Kotakasa

Dulu, aku sering membeli buku-buku antologi puisi, membaca buku antalogi puisi random di perpustakan, atau sengaja mencari akun-akun yang menyediakan ruang bagi penulis untuk meletakkan puisi mereka. Tapi, sekarang aku tidak menaruh perhatian yang begitu besar pada buku antologi puisi, atau sekadar membaca puisi random yang aku temukan entah dimana. Aku, lebih tepatnya pikiranku, enggan tenggelam dalam kerumitan permainan diksi yang cantik namun begitu sukar ditafsirkan. 

Kesibukan realita dan tugas telah sukses menyedot pikiranku sepenuhnya seperti lubang hitam.

Sudah lama aku menarik diri dari dunia bermakna ganda atau lebih itu, memilih mencari bacaan lain yang ringan dan tidak membebani apapun. Mungkin karena itu, rak bukuku penuh keragaman dan terlihat dipenuhi buku-buku yang kontras satu sama lain. Di rak paling atas, ada judul-judul komik yang berjajar, dari cerita yang sangat ringan dan lebih mirip bacaan anak SD, sampai komik yang mampu membuat bergidik karena kengerian yang ada di dalamnya. Rak nomor tiga ada buku-buku detektif. Rak lainnya diisi buku non fiksi, novel pada umumnya, dan aku sudah lama tidak menyentuh buku-buku antologi puisi lagi.

Siang ini, ditemani suara kipas angin dan es jeruk, aku menarik salah satu buku antologi puisi dari rakku. Aku kembali membacanya. Dulu aku sangat menyukai penulis ini, sampai aku punya semua buku antologi puisinya. Tapi, sekarang lihatlah, di tanganku, buku ini tampak terasa asing

Aku membalik kertas sampul, menemukan namaku dan angka tahun, 2019, kemudian menyusuri deretan tulisan di daftar isi. Judul-judul ini, aku pernah membacanya dulu, terkesima. Sekarang pun aku masih merasakan rasa terkesima, tapi selain itu, aku tidak merasakan apapun.

Mungkin sekarang banyak hal yang harus dikerjakan, sehingga aku tidak punya waktu luang yang begitu banyak untuk merenung, atau menyelami sesuatu begitu dalam hingga menyita pikiranku. Begitu aku menyadari waktu dan duniaku yang terus bergerak ke arah realita, aku merasa kehilangan diriku yang dulu. Diriku yang membangun ruang dan dunianya sendiri, melepaskan diri dari realita, dan mejadi apa saja.

Tapi aku masih menulis. Walaupun bukan puisi. Menulis adalah salah catu cara agar aku tetap waras. Kelak, suatu hari, aku ingin kembali menulis puisi, cerpen, atau cerita bodoh khayalanku sendiri. Aku ingin menemukan "aku" yang lama di dalam diriku, mengajaknya untuk kembali menjadi apa saja. Membangun ruang tempat aku bisa melepaskan diri dari realita.

Aku membalik halaman lagi, tiba di halaman pertama, dan sebuah puisi menyambutku dengan asing. Aku membacanya. Kata-kata berlompatan keluar, memenuhi tiap sudut isi kepalaku. Tiap diksi itu memintaku untuk memahaminya. Diksi.

Diksi.

Kosakata.

Kata-kata.

Kosakata. Diksi. Kosakata. Kosakata. Kosakata. Kosakata. Kotakasa.

Kotakasa.

Mereka terus berlompatan dan aku kehilangan jejak untuk mengikutinya. 

0 komentar:

Posting Komentar