Beri aku waktu dua belas menit. Aku akan duduk sendirian disini dengan mata terpejam dan kaki menyilang. Aku akan bersandar pada tembok lapuk penuh jamur penuh kerak yang sesekali dihantam angin. Aku akan menikmati gelak angin yang terdengar mengejekku, deru kendaraan yang kadang mendelik ke arahku, dan aku akan menikmati tiap nafasku sendiri.
Beri aku dua belas menit, yang kini tersisa sepuluh menit. Aku ingin diam dan menikmati diamku sendiri. Ketika aku terpejam, ya, aku terkadang bisa melihat seseorang menari. Seorang gadis di tengah ruang yang begitu luas hingga rasanya ia sangat kerdil dan tenggelam. Aku terus melihatnya menari, menari, menari. Roknya berkibar dipermainkan angin, rambutnya menyerupai ombak yang lembut, dan senyumnya merekah. Aku tidak tahu untuk siapa senyum itu sedang ia tengah menari sendirian. Ia bahkan tidak peduli bahwa sedari tadi aku melihatnya dari tempatku duduk, terantuk kantuk sesekali.
Beri aku dua belas menit, yang kini tinggal tujuh. Tiga menitku habis untuk mengamati gadis kecil angkuh yang ternyata menyebut dirinya sendiri sebagai kebebasan. Tujuh menit akan kupakai untuk apa, aku diam termenung memikirkannya. Aku terpekur cukup lama, hingga aku memejamkan mata lagi. Gadis itu sudah pergi, kini hanya ada kekosongan.
Tinggal lima.
Tinggal tiga.
Aku membuka mata. Pandanganku beradu dengan gelapnya malam, gigil dingin yang selalu setia memelukku. Aku menghela napas. Sisa tiga ini ternyata diisi oleh suara bising orang-orang. Manusia memang bisa menjadi sangat berisik dan tidak berhenti berbicara. Seakan jika mereka berhenti berbicara, mereka akan mati. Aku menghela napas, tidak dalam, hanya cukup untuk mengisi rongga paru-paru yang kosong.
Tinggal satu.
Ah, kau menghampiriku. Ada apa? Aku menoleh padamu yang menoleh padaku. Baiklah, saatnya aku kembali.
0 komentar:
Posting Komentar