Namanya
Tiyo. Dia teman SD, bisa dibilang teman masa kecil. Karena sejak kecil dia
sudah menyebalkan, dia jadi mudah diingat. Sampai sekarang aku tidak tahu
kenapa ia suka sekali membuatku kesal waktu kecil.
Saat kelas
4 SD, guru kelas kami membikin kebijakan baru. Anak cewek harus duduk satu meja
dengan anak cowok, agar anak-anak cowok tidak menggerombol di belakang dan
berisik saat pelajaran. Dan juga, agar guru kami tidak menerima keluhan tentang
anak-anak cewek yang membully temannya sendiri.
Tebak,
aku bersebelahan dengan siapa.
Yap. Tiyo.
Manusia menjengkelkan yang sudah membuatku menangis dihari pertama saat aku
masuk di kelas 1.
Bangku kami
mepet dengan tembok, wajar begini karena ruang kelas kami tidak begitu luas. Aku
duduk tepat di sebelah dinding, sedangkan Tiyo duduk di sisi luar. Jadi, kalau
aku mau keluar, aku harus berjalan melewatinya.
Kadang,
kami berantem hanya karena aku ingin lewat, tapi ia tidak mengijinkannya. Memangnya
dia yang beli bangku ini? Begitu pikirku saat itu.
“Minggir.
Aku mau lewat.”
“Ngga
boleh.”
“Kenapa?
Kamu yang beli bangkunya?”
“Ngga. Soalnya
aku yang duduk di sini.”
Lalu kami
berantem. Berantem ala anak SD yang masih polos, dengan membawa-bawa kata ejekan
yang entah darimana asalnya. Kadang ia iseng mencoret bukuku, kemudian aku
membalasnya. Sampai pada akhirnya buku tulis bagian belakang kami penuh dengan
coretan cakar ayam.
Dia bisa
menjadi super menjengkelkan, tapi dia juga bisa menjadi super baik hati.
Dulu,
ketika masih jaman-jamannya main geng anak cewek, ada satu teman cewek yang
dikucilkan. Namanya Seli, ia berambut kribo dan berbadan besar. Penampilannya selalu
kucel, dengan seragam yang selalu kumal.
Aku tidak
pernah mau ikut-ikutan menjelek-jelekkan dia. Aku tidak tahu dimana letak
menyenangkannya merendahkan orang lain, membikin lawakan tentangnya agar punya
alasan tertawa.
Ketika aku
tidak tahan lagi dengan perlakuan anak-anak cewek terhadapnya, aku marah luar
biasa. Aku meledak. Untuk ukuran anak SD kelas 4, aku ternyata agak mengerikan.
Aku baru menyadarinya ketika aku mulai dewasa.
Saat itu
aku menggebrak meja paling depan (saat itu kebijakan guru sudah dicabut, jadi
siswa bebas duduk dengan siapa saja), lalu aku teriak-teriak.
“CUMA
KARENA DIA KRIBO, LALU KALIAN EJEK DIA?”
Semuanya
diam. Hening. Semuanya menatap ke arahku. Aku, seorang yang jarang marah.
“TERUS,
KALO DIA KRIBO, EMANGNYA KENAPA? GANGGU KALIAN?”
Aku berjalan
ke bangku belakang, tempat ketua geng cewek duduk. Aku berbicara tepat di depan
dia.
“KAMU!
JANGAN SUKA JELEKIN ORANG DI BELAKANG. AKU DI DEPANMU. SEKARANG, COBA JELEKIN
DIA DI DEPANKU. DI DEPAN KAMI SEMUA.”
Saat
itu, jujur saja aku puas membikin dia keringat dingin, ciut, dan tidak tahu
harus mengatakan apa.
Setelah
kejadian itu, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Seli. Tidak ada lagi tawa
mengejek tiap Seli lewat. Dan ternyata, karena perbuatanku itu, aku juga
mendapatkan dampak yang luar biasa. Yang saat itu tak ku sadari akan mengubah
kehidupanku di SD.
Pertama,
semua anak takut padaku. Mereka jadi memberikan embel-embel ‘Mbak’ pada namaku,
padahal aku lebih muda dari beberapa orang. Kedua, giliran aku yang dikucilkan.
Pokoknya giliran aku yang diomongin. Mereka hanya takut di depanku saja, tidak
di belakangku.
Dampaknya?
Aku tidak punya teman cewek, dan sempat sendirian. Bahkan aku tidak punya teman
sebangku.
Tapi,
ada satu orang yang mengajakku bicara duluan, membikin aku tertawa.
Tiyo.
Suatu hari
ia membawa kertas kecil bergambar salah satu karakter dari anime Naruto. Ia datang
menghampiri mejaku yang ada di depan. Suasana kelas ramai, anak-anak cowok
sibuk menggerombol membicarakan sesuatu. Tapi, ia menghampiriku.
“Tau
nggak, dia namanya siapa?”
Tiyo menyodorkan
kertas bergambar itu ke arahku.
“Gaara.”
“Waah!
Ajib, kamu tau. Keren banget. Aku suka Gaara.”
“Kenapa?”
“Gantengnya
sama kayak aku.”
“Siapa
yang bilang?”
“Ngga
ada. Kamu dong bilang, biar ada.”
Aku
tertawa. Setelah itu kami membicarakan acara-acara kartun di TV Minggu pagi,
yang saat kami kecil masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. Besoknya,
aku menemukan segepok kertas bergambar karakter anime Naruto di laci mejaku.
Saat meminta penjelasan pada Tiyo, ia menjawab santai, “nanti main sama aku ya.
Aku ajarin caranya.”
Aku menyadari
sesuatu. Tiyo memberikan dampak besar padaku nantinya. Pengaruh lebih mudah
bergaul dengan anak cowok ketimbang anak cewek. Dan kecenderunganku yang lebih
banyak memiliki kawan laki-laki, membikin aku tumbuh menjadi perempuan yang
agak tomboy.
0 komentar:
Posting Komentar