Seperti Matahari

 Kadang aku berbicara dengan diri sendiri, dalam hati, tentu saja. Akan aneh jika aku melakukannya secara terang-terangan, orang yang melihat bisa jadi berpikir aku punya teman astral, bukan teman manusia. Yah, tapi teman astral tidak buruk juga, mungkin. 

Aku tidak dalam kondisi menyedihkan sampai tidak punya teman hingga berujung ngobrol sendirian dengan tampang kosong. Kadang, disaat aku bercakap dengan "aku", aku bisa menemukan sesuatu. Entah kesimpulan dari hal-hal yang aku pikirkan, lebih jauh mengenal diri sendiri, atau sialnya adalah aku disesatkan oleh pikiran sendiri.

Siang ini, aku melakukannya. Aku tiduran di lantai beralas tikar kotak-kotak milik teman sekamarku. Mendung di luar membuat suasana kamar menjadi redup, sesekali angin masuk melalui jendela dan mengenai wajahku. Aku memasang wajah kosong, seperti melamun, sampil mendekap buku yang barusan aku baca. Sesekali aku bisa mendengar teman sekamarku cekikikan menonton sesuatu di laptopnya.

Dari sudut mataku, aku melihat temanku bangkit dari kasur, beringsut pelan ke arah jendela, dan menyibak gorden. Sepertinya ia berusaha mengembalikan sinar ke dalam kamar yang lampunya tidak dinyalakan ini. Cahaya matahari mengenai mataku, lalu aku cepat-cepat berguling ke samping sambil menutup wajahku.

"Aku benci sinar matahari." Kataku, sambil tidur tengkurap.

"Hah? Bisa-bisanya kamu bilang gitu disaat kamu kayak sinar matahari." Temanku kembali menutup gorden, membiarkan aku tetap menikmati cahaya redup di dalam kamar. Ia lantas kembali pada kesibukannya, cekikikan sambil menonton sesuatu di laptopnya.

Aku membalik badanku, kembali melihat langit-langit kamar yang dihuni oleh satu dua laba-laba. Aku menghela napas melihat mereka merambat dan menyebar jaring laba-laba. Sekeras apapun aku dan temanku memberantas mereka, mereka selalu kembali membawa armada, kemudian menciptakan jaring-jaring baru. Hingga akhirnya kami menyerah, memilih membersihkannya seminggu sekali saja. Bahkan daya hidup laba-laba pun menakjubkan, ya?

"Laba-labanya banyak ya." Aku menoleh ke arah samping, melihat temanku yang sekarang ikut rebahan juga.

"Ulah siapa coba?"

"Dulu kan aku sendirian. Lalu ada satu laba-laba. Kupikir 'yeey asik ada temen' makanya aku biarin. Lalu entah sejak kapan, mereka jadi banyak. Armada laba-laba." Aku membentangkan kedua tanganku ke atas.

"Ifaaa, bisa-bisanya. Eh tapi aku ngga nyangka loh kita bisa baikan lagi. Dulu tuh keknya aku jahat banget ngga sih?"

Aku ber-hmm pelan lalu mengangkat bahu, "ngga tau, aku udah lupa. Ntah lah, yang penting sekarang udah baik-baik aja, kan?" Aku hanya tidak ingin membahasnya.

Suara petir mulai terdengar di kejauhan. Sepertinya hujan akan turun siang ini. Halo, ini Solo, kota yang masih langganan hujan ketika siang atau sore datang, dan hujan masih akan tinggal sampai malam. Lalu hilang meninggalkan jejak kabut pukul tiga pagi.

"Sesekali kamu jahat juga kek."

Tapi aku memang jahat. Aku pun juga manusia.

"Tapi dulu aku ngerasa kamu kayak jauuh banget. Rasanya kamu punya duniamu sendiri trus ngebangun dinding pembatas. Dulu aku sama yang lain ngerasa kamu tuh terang banget. Berprestasi lah apa lah."

"Oh ya?"

"Iya, trus rasanya kayak keajaiban akhirnya bisa akrab lagi. Kamu tuh ya-" Ia menghentikan bicaranya ketika angin menghantam jendela, membuat titik-titik hujan masuk. Ia berdiri lalu menutup jendela, seketika membuat semua keramaian hujan menjadi diam. 

Ia duduk bersandar pada tempat tidur, kembali melanjutkan kalimatnya, "tapi setelah balik akrab, kamu ternyata gumpalan kemalasan ya. Tukang turu. Belum pernah aku ketemu orang semalas kamu. Bisa-bisanya."

Aku tertawa singkat. Gumpalan kemalasan. 

Temanku kembali rebahan di atas kasur, membaca komik di ponselnya. Aku kembali menatap laba-laba yang sepertinya sudah muak kutatap. Jauh, jauh di dalam hatiku, ada sesuatu yang begitu berat. 

Aku bukan sinar matahari atau cahaya terang. Ketika ada seseorang yang mengatakan itu, aku hanya merasa terbebani. Aku tidak merasa terang. Aku hanya merasa terjatuh dalam lumpur dan berusaha menggapai keluar. Aku punya banyak sisi gelap yang lebih baik aku simpan sendiri. Kerumitan di dalam kepala, pemikiran yang negatif, sisi problematik, dan kenyataan bahwa sebenarnya aku tidak punya rasa empati. 

Teman baikku, yang sudah mengenalku selama bertahun-tahun, mengatakan kalau aku yang sekarang jauh lebih baik. Aku sudah bisa membuka diri, berbicara dengan orang lain secara normal, dan mulai menganggap kehadiran orang-orang di sekitarku. Itu hal baik, katanya. Tapi aku tidak tahu apakah hal ini memang baik untukku atau tidak. 

Aku pernah membuka obrolan dengan seseorang, begini, "Dalam hidup, ada saatnya manusia tersesat. Bingung tentang apa yang sebenarnya dicari, kemana arah tujuan, dan melupakan dirinya yang sesungguhnya. Fase tersesat rentan terjadi pada masa peralihan menuju dewasa."

Saat itu, aku hanya mengatakan sepotong kalimat itu, lantas memutuskan untuk diam karena lapar membuatku malas berpikir lebih jauh. 

Lalu, apakah diriku yang suram dulu adalah saat ketika aku tersesat, atau kah sekarang aku yang sedang tersesat? Aku terus berbicara dengan diriku sendiri, di bawah langit-langit kamar yang dinaungi sarang laba-laba, suara hujan yang samar-samar terdengar, dan cekikikan teman sekamarku.

Tapi, kemudian aku mengingat perkataan seseorang, "manusia itu dinamis. Selagi kamu bergerak ke arah yang lebih baik, aku akan dukung kamu. Kenapa kamu khawatir soal hal yang ngga penting? Kamu cukup berpikir hal-hal baik aja. Pola pikir manusia menentukan tindakan mereka. Nanti, kalau kamu ngelakuin hal yang sekiranya merugikan, aku bakal tegur kamu."

Aku terlalu banyak berpikir siang ini, lebih baik aku tidur.


0 komentar:

Posting Komentar