Bagiku, sebuah lagu bukan hanya soal lirik, melainkan juga soal irama. Tidak masalah jika aku mendengarkan lagu dengan bahasa asing asal masih ada irama di dalamnya. Aku masih bisa merasakan emosi dari lagu itu melalui irama. Beberapa orang kadang mencak-mencak ketika aku memutar lagu bahasa asing yang mereka tidak mengerti. Mereka meminta aku untuk mengganti lagu dengan lirik yang bisa mereka pahami, terlepas dari irama lagu yang menggambarkan suasana lagu itu. Padahal, setiap lagu memiliki suasana masing-masing yang khas. Bahkan sebuah lagu dapat menyimpan sekeping memori.
Dulu, aku selalu merasa bahwa mendengarkan lagu sendirian ketika tengah malam membikin hanya aku dan lagu itu yang hidup di dunia ini. Aku menikmatinya. Aku menyukainya. Ku pikir, mendengarkan lagu dengan cara seperti itu adalah cara yang paling baik. Namun, malam itu, semua anggapan itu luntur.
Malam itu, sebuah lagu telah sukses menyimpan sekeping memori yang terjadi sangat singkat. Bagiku, malam itu juga sebuah malam paling gila yang terjadi selama aku hidup.
Aku mendengarkan lagu-lagu Joji yang tidak banyak orang yang tahu. Namun, dia mengetahuinya. Aku tidak pernah menyangka bahwa orang yang menurutku agak seram itu ternyata mendengarkan lagu yang sama denganku. Setelah selesai kumpul membahas poster dan drama iklan bersama kelompok Cempaka, teman-teman kami pulang sedangkan kami memilih menyandarkan punggung di dinding pembatas antara halaman asrama dengan pagoda.
"Lu lagi dengerin apa?"
Aku menoleh ke arah sumber suara, melihat dirinya yang duduk di atas dinding pembatas, sedangkan aku menyandarkan punggung karena aku tidak bisa duduk di atas. Tidak sampai, dan aku kesulitan memanjatnya.
"Joji."
Aku menjawab singkat, kembali larut dalam lagu yang ku putar.
"Eh dengerin bareng dong."
"Gimana? Aku ngga bisa naik kesana tau."
"Yaudah gue yang turun."
Ia turun dari atas, memilih berdiri di sebalah kananku. Karena ia bilang mau ikut mendengarkan, aku hendak melepas earphone dan memutar lagu lewat speaker hp. Namun, tanganku terhenti ketika ia berbicara.
"Jangan. Lewat earphone aja. Udah malem, nanti ganggu yang lain. Deket pagoda pula."
"Eh iya ya."
Aku mengurungkan niatku mencabut kabel earphone. Tanganku yang semula hendak mencabut, memilih mengulurkan sebelah earphone untuknya. Ia menerima sebelah earphone milikku dan memasangnya di telinga kiri. Sebelah earphone-nya lagi sudah terpasang di telinga kananku. Kami mendengarkan lagu yang sama sambil menyandarkan punggung pada dinding pembatas.
Aku lupa saat itu kami membicarakan tentang apa. Yang jelas, dia yang paling banyak bicara, sedangkan aku lebih banyak menjadi pendengar, hal yang mahir aku lakukan. Aku mendengarkan baik-baik, sesekali tersenyum, mengangguk, menimpali, dan terkekeh pelan. Sudah lama aku tidak bertemu orang seperti dia. Terakhir, aku bertemu orang seperti dia ketika aku masih di Kampung Inggris, Pare.
"Eh, capek ngga? Mau duduk dimana gitu."
Aku berkata sambil celingukan mencari tempat duduk. Ketika aku sadar dari tadi aku berdiri, aku merasakan pegal merambat dengan cepat di kakiku. Ku pikir, dia juga merasakan hal yang sama. Ia ber-hmm pelan sambil ikut melayangkan pandangannya.
"Duduk di tangga pagoda aja gimana?"
Ia menawarkan sebuah tawaran yang langsung aku jawab dengan anggukan kepala mantap. Ide bagus. Kami berjalan bersebalahan, menjaga jarak agar tidak terlalu jauh karena earphone masih menggantung di masing-masing telinga kami.
Kami duduk di anak tangga agak bawah. Aku baru kali itu duduk di sana tengah malam. Dari sini, jendela-jendela asrama terlihat jelas. Ada yang pendar lampunya masih terlihat, ada yang kerai jendelanya tertutup rapat, ada yang gelap sepenuhnya. Melihat asrama dari sisi yang berbeda ternyata cukup menyenangkan untuk dilihat. Kami tidak benar-benar hanya berdua di halaman asrama. Ada dua orang yang sedang duduk di pelataran teras asrama, entah sedang membicarakan apa.
Sekali waktu aku mendongak melihat langit malam. Ada bintang dan bulan disana. Bulan cembung. Aku mengamati konstelasi-konstelasi bintang yang aku tahu, lalu menyeletuk begitu saja saat melihat rasi sang pemburu di langit. Orion. Sebuah rasi bintang yang paling ku sukai karena sangat mudah ditemukan dan sebagai penunjuk arah barat. Saking sukanya, aku bahkan tahu nama ketiga bintang yang ada di sabuk Orion. Alnitak, Alnilam, Mintaka.
Kami terus mendengarkan lagu-lagu Joji. Sesekali ia akan ikut bernyanyi dan aku lebih memilih mendengarkan keduanya (suara Joji dan dirinya) sambil mengetuk-ngetuk jari mengikuti irama. Di sela-sela nyanyiannya, ia bercerita mengenai Joji. Aku menyukai bagaimana ia membingkai opininya mengenai karya-karya Joji. Aku merasakan hal yang sama saat ia bercerita soal ada beberapa orang yang tidak mengerti musik seperti ini.
"Anjay kita dengerin sampe se-album."
Ia menyeletuk ketika jariku mengetuk lagu XNXX di album Ballads. Aku terkekeh sambil mengangguk menyetujuinya. Kami terlalu larut dalam lagu sampai-sampai tidak menyangka bahwa kami hampir sampai di lagu terakhir. Bukankah waktu berlalu dengan cepat? Padahal dari dulu aku selalu merasa paling menyenangkan mendengarkan lagu sendirian. Ternyata, mendengarkan lagu dengan cara seperti ini juga menyenangkan.
"Eh lu udah ngantuk belum?"
Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya, "Belum, liat nih, masih melek sepenuhnya."
"Biasanya kalo lu melek sampe jam segini, lu ngapain?"
"Dengerin lagu?"
"Selalu dengerin lagu? Kalo lagi gabut gitu pasti dengerin lagu? Ngga nggambar?"
Aku ber-hmm pelan, "Kadang-kadang."
"Sekarang gabut ngga sih?"
Aku terkekeh sambil tertawa. Iya, aku gabut. Setelah ini aku tidak tahu mau melakukan apa, sedangkan mataku masih seratus persen terbuka.
"Mau jalan-jalan ngga? Naik motor keliling Surakarta. Lu pasti belum pernah kan keliling Surakarta jam segini."
Aku ber-hmm pelan sambil melihat ke arah jam di hpku. Pukul satu pagi. Aku menengok ke arah jendela kamarku. Lampu sudah dimatikan, teman sekamarku sudah tidur. Mataku masih melek sepenuhnya. Daripada aku terjebak bosan dan tidak tahu mau melakukan apa-apa, aku memilih meng-iyakan ajakannya.
"Boleh. Yuk. Ngga perlu pake helm?"
"Ngga usah, cuma muter muter sekitar doang."
Aku memasukkan hp dan earphone ke dalam saku celana. Ia berjalan di depanku dan aku mengikutinya berjalan ke arah motor biru yang terparkir di dekat ruang serba guna asrama. Ia berjalan sambil mengeluarkan kunci motor lengkap dengan gantungan boneka kepala kucing berwarna hitam. Ia memutar-mutar kunci motor, membikin gantungan itu bergerak mengikuti irama.
"Lumayan kan gue dapet pinjeman motor. Mana gantungan kuncinya kyowo banget pula. Kawaii gitu. Nih coba pegang."
Ia menyodorkan kunci motor kepadaku. Aku meraihnya dan terkekeh. Gantungan boneka kepala kucing ini ternyata lebih empuk dan lembut dari yang aku kira.
"Iya, imut banget."
Kami sampai di motor biru. Aku kembali menyodorkan kunci motor itu kepadanya. Ia menyalakan motor dan mengeluarkan motor dari jepitan motor lain yang ada di sisi-sisinya. Aku naik dan duduk dengan anteng diboncengan.
"Siap?"
"Yuk."
Motor biru yang kami naiki perlahan keluar dari halaman asrama. Kami melewati jalan yang sedang ditimbun ulang dengan tanah-tanah. Jalan itu masih bergeronjal, lebih mirip seperti kawah bulan.
"Wah jalannya kayak kawah bulan." Aku berkata sambil susah payah menyeimbangkan dudukku.
"Iya nih, jangan-jangan kita lagi jalan-jalan di bulan. Ini bukan bumi."
"Iya kita transit ke bulan, lalu lanjut perjalanan."
Kami keluar dari area gedung lima, terus melaju keluar dari wilayah kampus. Angin sesekali berhembus. Karena kami naik motor, terpaan angin semakin terasa menghantam tubuh kami yang sama sekali tidak tertutup jaket atau pakaian tebal. Ia mengenakan sweater hitam tipis dan celana 3/4, sedangkan aku mengenakan kaos abu-abu tipis dan celana training lengkap dengan kaos kaki yang membungkus telapak kakiku.
"Anjay dingin banget."
Ia setengah berteriak ketika berbicara. Aku menimpalinya dengan setengah berteriak pula. Hawanya memang luar biasa dingin. Apalagi ketika kami melewati jalanan yang menurun, intensitas dinginnya semakin meningkat.
"Eh ini gulungan lengan sweater gw tolong dilepas. Dingin banget anjay."
Aku cekatan meraih tangannya yang terjuntai condong ke arahku. Aku membuka lipatan-lipatan gulungan lengan sweater sebelah kiri. Setelah semua lipatan terbebas, ia menyembunyikan seluruh tangannya dibalik sweater, kemudian kembali memegang stang motor.
"Yang kanan dong tolong."
Ia melepas tangannya dari stang motor sebelah kanan. Kecepatan motor perlahan-lahan mulai berkurang. Aku melepas lipatan-lipatan sweaternya lebih cepat, seperti sedang berkejaran dengan waktu agar jangan sampai motor ini berhenti.
"Ayok ayok hahaha."
Kami berdua tertawa. Semua lipatan sukses terlepas, dan motor tetap aman tanpa berhenti. Seperti sebuah kemenangan bagi kami.
"Dingin banget. Tangan gue kayak udah mau beku rasanya. Coba lu genggam tangan gue."
Ia melepas stang dan menyodorkan tangannya padaku. Aku menggenggam jemarinya dengan tangan kanan dan setuju kalau tangannya dingin sekali.
"Anjay lu kok anget banget sih tangannya."
"Haha iya lah kan aku punya tameng."
Yang ku maksud tameng adalah dirinya. Karena aku duduk di boncengan dan dia duduk di depan.
"Oiya iya siap ibu. Ini tangan kanan gue masih dingin. Belum lu pegang."
Aku meraih tangan kanannya, menggenggamnya dengan cara yang sama.
Di sepanjang jalan, kadang-kadang kami berteriak betapa dinginnya hawa malam di Surakarta. Kami sepakat bahwa cuaca kota ini sama seperti gurun. Panas sekali ketika siang, dingin sekali ketika malam. Ia seperti guide tour yang menjelaskan banyak tempat kepadaku. Ia memberi tahu tempat kost teman-teman, tempat makan yang murah, burjo tempat ia biasa makan, dan jalan-jalan yang masih terdengar asing di telingaku.
"Mampir ke burjo yuk. Beli beng-beng anget."
"Boleh banget."
Ia membelokkan motornya di depan burjo yang aku lupa apa namanya. Ketika aku menengok ke dalam burjo, disana hanya ada laki-laki semua. Asap rokok menguar dari dalam burjo, dan televisi mungil disana memutar channel berisi pertandingan sepak bola. Ketika aku menengok ke dalam, beberapa orang menatapku dengan tatapan tanda tanya. Aku sedikit kelimpungan, memilih kembali mundur beberapa langkah dari posisi semula.
Ia datang menghampiriku, berjalan beberapa langkah di depanku sambil menjaga jarak agar aku tidak begitu jauh darinya. Samar-samar aku bisa mendengar ia mengatakan, "jangan jauh-jauh dari gue."
Tanpa dikasih tahu pun, aku juga tidak ingin jauh-jauh darinya. Karena hanya dia orang yang aku kenal di tengah rimba tanda tanya yang tiada satupun yang aku kenal.
Kami memesan dua beng-beng hangat, memilih tempat duduk paling depan, menjauh dari kebisingan dan hingar asap rokok. Beng-beng ini terlampau panas jika ku minum.
"Panas ya? Dipegang aja dulu gelasnya. Biar tangan lu anget."
Memang itu yang aku lakukan daritadi.
Setelah menghabiskan beng-beng hangat, kami langsung pulang mengingat jam sudah menunjuk pukul setengah tiga pagi. Di sepanjang perjalanan, hawa masih dingin seperti awal kami pergi. Namun, entah kenapa, masing-masing dari kami sudah tidak begitu kedinginan. Tubuh manusia memang sangat mudsh beradaptasi, bukan?
Ketika kami sampai di asrama, aku mengamati poni rambutnya yang tersibak ke belakang. Aku tertawa sambil mengatai rambutnya seperti Jimmy Neutron. Ia ikut terkekeh pelan sambil merapikan rambutnya dengan sekali gerakan yang nyatanya tidak mengubah apapun.
Kami dikagetkan oleh pintu asrama yang tertutup rapat lengkap dengan beranda asrama yang sudah gelap. Kantor satpam sudah gelap, sepertinya pak satpam sudah tidur.
"Aduh kok ketutup rapet gitu ya."
Aku melompat turun dari boncengan, mengamati pintu asrama yang tertutup rapat. Ada getir di dalam mataku yang sepertinya tertangkap oleh matanya.
"Kalo kekunci beneran, lu mau tidur dimana?"
Aku setengah panik, menjawab, "Ngga tau."
Dia ber-hmm pelan sambil mengedarkan pandangannya. Ia sedang berpikir. Kemudian, ia berkata, "Kalo kekunci, terpaksa lu tidur di.. Di.."
Aku tidak menunggu kata selanjutnya, "Ah, aku coba buka dulu ya pintunya. Kamu jangan kemana-mana ya. Tungguin."
Ia mengangguk dan aku berlari menuju pintu asrama. Aku memegang gagang pintu asrama dengan cemas. Membayangkan bagaimana kalau ini benar-benar terkunci dan aku terancam tidur entah dimana. Aku mendorong pintu asrama dan ternyata tidak terkunci!
Aku langsung menoleh ke arahnya dan langsung bertemu pandang dengannya. Aku sumringah dan tersenyum lebar, "Ra! Pintunya ngga kekunci yeeyy!"
Aku lihat dari kejauhan, ia menghela napas lega. Ia mengangguk pelan sambil melambaikan tangan ke arahku. Aku berkata "makasih" lamat-lamat agar gerakan bibirku terbaca olehnya. Aku tidak mungkin berteriak pukul tiga pagi, bukan? Sepertinya ia menangkap ucapanku. Ia mengangguk sekali lagi. Aku tidak menunggunya berlalu pergi. Setelah melihat ia mengangguk, aku langsung berlari masuk.
Kamarku terletak di lantai tiga asrama. Jendela kamarku menghadap halaman asrama. Ketika aku sampai di kamar, aku langsung menuju jendela. Mengamati dirinya dan motor birunya yang berlalu meninggalkan halaman asrama.
Itu adalah malam paling gila yang pernah aku lalui di masa hidupku. Pertama kalinya aku mendengarkan lagu dengan orang lain tengah malam, keliling kota naik motor tanpa helm pukul segitu, minum beng-beng hangat di burjo. Serba pertama kali. Aku tidak ingin melupakan kepingan itu. Sebuah kepingan kejadian yang menjadi sebuah titik balik kecil di dalam hidupku. Sebuah lagu telah berhasil menyimpan kepingan kejadian itu. Sekarang, sebuah tulisan telah sempurna menyimpan semuanya.
0 komentar:
Posting Komentar