01.58

Satu hal yang sering aku tulis dan tekankan untuk diriku sendiri, bahwa pemikiran diri sendiri itu kadang bisa berbahaya dan dampaknya bisa lebih parah daripada gosipan tetangga. Pemikiran negatif tanpa dasar, mampu melukaimu lebih kejam, karena itu akan terus tumbuh, berkembang, dan menghantuimu. Bahkan parahnya lagi, mampu mempengaruhimu dalam bertindak. 

Jika orang yang aku pedulikan memiliki pemikiran buruk, aku akan menyeretnya kembali. Entah dengan cara yang lembut, entah dengan cara yang keras. Terkadang orang memang perlu digertak agar sadar. Itu pun termasuk caraku untuk peduli. Kalau aku memang tidak peduli ya terserah dia mau apa, sama sekali bukan urusanku dan aku tidak mau menghabiskan tenaga. 

Sebagai manusia yang normal, tentu, aku pernah berpikir negatif, berpikir terlalu jauh, dan berprasangka buruk pada suatu hal yang ada. Tapi, aku sebisa mungkin tidak membiarkan itu semua keluar begitu saja tanpa adanya pertimbangan. Aku sebisa mungkin menekan pikiran negatif untuk tidak memakan diriku, menimbulkan masalah, atau melukai orang lain. Tapi kadang, ada hal-hal diluar kuasaku dan itu terjadi begitu saja. Yap, ada kalanya gagal. Aku manusia. 

Aku cukup memiliki kontrol emosi yang baik. Di dalam diriku, ada tingkatan-tingkatan yang aku buat sendiri. Misalnya, jika ada pikiran jelek muncul. maka pikiran itu ada di tingkat paling bawah. Tingkat dimana aku masih bisa mengesampingkan itu dan bukan sebuah masalah yang besar. Di tingkat ini, aku akan mencoba menganalisis apakah pikiran jelek itu muncul tanpa dasar, apakah ada buktinya, dan mengaitkan dengan segala hal yang berhubungan dengan itu. Oke, terdengar memusingkan, memang, tapi di dalam kepalaku, itu semua terjadi dengan sangat cepat. Jika ditingkat ini terbukti pikiran jelekku hanya sebatas pikiran tanpa dasar dan tidak terbukti apa-apa, maka aku menyingkirkannya.

Tingkat selanjutnya. Jika analisisku ternyata meragukan, tidak cukup kuat bahkan untuk meyakinkan diri sendiri, itu saatnya aku untuk mencari tahu. Mencari kebenarannya. 

Tingkat selanjutnya. Jika pemikiranku terbukti benar, aku pun masih akan berpikir alasan apa yang membuat hal buruk itu terjadi. Aku tentu saja kesal, tapi, mari lihat dari sudut pandang yang berbeda. Marah meledak-ledak tidak terjadi di tingkat ini. Jika aku masih bisa memakluminya, aku akan berbicara baik-baik. Sering aku mengambil jeda, menenangkan diri, lalu kembali.

Tingkat selanjutmya. Kesabaranku habis. Jika ini menyangkut pikiran jelek tentang orang lain, pilihan yang ku ambil ada dua. Pertama, aku akan marah. Kedua, tidak lagi ada kepercayaan untuk orang itu, sebisa mungkin tidak melakukan kontak apapun, tidak lagi ada rasa peduli, dan aku melakukan itu semua tanpa berbicara apapun kepada pihak yang bersangkutan. Jika aku sudah memilih pilihan kedua, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk orang itu.

Sebenarnya itu semua tadi sama dengan caraku menghadapi masalah, atau omongan jelek orang-orang buatku.

Kamu tahu, sayangnya, belakangan ini, banyak sekali kejadian dimana pokok masalah itu justru karena prasangka buruk mereka padaku. Sayangnya, atas banyak kejadian dalam rentang waktu yang sebentar, aku tidak mampu meredam itu semua, hingga akhirnya aku takut pada manusia. 

"Manusia itu menyeramkan. Mereka bisa berprasangka buruk padaku bahkan jika aku hanya duduk diam tanpa berkata apapun. Sialnya, mereka yang menciptakan masalah itu, tapi mereka menyeretku. Aku diminta bertanggung jawab atas prasangka buruk yang mereka buat sendiri tanpa dasar apapun."

Sering sekali orang berprasangka buruk padaku, saking seringnya, jika itu terjadi, ada sisi dalam diriku yang berkata, "Udah sering kan? Harusnya bisa dong ngatasinnya, satu kejadian lagi pasti bukan apa-apa." Sisi diriku yang rasanya ingin aku lempar saja.

Oke, kembali lagi.

Ada alasan kenapa aku tidak membiarkan pemikiran jelekku keluar begitu saja. Tentu, karena aku tidak ingin menimbulkan masalah hanya karena hal itu. Aku juga tidak ingin menyakiti hati orang lain (jika aku berpikiran jelek kepada orang lain) Dan alasan utamanya adalah aku sayang diriku. Aku tidak mau menderita karena pemikiranku sendiri.

Aku memang terlihat cuek dan tidak peduli, kan? Selalu bersikap mampu memaklumi, kan? Selalu tampak seperti orang yang mudah memaafkan, kan? Itu semua hasil dari proses berpikir dan analisis itu. Aku bukannya tidak peduli, aku peduli, cuma caranya berbeda dan sedikit yang bisa memahami itu.

Pernah ada suatu masalah dan adikku bilang "Kamu kok bisa setenang itu sih."

Tenang? Di luar memang tenang. Di dalam? Ada perang.

Jangan memaksaku untuk bercerita mengenai perang di dalam diriku. Kerumitan-kerumitan itu hanya untuk aku sendiri. Bahkan keluargaku tidak pernah tahu serumit apa di dalam kepalaku. Karena aku tidak mampu menyusunnya dan menyampaikan dengan baik.

0 komentar:

Posting Komentar