Dunia

Halo, sepertinya dari kemarin aku terus menulis hal yang berbau negatif, ya. Haha. Maafkan aku. Hanya saja kadang hal-hal seperti itu tidak bisa terbendung dengan sempurna, walaupun sudah ditahan sedemikian rupa, ada saja celah kecil yang membocorkan isinya. Beberapa, tidak semua, tapi hampir semua. Begitulah.

Kali ini aku ingin memperkenalkan duniaku dengan lebih baik. Sebelumnya aku tidak pernah berusaha menjelaskannya pada siapapun, namun, beberapa orang bisa mengerti, beberapa tidak, beberapa tidak peduli, beberapa mencela. Yah, itulah hidup.

Aku ingin menceritakan duniaku melalui dunia itu sendiri.

Duniaku adalah sekumpulan huruf. Menulis. Tulisan. Karangan. Kata-kata. Kalimat. Paragraf. Bagiku, di dalam tulisan, aku bebas sebebas-bebasnya diriku. Aku tipe orang mudah sekali kesulitan menjelaskan sesuatu dengan benar melalui suara. Bahkan, kadang, ketika aku menjelaskan menggunakan suara, banyak yang salah paham. Nasib. Namun, di dunia ini, dunia yang aku bangun karena pelampiasan segala yang tidak bisa terucap, aku bebas. Di dunia ini aku menjadi cerewet dan berisik luar biasa.

Aku menyukai dunia ini. Dunia ini bisa diibaratkan seperti ruang tengah yang kosong dan hanya aku yang hidup di dalamnya. Tidak ada apa-apa disana, bahkan coretan di dinging. Ruang itu penuh keaslian, tidak ada kepalsuan. Di ruang tengah itu, aku bisa berteriak, aku bisa menangis, berbisik, tertawa, terpuruk, dan berdialog dengan diri sendiri.

Aku punya teman di dunia ini. Kei. Nama itu, selamanya akan menjadi nama miliknya di dunia ini. Apakah Kei masuk ke dalam duniaku? Hmm bisa iya, bisa juga tidak. Ia masuk ke duniaku ketika ia menyimakku, aku yang mengundangnya, atau ketika kami sama-sama menggunakan dunia ini untuk menjelaskan hal yang susah diucapkan menggunakan suara kami. Sesekali Kei hanya duduk diam, mengamatiku dari dunianya sendiri.

Inilah hubungan pertemanan kami yang (mungkin) bagi sebagian orang terasa aneh. Tapi, pada akhirnya kami hanyalah kami, dua orang yang terlepas dari standar orang-orang. Standar orang-orang yang mengatakan kalau menjelaskan sesuatu harus diucapkan. Apakah penjelasan selalu berasal dari mulut?

Kei memahami dunia ini dan aku dengan baik. Tulisannya tempo hari itu membuatku hampir menangis. Ia mampu menjelaskannya dengan baik sekali. Aku sangat mengapresiasi itu.

Apakah orang lain tidak bisa memahami dunia milikku? Seumur hidup, jika tulisanku ada di ruang publik, siapapun boleh membacanya. Ketika seseorang membaca tulisanku, saat itulah ia masuk ke dalam duniaku. Orang itu memang tidak seutuhnya masuk ke dalam ruang tengah, namun ia ada di dekat situ, melihat ke dalam, melihat betapa kosongnya ruang tengah itu, dan melihat aku yang berada di tengah ruang itu sendirian.

Sisanya terserah orang itu. Apakah ia akan tetap duduk, apakah ia akan tertawa, apakah ia akan menghina, apakah ia hanya melihat sambil lalu, aku tidak peduli.

Beberapa orang yang melihat duniaku sempat berkomentar
"Apa kamu selamanya mau begini? Memangnya kamu ngga mau berubah?"
"Ya coba buat bicara. Ngga ada salahnya juga."
"Ngomong dong."
"Ya belajar lah buat ngomong. Buat kasih penjelasan."

Sebenarnya aku juga berbicara, memberi penjelasan menggunakan suara. Hanya saja, jika suaraku tidak sampai, jika lingkaran setan sebelumnya itu kembali muncul, aku sungguh lelah sekali. Hal yang ingin aku lakukan hanyalah masuk ke dalam ruang tengah, mengunci pintunya, menutup semua jendela, lantas berteriak.

Kata-kata dalam suaraku tidak banyak, tidak keras, tidak berubah menjadi luapan kata-kata yang membikin orang tenggelam dan muntah karena terlalu banyak. Jika apa yang ku lakukan nyatanya kurang di mata orang lain, siapakah yang salah?

Tidak ada yang salah. Orang itu tidak salah karena ia memiliki standar berbicara yang berbeda denganku. Aku juga tidak salah karena aku hanya menjadi diriku sendiri. Aku dan orang itu hanya dua orang yang tidak cocok dan tidak bisa saling mengerti. Bahkan jika aku berusaha belajar untuk menjadi standarnya, orang seperti itu tidak akan sadar kalau aku mempelajarinya. Ia masih merasa kurang.

Keadaanku mengenaskan, kan? Bahkan, kadang, ketika aku berhadapan dengan orang yang meluncurkan banyak kata-kata tanpa memberiku celah untuk berbicara, aku bisa menjadi susah bernapas. Aku seperti terpojok.

Selama ini aku membiarkan orang-orang berlaku seenaknya. Selama ini aku membiarkan orang-orang meminta sesuatu dariku. Selama ini aku membiarkan orang bebas melakukan apa yang mereka mau.

Apakah aku tidak bisa berlaku hal yang sama?
Kenapa menjadi diri sendiri sesulit ini?

0 komentar:

Posting Komentar