Seperti Apa Dunia di Matamu?

Aku menemukan kertas di bawah pintu begitu aku membukanya. Disana tertulis bahwa malam akan memakanku, tidak peduli jika aku enggan atau mengabaikannya. Malam tetap akan datang padaku. Aku menyelipkan sobekan kertas itu di saku jaketku, mengunci pintu, kemudian berjalan keluar. Sekarang masih pagi, bukan? Mari pikirkan nanti, malam masih akan terjadi nanti.

Aku bersepeda di sepanjang trotoar khusus pejalan dan pesepeda. Sesekali aku melihat ke samping kanan, jalan raya dipenuhi kendaraan yang merayap. Debu ada dimana-mana, mengebul, dan memenuhi pakaianku hari ini. Parfum yang aku semprotkan sebelum pergi tadi seakan hanya menjadi pengantar, selebihnya diisi oleh bau asap kendaraan. Setiap hari selalu begini, dan setiap pagi aku tetap menyemprotkan parfum.

Lampu merah. Aku menekan rem dan roda sepedaku berhenti. Aku melirik jam tangan. Jam tanganku ternyata mati, sejak kapan ya? Disaat aku mencoba mengingat-ingat, lampu menjadi hijau, dan aku segera mengayuh sepedaku lagi. Ah, tadi aku sedang memikirkan apa ya? Aku tidak ingat lagi. Laju sepedaku konstan dan angin pagi meniup lembut rambut-rambutku.

Mataku mulai menangkap bentuk bangunan yang aku kenali dan akrab padaku selama dua tahun. Semakin aku mendekat, aku mengenali seseorang yang sedang berdiri di dekat pintu, membalik tanda "closed" menjadi "open". Aku mengenalinya seperti aku mengenal diriku sendiri, mungkin itu anggapanku.

Begitu aku memarkir sepeda di samping toko, aku berjalan ke arah pintu depan. Bunga-bunga segar sudah datang rupanya, ternyata aku sedikit terlambat untuk menyapa mereka keluar dari mobil pengantaran. Tidak apa-apa, karena seseorang yang aku kenal sudah menggantikanku. 

Aku membuka pintu toko, menimbulkan suara cring yang bergema lembut, dan suara tapak sepatuku beradu dengan lantai kayu. Perpaduan suara itu membuat seseorang yang menata bunga segar di meja kasir menjadi menoleh ke arahku. Melihatku, ia tersenyum. Kau tersenyum.

"Lang! Tumben telat, tadi bunga-bunganya sudah diantar, lho. Hari ini lily valley-nya sangat cantik! Kamu sudah lihat, kan?"

Kau berjalan menghampiriku setelah mengelap tangan pada celemek cokelat muda dengan sulaman bunga chamomile mungil buatanmu. Aku ingat hari dimana kau datang padaku sambil memamerkannya. Sulaman itu terlihat berantakan dan satu dua benang mencuat, tapi wajahmu begitu antusias. Ah, kenapa aku mengingat ini sekarang?

Aku mengangguk sambil berjalan ke pintu belakang kasir, membukanya kemudian menaruh tas, "aku sudah lihat."

Aku mendengarmu bergumam hal-hal yang terjadi pagi ini. Sarapan roti bakar yang gosong, kucing tetangga yang mengalami masa kawin, air yang mati dan kau yang harus menumpang di toilet toko untuk mandi. Hal-hal yang biasa dan bisa terjadi pada siapapun. Kau menceritakannya, seakan itu adalah hal yang begitu istimewa. 

"Begitu lah pagiku. Banyak hal tidak terduga ya. Wah wah, jangan-jangan nanti ada hal tidak terduga lagi yang datang? Hmm seperti.. Mulis bawa pacar!"

Mulis adalah kucing hitam yang suka berdiam diri di dalam toko. Kucing jalanan yang kau pungut itu sekarang menjadi kucing gempal yang entah sejak kapan menjadi maskot toko bunga ini. Mendengar namanya disebut, Mulis menoleh sebentar, kemudian kembali bergelung dalam tidur paginya.

"Bagaimana pagimu, Lang?" Kau mengerling ke arahku, tersenyum, menunggu jawabanku.

Aku melepas jaket, melipatnya, dan menaruhnya di atas tas. Aku menutup pintu belakang kasir setelah mengambil celemek hitam. "Sama seperti biasanya."

Mendengar jawabanku, kau segera meletakkan lap jendela, kemudian menuding jari telunjuk ke arahku, "tidak, tidak. Setiap hari pasti berbeda. Begini, kita selalu bangun pagi, tapi kita tidak bangun di jam dan menit yang sama di setiap paginya. Kita membuat sarapan, tapi kadang ada hari sial seperti gosong atau ternyata bagian dalamnya belum matang."

Kita tidak melihat dunia dengan mata yang sama.

Ditengah gerutuanmu yang hanya kujawab dengan anggukan, pintu toko terbuka. Dua perempuan masuk, sepatu hak tinggi menimbulkan suara tok tok tok pada lantai kayu. Kau dengan sigap menghampiri mereka, bercakap mengenai bunga-bunga baru, membantu mereka memilih. Aku melihatmu dari balik meja kasir, melihatmu tersenyum ramah.

Seperti apa dunia yang kau lihat?

****

Begitu aku sadar, hari sudah mulai gelap. Aku mengayuh sepedaku lagi, menjauhi toko bunga, menjauhimu, Mulis, dan sebagian kecil dunia yang aku ketahui. Jam tanganku tetap mati dan aku tetap meliriknya seakan aku bisa membaca jam tanpa jarum jam yang bergerak.

Kamarku gelap begitu aku sampai. Pemandangan yang biasanya. Hari yang biasanya. Aku merebahkan diri pada kasur, mengambil secarik kertas tadi pagi. Sekarang sudah malam, aku melewatkan kertas itu. Bagaimana aku harus menyikapinya? Aku kehilangan waktu untuk berpikir. Waktu selalu lebih cepat dariku, sampai kapanpun, aku tetap tertinggal. Berpikir sekarang pun rasanya hanya sebuah kesia-siaan.

Malam belum begitu larut, tapi rasanya segala suara yang ada di dunia ini diredam begitu saja saat aku sendirian. Perlahan bukan hanya suara yang hilang. Aku mulai merasa segalanya tidak memilili warna. Warna dan suara hanya dimiliki oleh orang-orang yang begitu hidup.

Bagaimana dunia tampak di matamu?

Suara apa yang kau dengar?

Apakah ada warna di duniamu? Seperti apa warnanya? 

Aku memejamkan mata, merasakan hening menggerogoti badanku. Aku dilahap oleh kekosongan yang berangsur-angsur memenuhi diriku. Aku kehilangan makna. Aku kehilangan diriku. Sudah lama. 

Malam semakin gelap, aku tidak mengenali diriku lagi. Aku menjadi puing-puing kekosongan.

0 komentar:

Posting Komentar