Tidak
banyak yang tahu, tapi aku sebenarnya penyuka anime. Aku memiliki tumpukan
komik di dalam kamarku, lebih banyak dari buku pelajaran milikku. Terkadang, aku
meng-cover lagu-lagu Jepang, entah OST atau bukan. Beberapa gambarku juga lebih
banyak mengarah ke style anime ketimbang semi realist—yang selama ini aku
idamkan.
Tapi,
ketika aku datang ke Pare, dan tinggal di camp, aku memutuskan untuk
menyembunyikan segala aktivitas yang berbau tentang anime. Selama aku tinggal
di sini, mereka kebanyakan anak-anak drakor, K-POP, dan hal-hal seperti itu. Aku
sedang tidak ingin menjadi unit terkecil yang terlempar, atau sibuk dengan
dunianya sendiri. Aku mencoba berbaur.
Ketika mereka
menonton movie Korea, atau India, aku memutuskan untuk ikut menonton. Ikut berteriak,
ikut mengkomentari, ikut tertawa.
Tapi,
aku bertemu dengan Gandi. Gandi, hardisk miliknya, dan segudang anime lawasnya,
telah membawa dunia milikku yang aku sembunyikan entah dimana.
Aku
sebenarnya sudah bertemu dengannya di kelas Speaking 2 Mr. Abby, tapi aku tidak
memiliki banyak waktu untuk berbicara dengannya. Di hari kedua dalam periode, ia
memutuskan untuk pindah kelas.
Kemudian,
kami bertemu lagi. Aku ingat saat itu aku memutuskan untuk kabur dari seseorang
dan berdiam di camp Alaska Female, camp Nida. Aku benar-benar tidak ingin
pergi, dan mencari alasan supaya tidak pergi, jadi, aku kesana sekalian
membantu Nida mengerjakan tugas miliknya.
Di luar
dugaan, Gandi ternyata di camp ini juga. Saat aku sedang menggambar untuk tugas
Nida, ia datang sambil membawa nasi bungkus. Tentu saja aku ingat ia siapa dan
dimana kami pernah bertemu sebelumnya. Ia duduk di hadapanku, bercerita sedikit
kalau ia lapar lalu membeli makan, lalu makan sambil diselingi berbicara
denganku.
Setelah
pertemuan itu, kami sering berbicara. Ketika ia memutuskan untuk pindah ke
kost, aku sempat beberapa kali main ke sana, menghabiskan waktu untuk menikmati
dunia kami, menonton anime. Sesekali kami berbicara tentang hal lain, tertawa, makan,
dan heboh ketika menonton.
Sebenarnya aku tipe orang yang
lebih suka menonton anime sendiri, tapi, bersama Gandi, itu kali pertama aku
suka menonton dengan orang lain. Dan ketika aku pulang dan menonton anime sendirian,
aku merasa ada sesuatu yang hilang.
Gandi orang yang baik, ramah,
banyak tertawa. Baru kali ini aku menemukan seseorang yang lebih tua dari
Kakakku, tapi aku dengan gamblangnya memanggilnya dengan tidak menggunakan
embel-embel ‘kak’. Aku merasa aku menemukan seorang Kakak sekaligus seorang
teman disini.
Ketika ia mengatakan akan ikut
kelas Public Speaking Mr. Anam—sama sepertiku—aku senang sekali. Aku senang aku
memiliki banyak waktu untuk bertemu dengannya. Kami sering pergi makan siang
bersama setelah selesai kelas. Terkadang bersama Tian dan Danial, terkadang
bersama Nuri.
Hari
terakhirku di Pare, kami memutuskan untuk makan pagi bersama. Aku, Gandi, dan
Nida. Itu makan terakhirku di Pare, dan terakhir kalinya pula aku makan bersama
mereka berdua di sini. Intinya, sampai dua jam sebelum aku naik kereta, Gandi
menemaniku.
Bahkan ia
menemaniku untuk memaketkan tumpukan buku-buku milikku. Kami bersepeda ke Kantor
Pos yang agak dekat dengan camp, tapi tutup. Lantas kami bersepeda lumayan jauh.
Aku benar-benar bersyukur Gandi ada bersamaku. Aku tidak terlalu tahan dengan sengatan
matahari, terkadang itu membikin aku pusing setengah mati. Tapi, melihat Gandi
yang sibuk membenarkan rambutnya, menyeka keringat, dan masih tertawa, aku
merasa aku baik-baik saja.
Saat aku
benar-benar sudah duduk di dalam kereta, aku baru sedikit menangis saat
mengetik pesan untuknya. Aku merasa sedih. Sangat. Aku telah menemukan seorang
teman yang berharga untukku, tapi aku pergi dan tidak tahu kapan dan dimana aku
akan bertemu lagi dengannya.
Aku
bukannya tidak ingin meninggalkan Pare dan melanjutkan belajarku, aku hanya
tidak ingin meninggalkan teman-temanku. Itu saja. Bertemu dengan Gandi, Nida,
Rio, dan teman-teman yang lain, telah mengajari aku mana yang benar-benar tulus,
dan berarti.
Hal yang
aku cari.
******
Parner
anime-ku yang kedua adalah Farid. Aku bertemu dengannya di kelas Vocabulary 2
Ms. Aini. Saat di kelas, aku tidak begitu banyak berbicara dengannya, hampir
tidak pernah. Aku bahkan bisa mengingat apa yang aku bicarakan dengannya saat
di kelas, saking sedikitnya kami berbicara.
Ia
lebih suka duduk paling pojok, agak menjauh dari kerumunan orang, dan tertimpa
silau matahari sore. Selama di kelas, aku benar-benar hampir tidak pernah
melihatnya tersenyum, atau berbicara dengan teman kelas yang lain. Farid lebih
banyak diam, menunduk, dan sesekali melihat ponsel miliknya.
Aku pernah
mencoba berbicara dengannya, “Farid, kamu ngga silau? Geser kesini aja.”
Ia
menggeleng.
Ketika kelas
dan periode selesai, kami sekelas berfoto bersama. Aku sempat melihat ia
tersenyum, walaupun tidak lebar seperti yang aku lakukan, tapi ia tetap
tersenyum, kan? Lalu, aku sekali lagi mencoba berbicara dengannya, “Kamu emang pendiem
banget ya?”
Suaranya
pelan ketika menjawab, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas, “Gua orangnya
emang gini.”
Baru ketika
kelas selesai, kami bercakap beberapa kali lewat chat. Dari situ aku tahu, ia
menyukai anime sama sepertiku. Genre anime yang ia tonton sedikit berbeda
denganku, tapi, kami sama-sama menyukai SAO. Aku benar-benar antusias sekali
saat tengah malam ia memberi tahu kalau SAO season 3 sudah rilis. Asal kalian
tahu, aku langsung mendownloadnya dan menontonnya.
Aku dua
kali meminta rekomendasi anime darinya. Aku tipe orang yang lebih suka menonton
rekomendasi film dari teman.
Terkadang
aku sulit mengerti maksud dari isi chatnya. Ketika aku mengetik tentang suatu
hal, kadang ia memberi jawaban yang agak tidak ada kaitannya. Aku kadang bingung,
tapi berusaha tetap menjaga komunikasi dengannya. Ah, sesekali kami memakai
bahasa Jepang. Hanya dengannya, aku memakai bahasa Jepang.
Hari-hari
setelahnya, kami sering berpapasan di jalan. Ketika itu terjadi, aku akan
menyapanya sambil tersenyum lebar, seperti yang biasa aku lakukan. Saat pertama
kali berpapasan dan menyapanya, ia tersenyum padaku. Farid tersenyum. Wajahnya ketika
tersenyum sungguh berbeda saat ia diam dan berwajah serius. Wajahnya ketika
tersenyum, sama sekali tidak menakutkan, justru terkesan lembut dan teduh.
Aku tidak
tahu apa-apa tentangnya, bagaimana kehidupannya, atau bagaimana kehidupan
sosial miliknya. Tapi, mengingat ia banyak diam di kelas Vocabulary, aku rasanya
seperti: akan lebih baik jika lebih banyak orang mengetahui Farid yang
tersenyum dan ramah. Senyum yang tulus, bukan buatan dan paksaan.
Maka,
aku sering berkata padanya, “Farid, kamu harus lebih banyak senyum.”
Sebenarnya,
ada beberapa teman perempuanku yang membicarakannya. Farid yang begini.. Farid
yang begini.., tapi aku tidak merasa itu benar. Memang ia cuek, terkesan
dingin, introvert, pendiam, lebih suka sendiri, tapi aku pikir, dia orang yang
baik. Ia baik, ia serius belajar, dan ketika ia mengeluarkan ide entah untuk
debat atau speech, ia keren sekali.
Terlepas
dari apapun, Farid tetap teman sekaligus partner anime-ku di Pare. Ia berharga,
walaupun ia sepertinya tidak terlalu menganggapku, bodo amat. Yang penting,
bagiku, ia berharga. Aku mengakui keberadaannya.
Aku benar-benar
menghargai keberadaan orang-orang, terlepas mereka peduli padaku atau tidak. Akan
sangat menyenangkan ketika ada orang yang mengakui keberadaanmu, kan? Maka, aku
melakukan hal itu.
0 komentar:
Posting Komentar