Kami
begitu dekat, sampai-sampai banyak orang yang menyebar gosip kalau kami
pacaran. Tunggu dulu. Kami hanya anak SD, sama seperti teman-teman yang lain
yang menyebar gosip. Bagi aku dan Tiyo, yang saat itu masih belum begitu paham
soal cinta, rasanya malu sekali jika dikatai seperti itu.
Mungkin
gara-gara gosip itu juga, seperti ada jarak bagi aku dan Tiyo. Kami tidak bisa
leluasa ngobrol seperti dulu. Tidak bisa jalan-jalan sepulang sekolah—kami sebut
sebagai berpetualang. Tidak bisa saling mengejek, menertawakan, berantem, dan
bersenang-senang. Seperti ada yang hilang.
Kadang,
aku memergoki Tiyo sedang melihatku diam-diam. Ketika aku menoleh padanya, ia
selalu langsung membuang muka. Kadang, aku juga melihatnya diam-diam. Memperhatikan
kebiasaan anehnya yang suka bernyanyi di dalam kelas, melihat bagaimana ia suka
memiringkan kepalanya kalau sedang memperhatikan guru, dan kelakuan-kelakuan
kecil lainnya. Bedanya, ketika Tiyo memergokiku, aku tidak membuang muka. Aku
tersenyum padanya, yang malah membikin ia langsung membuang muka. Lagi.
Masing-masing
dari kami selalu ingin mengobrol, membicarakan hal-hal yang kami suka. Tapi
selalu saja ada bentang yang mengharuskan kami tidak boleh terlalu dekat.
Suatu hari,
aku jatuh dan kakiku terluka. Aku tidak bisa pulang dengan kaki seperti ini,
apalagi aku pulang berjalan kaki. Teman perempuanku menawarkan boncengan
padaku, yang langsung aku iyakan.
“Siap?”
Aku
membenarkan posisi kakiku, agar tidak terlalu sakit. Saat itu juga, Tiyo lewat
dan berhenti tepat di sebelahku. Aku tahu ia sedang melihatku, tapi aku
pura-pura masih membenarkan posisi kaki.
Tiba-tiba
ia tertawa.
Tiba-tiba
aku kesal. Ia tertawa saat melihat aku kesusahan? Tapi, diam-diam aku merasa
senang karena sepertinya ia mau mengobrol denganku.
“Kenapa
ketawa? Seneng ya liat orang susah?”
“Hahaha
apaan sih kamu. Kenapa ngeboncengnya kayak anak TK?”
“Kakiku
sakit. Nggak tau ya kamu?”
“Kok bisa?
Kamu pasti manjat dinding belakang sekolah ya? Anak monyet.”
Setelah
mengatai aku, ia langsung berlari pergi sambil tertawa. Jika saja kakiku sehat,
aku bisa pastikan aku akan mengejarnya dan menampol kepalanya.
Kami tidak
berbicara lagi setelah itu. Karena anak-anak lain makin gencar menggosipkan
kami berdua. Aku malu dan Tiyo juga begitu. Saat aku merasa sedih apakah aku
akan kehilangan teman, Tiyo (entah bagaimana) mendapatkan nomorku.
Dulu memang
masih jamannya SMS-an.
Setiap pulang
sekolah, kami menyempatkan diri untuk mengobrol melalui SMS. Aku suka saat-saat
menunggu balasan darinya. Disela-sela menunggu, aku belajar. Maklum, sudah
kelas 6 SD, dan aku gemas melihat buku kumpulan soal. Ingin aku kerjakan semua.
Suatu hari,
Tiyo bertanya aku mau masuk SMP mana (lewat SMS)
“Aku
mau ke SMP 3 aja. Kamu mau kemana?”
“Nggak
tau. Kalo kamu ke sana, aku juga mau ke sana.”
“Beneran?”
“Iya.
Aku mau bareng kamu.”
Saat
itu aku yakin sekali akan masuk ke SMP nomor dua di kotaku. Tapi, orang tuaku
berkata lain. SMP terbaik adalah SMP 1, yang saat itu masih berstatus RSBI. Pendaftaran
SMP 1 lebih dulu dari SMP negeri yang lain. Orang tuaku mau aku mendaftar SMP
1. Kalau tidak diterima, aku boleh ke SMP 3.
Aku tidak
memberi tahu Tiyo soal rencana orang tuaku.
Asal kalian
tahu, aku sengaja tidak belajar untuk ujian masuknya. Aku melakukannya dengan
tujuan semoga aku tidak diterima, dan dapat pergi ke SMP yang sama dengan Tiyo.
Aku benar-benar tidak ingin diterima di SMP 1, SMP terbaik yang tidak ada
Tiyo-nya. Begitulah pemikiranku saat itu.
Aku
juga mengerjakan soal ujian masuk dengan seenaknya sendiri. Asal mengerjakan,
tidak terlalu dibawa serius. Tapi, aku tidak mengasal jawabannya. Aku memang
asal mengerjakan, tapi aku tidak mengasal jawabannya. Paham maksudku?
Takdir memang
sebuah misteri yang mengikuti masa depan. Seyakin apapun aku, jika takdir sudah
berkata, aku tidak bisa apa-apa.
Aku diterima
di SMP 1 dengan peringkat pertama.
Bapak yang
memberitahu. Seketika, aku merasa lemas, bingung, dan tidak tahu harus
bagaimana. Orang tuaku senang sekali, harapan mereka padaku sudah aku penuhi. Tapi
aku? Aku bagaimana?
Dan aku
masih belum memberitahu Tiyo.
Aku seperti
menghindarinya. Aku tidak membalas SMS-nya, menghindar ketika berpapasan, dan
tidak mau berkomunikasi dengannya. Aku hanya bingung, bagaimana memberi
tahunya? Walaupun aku yakin, Tiyo sudah tahu walaupun bukan dariku.
Ini terasa
menyakitkan.
Aku merasa
aku sudah membohonginya dengan berkata aku akan satu sekolah dengannya juga. Aku
merasa aku membohonginya dengan kalimat “aku mau bareng kamu”. Nyatanya, aku
akan berada di tempat yang tidak ada Tiyo.
Komunikasi
kami terputus sejak saat itu.
SMP
yang berbeda, lingkungan yang berbeda, teman-teman yang berbeda. Semua berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar