Tiyo (1)


Namanya Tiyo. Dia teman SD, bisa dibilang teman masa kecil. Karena sejak kecil dia sudah menyebalkan, dia jadi mudah diingat. Sampai sekarang aku tidak tahu kenapa ia suka sekali membuatku kesal waktu kecil.
                
Saat kelas 4 SD, guru kelas kami membikin kebijakan baru. Anak cewek harus duduk satu meja dengan anak cowok, agar anak-anak cowok tidak menggerombol di belakang dan berisik saat pelajaran. Dan juga, agar guru kami tidak menerima keluhan tentang anak-anak cewek yang membully temannya sendiri.
                
Tebak, aku bersebelahan dengan siapa.
                
Yap. Tiyo. Manusia menjengkelkan yang sudah membuatku menangis dihari pertama saat aku masuk di kelas 1.
                
Bangku kami mepet dengan tembok, wajar begini karena ruang kelas kami tidak begitu luas. Aku duduk tepat di sebelah dinding, sedangkan Tiyo duduk di sisi luar. Jadi, kalau aku mau keluar, aku harus berjalan melewatinya.
                
Kadang, kami berantem hanya karena aku ingin lewat, tapi ia tidak mengijinkannya. Memangnya dia yang beli bangku ini? Begitu pikirku saat itu.
                
“Minggir. Aku mau lewat.”
                
“Ngga boleh.”
               
“Kenapa? Kamu yang beli bangkunya?”
                
“Ngga. Soalnya aku yang duduk di sini.”
                
Lalu kami berantem. Berantem ala anak SD yang masih polos, dengan membawa-bawa kata ejekan yang entah darimana asalnya. Kadang ia iseng mencoret bukuku, kemudian aku membalasnya. Sampai pada akhirnya buku tulis bagian belakang kami penuh dengan coretan cakar ayam.
                
Dia bisa menjadi super menjengkelkan, tapi dia juga bisa menjadi super baik hati.
                
Dulu, ketika masih jaman-jamannya main geng anak cewek, ada satu teman cewek yang dikucilkan. Namanya Seli, ia berambut kribo dan berbadan besar. Penampilannya selalu kucel, dengan seragam yang selalu kumal.
                
Aku tidak pernah mau ikut-ikutan menjelek-jelekkan dia. Aku tidak tahu dimana letak menyenangkannya merendahkan orang lain, membikin lawakan tentangnya agar punya alasan tertawa.
                
Ketika aku tidak tahan lagi dengan perlakuan anak-anak cewek terhadapnya, aku marah luar biasa. Aku meledak. Untuk ukuran anak SD kelas 4, aku ternyata agak mengerikan. Aku baru menyadarinya ketika aku mulai dewasa.
                
Saat itu aku menggebrak meja paling depan (saat itu kebijakan guru sudah dicabut, jadi siswa bebas duduk dengan siapa saja), lalu aku teriak-teriak.
               
“CUMA KARENA DIA KRIBO, LALU KALIAN EJEK DIA?”
               
Semuanya diam. Hening. Semuanya menatap ke arahku. Aku, seorang yang jarang marah.
               
“TERUS, KALO DIA KRIBO, EMANGNYA KENAPA? GANGGU KALIAN?”
             
Aku berjalan ke bangku belakang, tempat ketua geng cewek duduk. Aku berbicara tepat di depan dia.
                
“KAMU! JANGAN SUKA JELEKIN ORANG DI BELAKANG. AKU DI DEPANMU. SEKARANG, COBA JELEKIN DIA DI DEPANKU. DI DEPAN KAMI SEMUA.”
                
Saat itu, jujur saja aku puas membikin dia keringat dingin, ciut, dan tidak tahu harus mengatakan apa.
                
Setelah kejadian itu, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Seli. Tidak ada lagi tawa mengejek tiap Seli lewat. Dan ternyata, karena perbuatanku itu, aku juga mendapatkan dampak yang luar biasa. Yang saat itu tak ku sadari akan mengubah kehidupanku di SD.
                
Pertama, semua anak takut padaku. Mereka jadi memberikan embel-embel ‘Mbak’ pada namaku, padahal aku lebih muda dari beberapa orang. Kedua, giliran aku yang dikucilkan. Pokoknya giliran aku yang diomongin. Mereka hanya takut di depanku saja, tidak di belakangku.
                
Dampaknya? Aku tidak punya teman cewek, dan sempat sendirian. Bahkan aku tidak punya teman sebangku.
                
Tapi, ada satu orang yang mengajakku bicara duluan, membikin aku tertawa.
                
Tiyo.
                
Suatu hari ia membawa kertas kecil bergambar salah satu karakter dari anime Naruto. Ia datang menghampiri mejaku yang ada di depan. Suasana kelas ramai, anak-anak cowok sibuk menggerombol membicarakan sesuatu. Tapi, ia menghampiriku.
                
“Tau nggak, dia namanya siapa?”
                
Tiyo menyodorkan kertas bergambar itu ke arahku.
                
“Gaara.”
                
“Waah! Ajib, kamu tau. Keren banget. Aku suka Gaara.”
                
“Kenapa?”
                
“Gantengnya sama kayak aku.”
                
“Siapa yang bilang?”
                
“Ngga ada. Kamu dong bilang, biar ada.”
                
Aku tertawa. Setelah itu kami membicarakan acara-acara kartun di TV Minggu pagi, yang saat kami kecil masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. Besoknya, aku menemukan segepok kertas bergambar karakter anime Naruto di laci mejaku. Saat meminta penjelasan pada Tiyo, ia menjawab santai, “nanti main sama aku ya. Aku ajarin caranya.”
                
Aku menyadari sesuatu. Tiyo memberikan dampak besar padaku nantinya. Pengaruh lebih mudah bergaul dengan anak cowok ketimbang anak cewek. Dan kecenderunganku yang lebih banyak memiliki kawan laki-laki, membikin aku tumbuh menjadi perempuan yang agak tomboy.

0 komentar:

Posting Komentar