Sekarang
malam minggu. Sama seperti hari-hari dan malam-malam biasanya, aku lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah. Membantu pekerjaan rumah, memijit bahu pegal Ibu,
mendengar celotehan adikku, mengurus kucing, dan sisanya aku habiskan untuk
mendekam di dalam selimut.
Tadi tanpa
sengaja aku menemukan video Pesona Indonesia di timeline LINE. Padahal aku tipe
orang yang tidak begitu peduli dengan isi timeline LINE dan entah karena
dorongan apa, aku mendadak meng-scroll. Video itu membuatku tertawa sekaligus
mengingatkanku pada Ra. Benar saja, jika kita sedang merindukan seseorang, hal
kecil pun sudah cukup mampu untuk membuat kita teringat padanya.
Mengingat
tentang Ra membikin aku kembali menilik diriku sendiri. Aku sedang terjebak di
ranah tanpa arah di dalam diriku sendiri. Pikiranku, bagaimana cara berpikirku
adalah sebuah anugerah sekaligus kutukan. Aku menerima keduanya dan seharusnya
aku bisa lebih bersyukur lagi karena itu.
Dulu pernah
ada orang-orang yang berterima kasih karena tulisanku. Dulu, ketika waktuku
lebih banyak dihabiskan untuk menulis. Mereka senang membaca tulisanku, seperti
ada perasaan tertentu ketika masuk ke dalam tulisan. Tulisanku tidak mati, kata
mereka. Ada juga orang-orang yang berkata bahwa tulisanku menyelamatkan mereka.
Dibalik
tulisan itu, aku banyak merenung untuk berpikir. Kadang, aku benci dengan
kerumitan yang ada di dalam kepalaku. Ketakutan akan segala hal, pemikiran yang
terlampau rasional, masa lalu yang menjadikan sebuah pembelajaran, benteng pembatas
yang kokoh antara aku dan orang-orang sekitar, menjadikan aku sebagai orang
yang tidak pernah tepat dalam membiarkan orang lain masuk dan mencoba mengerti
aku.
Aku kadang
benci kerumitan di dalam kepalaku dan bagaimana caraku menutupinya. Dengan segala
caraku meredam semua suara ribut di dalam kepalaku, suara itu tetap berteriak
lantang. Aku mengikat mereka dalam diamku, lalu melepasnya ke dalam tulisan. Aku
tidak bisa membiarkan mereka berkeliaran di telinga orang-orang yang sebenarnya
tidak ada keinginan untuk mendengarkan.
Aku kadang benci kerumitan di dalam kepalaku dan merasa bukan orang yang tidak pernah tepat. Ra telah memberi afeksi kepadaku dan kadang aku hanya bisa bergumam dengan kerumitanku sendiri. Ini menyesakkan bagi diriku.
Namun, kenyatan ironisnya, kerumitanku pun mampu pula menyelamatkanku.
Ketika aku
membuat keputusan, aku tidak membuatnya tanpa dasar atau berpikir sangat
dangkal. Aku memikirkannya baik-baik. Sama seperti ketika aku akhirnya
memutuskan untuk masuk DKV.
Ada seseorang
yang bertanya padaku, “waktu kamu di Pare, kenapa waktu itu kamu bisa mendadak memutuskan
mau masuk DKV? Apa karena kamu perempuan jadi bisa santai? Kalo laki-laki kan,
kuliah bukan hanya mentingin kesenangan aja, tapi kuliah buat kerja nantinya
dan menghidupi keluarga.”
Pertama,
jika aku hanya menuruti kesenangan pribadi saja, aku memilih untuk tidak kuliah
dan menjalani hidupku dengan melakukan sesuka yang aku kehendaki. Kedua, keputusan
itu memang mendadak aku deklarasikan tanpa ada keraguan, bukan berarti itu
menandakan proses berpikir yang mendadak pula.
Aku memikirkannya
cukup lama dan mempertimbangkan segala faktor. Faktor pertama adalah lingkungan
keluargaku sendiri. Di keluargaku memang ada yang menekuni seni, namun beliau
adalah dosen tari. Kesimpulannya, keluargaku diisi oleh orang-orang yang
berpenghasilan tetap dan jaminan masa depan yang sudah tidak perlu
dipertanyakan. Guru, dosen, hakim, akuntan, TNI, dokter, dan blablabla. Sedangkan
aku? Aku akan terjun ke dalam seni yang mindset orang miliki adalah pekerjaan
yang penghasilannya tidak tetap. Orang tuaku memang tidak melarangku, namun,
aku tahu ada kilatan kecil rasa khawatir di mata mereka walaupun akhirnya
mereka mempercayaiku.
Faktor kedua
adalah jika aku memilih DKV, universitas mana yang aku pilih, bagaimana
lingkungan universitas itu, pergaulan, cara belajar, biaya hidup, biaya kuliah,
biaya kebutuhan kuliah, seberapa tinggi tekanan kuliahnya, dan blablaa. Akan sangat
panjang jika mereka semua aku jelaskan.
Faktor ketiga.
Ketika aku lulus nanti, aku akan pergi kemana, apa yang akan aku lakukan
setelah lulus, karya apa yang bisa aku kombinasikan dengan ilmu yang aku dapat
semasa kuliah, dan blabla.
Faktor terakhir.
Aku memiliki cukup kemampuan dalam menulis. Aku ingin memaksimalkan potensi
yang aku miliki dan menggunakan semua potensi dalam diri yang ada untuk
menghasilkan sesuatu.
Apa sebagai
perempuan aku bisa santai soal masa depan karena kelak suami yang memiliki
tanggung jawab bekerja dan mencari uang?
Tidak.
Perempuan
memang tidak diwajibkan untuk mencari uang dalam berkeluarga, namun, akan sangat
mulia jika perempuan mencari uang untuk meringankan beban ekonomi keluarga dan
ikut menyokong segala kebutuhan.
Ah,
kenapa melulu berpikir tentang uang? Karena kehidupan tidak terlepas dari uang.
Aku mengetik seperti ini bukan karena matre atau gila kekayaan. Uang memang
bukan segalanya, namun, uang mampu mencukupi kebutuhan. Kebutuhan primer,
sekunder, tersier, dan lainnya. Mencukupi hak anak seperti mendapat pendidikan
yang layak, kesehatan yang bagus, dan lainnya.
Apakah perempuan
bisa santai?
Tidak.
Perempuan harus pintar mengatur pengeluaran
keluarga, bagaimana cara mengencangkan ikat pinggang perekonomian keluarga saat
keadaan genting, mengurus keperluan rumah, mengurus suami dan anak-anak, menguatkan
bahu anggota keluarga, menenangkan yang memiliki masalah, memiliki sikap hangat
tempat untuk pulang. Tentu tidak aku jelaskan secara rinci hal-hal barusan itu.
0 komentar:
Posting Komentar