Ra, Pencetus Jalan Kawah Bulan

Namanya Ra, begitu caraku memanggil dan memangkas namanya yang sejak awal hanya ada empat suku kata. Kebanyakan orang memanggilnya dengan sebutan satu suku kata di awal namanya. Sayangnya, sejak dulu, aku jarang menjadi sebuah mayoritas dan jarang masuk dalam lingkup 'sebagian orang' Kata temanku, aku adalah sebuah anomali. Kalau kataku sendiri, aku hanya sedang menjadi diriku sendiri.

Aku bertemu namanya pertama kali ketika grup angkatan sedang tukar-tukaran akun instagram, beberapa hari setelah pengumuman sbmptn keluar dan grup dibikin. Seperti diriku yang biasanya, ketika aku memfollow orang baru, aku akan mengscroll timeline mereka. Itu berlaku pula untuk Ra. Aku melihat beberapa gambar ilustrasi miliknya yang imut. Aku menemukan style menggambar ilustrasi buku anak bertepatan dengan diriku yang sedang sibuk suka berlama lama di toko buku mengamati buku bacaan anak-anak.

Saat melihat gambarannya, dalam hati aku berkata, "aku ingin bisa akrab dan dekat dengan anak ini." Itu adalah doa sepintas yang spontan diucapkan dan Tuhan sungguh tak terduga mengabulkannya.

Aku ikut malam perkenalan maba, beberapa hari sebelum ospek. Namun, karena malam sangat dingin dan perutku selalu menolak diajak berkompromi ketika malam, daripada menyimak mereka memperkenalkan diri, aku lebih memilih duduk mendekap lutut sambil terus berharap ini cepat selesai.

Aku juga tidak ikut ospek. Jadi, aku baru benar-benar mengenal dirinya ketika ospek jurusan.

Ra mengajakku berinteraksi duluan ketika aku sedang sibuk menggunting duplex. Saat itu malam hari, di ruang serbaguna asrama, kelompok ospek jurusanku ada disana sedang membikin kacamata 3D. Ra mengajakku interaksi duluan karena ada hal yang ingin ia sampaikan untukku. Ia menegur tingkahku yang terlalu sembrono. Saat itu aku hanya cengar-cengir sambil merapal kata "iya" berkali-kali. Senyumku berkali-kali merekah dalam diam dan dibalik semua aksi hemat kataku itu, aku memikirkannya baik-baik.

Setelah malam teguran itu, kami perlahan menjadi akrab. Ra banyak bercerita tentang apa-apa saja dan aku banyak menjadi pendengar. Aku tidak pernah merasa keberatan jika menghabiskan berjam-jam waktu untuk mengobrol dengannya. Sebagian besar obrolan kami didominasi oleh diskusi kecil dan topik yang lumayan berat. Aku tidak pernah bosan. Justru aku heran dengannya kenapa tahan berbicara denganku yang menurutku sendiri aku adalah anak yang terlihat selalu serius, pendiam, dan lumayan membosankan.

Ra pernah bertanya padaku mengenai bagaimana pendapatku mengenai dirinya. Pertanyaan itu ku jawab dengan santai, "ya kayak gini." Walaupun aku menjawab dengan nada tidak serius dan disambung dengan tawa milikku, diam-diam aku memikirkan pertanyaan itu. Aku memikirkannya ketika sedang menunggu pesanan nasi gorengku datang. Yap, aku memikirkan dirinya saat ia sendiri ada tepat di sampingku. Saat itu Ra berkali-kali melihat diriku sambil memasang wajah penasaran dan bertanya kenapa tingkahku berubah sedemikian rupa. Jawaban yang aku keluarkan adalah sebuah teka-teki yang hanya aku sendiri yang tahu.

Awal mengenal Ra, aku merasa anak ini sedikit menyeramkan. Ia terlihat pendiam dan aku merasa ia selalu sedang memikirkan sesuatu di kepalanya. Ia suka mengamati dan mempelajari orang-orang. Awal-awal berbicara dengannya, aku sedikit kesusahan untuk melihat matanya karena aku merasa sedang dipelajari dan ditelusuri lewat mataku. Tapi, lama-kelamaan, aku sendiri yang memutuskan untuk terus menatap ke arahnya jika kami sedang mengobrol. Aku seperti sedang mengatakan, "coba saja telusuri aku jika kamu bisa. Maka, aku juga akan menelusurimu."

Menurutku, Ra anak yang kelewat baik. Ia suka membantu orang-orang walaupun sebenarnya kerjaannya sendiri belum selesai. Ia terlihat kuat, mampu diandalkan, dan terlihat bisa mengatasi semuanya. Tapi, di mataku, ia anak yang cukup ceroboh, pelupa jika dalam suasana buru-buru dan panik, dan kadang ia terlihat rapuh. Jika sudah begitu, aku selalu merasa ingin mengulurkan tanganku untuknya. Entah untuk meringankan beban fisik, pikiran, atau hatinya. Jika temanku kesusahan (entah terlihat entah tidak) aku selalu ingin berlari menghampiri dan mendekap mereka. Biarlah aku ikut menanggung sebagian beban mereka.

Di mataku, Ra terlihat seperti mantan introvert. Di sini, di kota yang bukan tempat kelahirannya, ia mencoba mengubah dirinya yang lama. Ia berubah dengan cara banyak membantu orang-orang. Untuk sekarang, itulah yang ku rasakan. Aku bisa saja menentang pendaparku sendiri kelak jika aku menemukan fakta baru yang berbeda.

Kata orang, Ra bisa menjadi teman curhat yang mampu membikin lawan bicaranya sangat terbuka dan bisa leluasa menceritakan apa-apa saja padanya. Tapi itu tidak berlaku untukku. Mungkin aku masih belum berubah walaupun sahabatku berkali-kali memintaku untuk meminimalisir sifat burukku ini. Terlalu tertutup dan ingin menanggung semua masalah sendirian tanpa tahu batasan.

Agak susah mempelajari Ra. Karena ia punya beberapa karakter yang ia tempatkan di beberapa situasi. Tapi aku tahu di antara banyaknya karakter itu, ada satu yang benar-benar menggambarkan dirinya. Aku berpikir untuk menemukan 'dirinya' yang sebenar-benarnya dia saat aku sedang menunggu pesanan nasi goreng.

Ia anak yang penyayang dan terlihat dewasa. Sikap yang cocok untuk peran anak tertua yang memiliki dua adik. Ra terlihat  bersikap tenang ketika ada masalah. Tapi kadang aku ragu, bisa saja ada.perang di dalam otaknya.

Ra punya senyum yang bagus. Aku suka bagaimana cara ia tersenyum. Ketika ia tersenyum, matanya akan menyipit dan meninggalkan kerut halus di ujung matanya. Ada sebuah lesung pipit yang muncul di pipi kirinya.

Kata teman-teman, Ra anak yang imut. Aku pribadi sama sekali tidak tahu bagian mana dalam dirinya yang bisa dikategorikan sebagai imut. Sungguh.

Terlepas dari segalanya, Ra tetap seorang teman yang berharga. Aku bersyukur mengenalnya, aku bersyukur Tuhan mengabulkan doaku.

0 komentar:

Posting Komentar