kantin bersih, kami berjalan ke arah aula.
Di kursi taman kampus, aku melihat Hino sedang membaca. Masih dengan gaya outfit yang sama, lengkap dengan earphone menggantung di telinganya. Buku Norwegian Wood masih ada di pangkuannya.
0 komentar:
Posting Komentar