Tiyo (2)


Kami begitu dekat, sampai-sampai banyak orang yang menyebar gosip kalau kami pacaran. Tunggu dulu. Kami hanya anak SD, sama seperti teman-teman yang lain yang menyebar gosip. Bagi aku dan Tiyo, yang saat itu masih belum begitu paham soal cinta, rasanya malu sekali jika dikatai seperti itu.
                
Mungkin gara-gara gosip itu juga, seperti ada jarak bagi aku dan Tiyo. Kami tidak bisa leluasa ngobrol seperti dulu. Tidak bisa jalan-jalan sepulang sekolah—kami sebut sebagai berpetualang. Tidak bisa saling mengejek, menertawakan, berantem, dan bersenang-senang. Seperti ada yang hilang.
                
Kadang, aku memergoki Tiyo sedang melihatku diam-diam. Ketika aku menoleh padanya, ia selalu langsung membuang muka. Kadang, aku juga melihatnya diam-diam. Memperhatikan kebiasaan anehnya yang suka bernyanyi di dalam kelas, melihat bagaimana ia suka memiringkan kepalanya kalau sedang memperhatikan guru, dan kelakuan-kelakuan kecil lainnya. Bedanya, ketika Tiyo memergokiku, aku tidak membuang muka. Aku tersenyum padanya, yang malah membikin ia langsung membuang muka. Lagi.
                
Masing-masing dari kami selalu ingin mengobrol, membicarakan hal-hal yang kami suka. Tapi selalu saja ada bentang yang mengharuskan kami tidak boleh terlalu dekat.
                
Suatu hari, aku jatuh dan kakiku terluka. Aku tidak bisa pulang dengan kaki seperti ini, apalagi aku pulang berjalan kaki. Teman perempuanku menawarkan boncengan padaku, yang langsung aku iyakan.
                
“Siap?”
                
Aku membenarkan posisi kakiku, agar tidak terlalu sakit. Saat itu juga, Tiyo lewat dan berhenti tepat di sebelahku. Aku tahu ia sedang melihatku, tapi aku pura-pura masih membenarkan posisi kaki.
                
Tiba-tiba ia tertawa.
                
Tiba-tiba aku kesal. Ia tertawa saat melihat aku kesusahan? Tapi, diam-diam aku merasa senang karena sepertinya ia mau mengobrol denganku.
                
“Kenapa ketawa? Seneng ya liat orang susah?”
                
“Hahaha apaan sih kamu. Kenapa ngeboncengnya kayak anak TK?”
                
“Kakiku sakit. Nggak tau ya kamu?”
                
“Kok bisa? Kamu pasti manjat dinding belakang sekolah ya? Anak monyet.”
                
Setelah mengatai aku, ia langsung berlari pergi sambil tertawa. Jika saja kakiku sehat, aku bisa pastikan aku akan mengejarnya dan menampol kepalanya.
                
Kami tidak berbicara lagi setelah itu. Karena anak-anak lain makin gencar menggosipkan kami berdua. Aku malu dan Tiyo juga begitu. Saat aku merasa sedih apakah aku akan kehilangan teman, Tiyo (entah bagaimana) mendapatkan nomorku.
                
Dulu memang masih jamannya SMS-an.
                
Setiap pulang sekolah, kami menyempatkan diri untuk mengobrol melalui SMS. Aku suka saat-saat menunggu balasan darinya. Disela-sela menunggu, aku belajar. Maklum, sudah kelas 6 SD, dan aku gemas melihat buku kumpulan soal. Ingin aku kerjakan semua.
                
Suatu hari, Tiyo bertanya aku mau masuk SMP mana (lewat SMS)
                
“Aku mau ke SMP 3 aja. Kamu mau kemana?”
                
“Nggak tau. Kalo kamu ke sana, aku juga mau ke sana.”
                
“Beneran?”
                
“Iya. Aku mau bareng kamu.”
                
Saat itu aku yakin sekali akan masuk ke SMP nomor dua di kotaku. Tapi, orang tuaku berkata lain. SMP terbaik adalah SMP 1, yang saat itu masih berstatus RSBI. Pendaftaran SMP 1 lebih dulu dari SMP negeri yang lain. Orang tuaku mau aku mendaftar SMP 1. Kalau tidak diterima, aku boleh ke SMP 3.
                
Aku tidak memberi tahu Tiyo soal rencana orang tuaku.
                
Asal kalian tahu, aku sengaja tidak belajar untuk ujian masuknya. Aku melakukannya dengan tujuan semoga aku tidak diterima, dan dapat pergi ke SMP yang sama dengan Tiyo. Aku benar-benar tidak ingin diterima di SMP 1, SMP terbaik yang tidak ada Tiyo-nya. Begitulah pemikiranku saat itu.
                
Aku juga mengerjakan soal ujian masuk dengan seenaknya sendiri. Asal mengerjakan, tidak terlalu dibawa serius. Tapi, aku tidak mengasal jawabannya. Aku memang asal mengerjakan, tapi aku tidak mengasal jawabannya. Paham maksudku?
                
Takdir memang sebuah misteri yang mengikuti masa depan. Seyakin apapun aku, jika takdir sudah berkata, aku tidak bisa apa-apa.
                
Aku diterima di SMP 1 dengan peringkat pertama.
                
Bapak yang memberitahu. Seketika, aku merasa lemas, bingung, dan tidak tahu harus bagaimana. Orang tuaku senang sekali, harapan mereka padaku sudah aku penuhi. Tapi aku? Aku bagaimana?
                
Dan aku masih belum memberitahu Tiyo.
                
Aku seperti menghindarinya. Aku tidak membalas SMS-nya, menghindar ketika berpapasan, dan tidak mau berkomunikasi dengannya. Aku hanya bingung, bagaimana memberi tahunya? Walaupun aku yakin, Tiyo sudah tahu walaupun bukan dariku.
                
Ini terasa menyakitkan.
                
Aku merasa aku sudah membohonginya dengan berkata aku akan satu sekolah dengannya juga. Aku merasa aku membohonginya dengan kalimat “aku mau bareng kamu”. Nyatanya, aku akan berada di tempat yang tidak ada Tiyo.
                
Komunikasi kami terputus sejak saat itu.
                
SMP yang berbeda, lingkungan yang berbeda, teman-teman yang berbeda. Semua berbeda.

0 komentar:

Posting Komentar