Ajaibnya,
kami satu SMA. Entah siapa yang pertama kali melihat duluan, yang pasti, ketika
aku menoleh, aku menemukannya berdiri agak jauh dari papan pengumuman. Aku bisa
begitu mudah menemukannya. Gayanya masih sama, hanya saja sikapnya makin
angkuh.
Saat itu,
aku tahu kalau Tiyo sudah berpacaran dengan seorang perempuan yang berdiri di
dekatnya. Saat itu, aku juga sedang berpacaran dengan orang lain. Masing-masing
dari kami, agaknya sudah meraba-raba cinta, yang dulu begitu membikin kami malu.
Aku harus
jujur, ada perasaan lega saat tahu kalau kami tidak berada di kelas yang sama. Sepertinya
aku masih berusaha menghindarinya sedemikian rupa. Ia sepertinya tidak begitu
peduli lagi. Tapi, perasaan bersalah itu masih ada. Mengendap. Sudah terlambat
untuk meminta maaf.
Ketika berpapasan
di koridor sekolah, kantin, atau di manapun itu, kami seolah menjadi dua orang
yang tidak pernah kenal sebelumnya. Mungkin itu adalah hukuman buatku karena
telah membohonginya. Tapi, bukan keinginanku juga untuk masuk SMP 1.
Suatu hari,
aku tidak bisa menghindarinya. Saat itu aku sedang membuang sampah di tempat
sampah depan kelas. Tiyo ada di depan kelasku, dan bertanya padaku.
“Rio
ada di kelas?”
Aku mengangguk.
“Tolong
panggilin. Makasih.”
Hanya
begitu percakapan kami. Selama tiga tahun di SMA, hanya itu percakapan kami.
Saat ujian
praktek untuk kelulusan, penilaian seni rupa dan seni musik digabung di aula
sekolah. Dan, kelasku digabung dengan kelas Tiyo. Kelasku mengambil seni rupa,
dan kelasnya mengambil seni musik.
Ketika ia
penilaian—Tiyo bernyanyi dengan teman-temannya—aku tidak lagi melihatnya
seperti dulu. Aku cukup mendengarkan suaranya yang semakin berat, dan tidak
begitu bagus jika bernyanyi.
Aku tidak
lagi melihatnya.
Begitu saja.
****
Aku
tiba-tiba menuliskan masalah yang sudah lama menjadi bagian dari masa lalu,
karena beberapa hari ini aku terus memimpikannya. Memimpikan teman masa kecilku
yang menyebalkan itu. Sayangnya, di semua mimpi, aku selalu merasa ada yang
hilang.
0 komentar:
Posting Komentar