(Akhirnya Aku Menulis Ini) Dimana Salahku?

Mereka bilang bahwa mereka menerimaku, "Kami terima kamu apa adanya, kok. Kamu ya kamu. Jadilah diri sendiri."

Tapi, akhirnya, mereka berkata hal-hal lain.
"Bisa ngga sih kamu lebih peduli?"
"Berharga ngga sih kami buatmu? Kamu anggap kami apa? Di matamu kami apa?"
"Kamu ngga bisa ya ngehubungi duluan? Harus kami?"
"Ah Hanifa mah sama temen-temen yang lain bisa asik, sama kami malah ngga bisa. Ngerasa dibedain."
"Serius amat, ngga seru ah. Tinggalin yuk."
"Hanifa lagi badmood ya? Nadanya kayak orang marah. Oh kalo lagi serius kayak gitu ya? Malas ih ngobrol sama Hanifa kalo dia lagi serius, fokusnya ke tugas semua."
"Alah ngilangan mulu Hanifa kalo dia lagi ada tugas. Susah dihubungi."
"Hanifa apa-apa dilakuin sendiri, bisa ngga sih minta bantuan kadang-kadang?"
"Kami ngga ada gunanya?"

Perkataan-perkataan seperti itu seperti memintaku untuk berubah secara tidak langsung. Ketika aku mencoba untuk berubah (ingat, perubahan tidak langsung terjadi dalam jentikan jari. Berubah butuh proses) dan sedang dalam proses penyesuaian, lagi-lagi mereka berkata hal-hal lain.
"Udah, ngga usah berubah. Tetep jadi Hanifa aja, kan kami nerima kamu apa adanya."
"Gapapa, kami udah terima kamu apa adanya kok."
"Santai aja kali, kami ngga papa kok sama sikap kamu yang kayak gitu."
"Ngga kok, kamu yang biasanya juga udah cukup."
"Kami kan maunya temenan sama "Hanifa" dan "Hanifa" ya kamu."
"Gapapa, aku tetep terima kamu apa adanya kok, dan tetep suka temenan sama kamu"

Tapi, ketika aku akhirnya berhenti mencoba berubah, menghentikan proses perubahan itu, mereka lagi-lagi mempermasalahkan sikapku.

Ketika aku bertanya, "lalu kalian maunya apa? Kalian seakan minta aku buat berubah, tapi ketika aku mencoba berubah, kalian berkata bahwa aku tidak perlu berubah dan kalian bisa menerimaku. Kalau memang bisa menerimaku, harusnya kalian tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku jadi serba salah. Sekarang, jawab to the point, aku harus gimana?

Melihatku yang panik, kalut, dan terduduk lemas, herannya, mereka seakan menjadi orang yang ingin menyelamatkanku dari luapan pikiran kalut milikku. Mereka mendadak datang sambil mengulurkan tangan, mencoba menenangkan, dan ingin aku tidak berpikir macam-macam lagi.
"Ngga kok, kamu ngga salah apa-apa. Kami yang salah. Kami minta maaf. Sekarang kamu tenang, ya."
"Kami ngga akan bicara yang aneh-aneh lagi ke kamu biar kamu ngga merasa serba salah."
"Hanifa, ngga papa, kok. Kamu ngga salah. Kamu ya kamu, seperti adanya kamu."
"Ngga kok, kamu ngga salah. Kamu udah baik banget. Kami aja yang waktu itu lagi overthingking, karena kamu orang terdekat, jadi kamu yang kena imbasnya."
"Ngga papa kok, pada akhirnya kamu kan tetep kamu, kamu yang kami kenal."

Baik, aku terima itu. Aku lalu bangkit.

Tapi, nyatanya, kejadian itu terulang lagi. Mereka kembali mengatakan hal-hal yang seakan memintaku untuk berubah. Seperti siklus. Terus terulang. Inilah lingkaran setan. Bedanya, aku yang bangkit kembali tidak bisa pulih 100% daya pulihku menurun tiap siklus itu terulang.

Apakah aku sedang dipermainkan?

Aku hanya menjadi diriku. Apa itu salah?
Aku hanya ingin bertindak secara tulus tanpa topeng "agar dicap baik". Apa itu salah?
Aku hanya ingin jujur ketika bertindak. Apa itu salah?
Aku hanya bisa peduli diam-diam dan tidak pintar menyampaikan perasaan dan ekspresi. Apa itu salah?
Aku tidak ingin basa-basi dan mengumbar kata-kata manis. Apa itu salah?
Aku hanya ingin sesekali serius dan fokus, aku ingin menikmati duniaku ketika berpikir, aku ingin menyelami pikiranku sendiri. Apa itu salah?

Dari awal aku sudah memberi aba-aba pada mereka tentang seperti apa diriku ini agar mereka tidak kaget kedepannya. Aku sudah berkata banyak hal dan mereka bilang mereka mengerti. Aku bilang:
"Aku ini anaknya lebih banyak pake otak, jadi nanti maaf kalau aku terlalu terus terang."
"Kalau aku lagi serius, biasanya aku terkesan kayak orang marah atau lagi badmood, tapi sebenernya aku ngga lagi marah atau badmood kok."
"Bentar ya, aku lagi mode serius, tolong jangan diajak bicara dulu. Nanti aja kalo mau bicara."
"Aku kurang bisa ngehubungi duluan. Susah buat memulai itu."
"Aku kurang pintar menyampaikan perasaan atau ekspresi. Mungkin kesannya aku datar-datar aja."
"Aku lebih nyaman nulis ketimbang bicara. Maaf kalau aku ngga banyak bicara, bukan berarti aku malas bicara sama kamu kok."
"Maaf, pikiranku lagi ribet. Aku mau nenangin diri dulu. Tolong jangan hubungi dulu, nanti aku yang hubungi kalo udah membaik."
"Maaf aku ngga biasa minta tolong kalau aku bisa handle sendiri. Aku pasti minta bantuan kalo kesusahan."

Aku tahu diri aku anak yang menyebalkan. Dulu aku bahkan egois dan pemarah luar biasa. Aku berubah, perlahan, seiring waktu. Perubahan tidak instan, sekali lagi, semua itu butuh proses. Aku tahu sikapku ini menyebalkan, makanya aku memberi aba-aba di awal pada mereka. Mereka bilang mereka mengerti dan menerima, tapi apa?

Sebenarnya, dimana salahku?

Orang-orang seenaknya berekspektasi terhadapku, menaruh harapan kepadaku. Ketika ekspektasi itu tidak sejalan dengan mereka, ketika aku nyatanya tidak bersikap seperti yang mereka harapkan dan inginkan, mereka seenaknya saja menghujani aku dengan kata-kata yang membuat aku merasa serba salah. Mereka seenaknya membuat seakan aku yang salah. Mereka menciptakan lingkaran setan itu.

Lingkaran setan itu membuatku terjebak dengan pertanyaan dan pernyataan yang membuat aku mengalami krisis jati diri.
"Apa aku ternyata seburuk itu?"
"Ah, ternyata aku seburuk itu. Kalau aku seburuk itu, sepertinya aku pantas diperlakukan begitu."
"Ini salahku, aku yang jarang pakai perasaan, ini karmaku."
"Yap, aku memang sampah bagi orang-orang di sekitarku."
"Apa aku coba berubah total ya? Tapi, nanti, kalau berubah, aku akan menjadi siapa?"
"Mungkin aku harus mulai pakai topeng."
"Apa sikap jujur dan tulusku nyatanya justru membikin orang sakit hati? Apa orang-orang lebih ingin mendapat perhatian palsu? Ah, orang-orang suka kepalsuan yang manis?"
"Apa aku harus menjadi orang lain jika "Hanifa"nyatanya membuat mereka kecewa."

Aku bisa saja meninggalkan mereka. Aku bisa saja mencari orang-orang baru yang akan aku masukkan ke dalam lingkup milikku. Sayangnya, jeleknya aku adalah ketika aku menyayangi orang, akan susah bagiku untuk meninggalkannya. Teman, aku mengutuk diriku kenapa aku justru meletakkan perasaanku pada bagian ini.
Bahkan, aku masih mau membantu mereka ketika kesulitan. Aku masih mau mendengarkan curhatan mereka, menepuk pundak, dan meringankan beban mereka.
Walaupun mereka menciptakan lingkaran setan, membuatku seperti meminum racun, aku tetap sulit meninggalkan mereka begitu saja.

Itulah jeleknya aku. Itulah kebodohanku. Dan sampai sini, sampai aku menulis bagian ini, aku menyadari kesalahanku. Inilah kesalahanku, inilah letak kesalahanku. Kesalahannya ada pada diriku sendiri yang susah meninggalkan orang lain.

Aku memang bodoh.

Kejadian-kejadian itu, lingkaran setan, dan krisis jati diri itu membuat aku membikin tembok antara aku dan orang lain. Aku menjadi orang yang tertutup dan susah ditebak. Aku hanya tidak ingin terlalu dekat dengan orang lain, aku mewanti-wanti agar orang baru yang aku kenal nanti tidak berakhir dengan menciptakan lingkaran setan. Aku tidak ingin kembali terluka.

Sebenarnya, selama ini, ada banyak sekali suara di kepalaku. Bising. Jika aku berkata bahwa pikiranku sedang ruwet dan ingin ketenangan, itu tandanya aku sedang kesulitan menangani semua suara bising itu. Aku hanya ingin sendirian dulu tanpa perlu diganggu orang lain. Suara bising ini sudah cukup mengganggu, aku tidak ingin orang lain ikut mengganggu juga. Emosiku selalu tidak stabil ketika aku kesulitan menangani ini, aku juga tidak ingin orang lain kena imbasnya.

Aku sebenarnya ingin bercerita hal ini pada orang lain, aku juga sebenarnya ingin ditolong. Aku sebenarnya ingin didengar tanpa perlu mengkhawatirkan orang lain berpikir yang jelek padaku atau tidak. Sayangnya, respon orang-orang terdahulu membikin aku ciut. Aku paham bahwa tiap orang berbeda, tidak semua orang seperti mereka. Tapi, yang aku tidak paham adalah aku tidak bisa ingat tentang itu jika sedang susah. 
"Ternyata Hanifa akhirnya merasakan yang aku rasakan."
"Aku udah pernah ngerasain kayak gitu, lebih parah malah. Kamu baru sekarang ya."
"Aku malah lebih parah, dulu aku gini blablabla (balik cerita)"

Atau, ketika aku kesulitan untuk bercerita dan memilih menghilang, ada saja yang berkata:
"Kamu mah ngilang terus."
" (ngambek)"
"Bisa ngga sih kamu lebih percaya ke orang lain?"

Yap, sekian curhatan dipagi hari habis sahur ini.

Sampai sini, hingga aku akhirnya menulis ini, aku merasa lebih baik. Menulis selalu membuat aku merasa lebih baik karena ketika menulis, aku berpikir dan memetakannya di kepala. Baiklah, setidaknya, aku juga sadar bahwa kesalahannya juga ada pada diriku sendiri. Aku akan berubah menjadi lebih baik lagi, dalam artian lebih bijak dalam menanggapi masalah-masalah itu, dan lebih pintar sedikit.

Pengalaman membuatmu belajar.
Trauma lebih membuatmu belajar jika kamu tidak dibutakan sepenuhnya oleh rasa trauma itu.
Dan orang-orang juga membuatmu belajar.

0 komentar:

Posting Komentar