Terima Kasih (3)


                Tidak banyak yang tahu, tapi aku sebenarnya penyuka anime. Aku memiliki tumpukan komik di dalam kamarku, lebih banyak dari buku pelajaran milikku. Terkadang, aku meng-cover lagu-lagu Jepang, entah OST atau bukan. Beberapa gambarku juga lebih banyak mengarah ke style anime ketimbang semi realist—yang selama ini aku idamkan.
                Tapi, ketika aku datang ke Pare, dan tinggal di camp, aku memutuskan untuk menyembunyikan segala aktivitas yang berbau tentang anime. Selama aku tinggal di sini, mereka kebanyakan anak-anak drakor, K-POP, dan hal-hal seperti itu. Aku sedang tidak ingin menjadi unit terkecil yang terlempar, atau sibuk dengan dunianya sendiri. Aku mencoba berbaur.
                Ketika mereka menonton movie Korea, atau India, aku memutuskan untuk ikut menonton. Ikut berteriak, ikut mengkomentari, ikut tertawa.
                Tapi, aku bertemu dengan Gandi. Gandi, hardisk miliknya, dan segudang anime lawasnya, telah membawa dunia milikku yang aku sembunyikan entah dimana.
                Aku sebenarnya sudah bertemu dengannya di kelas Speaking 2 Mr. Abby, tapi aku tidak memiliki banyak waktu untuk berbicara dengannya. Di hari kedua dalam periode, ia memutuskan untuk pindah kelas.
                Kemudian, kami bertemu lagi. Aku ingat saat itu aku memutuskan untuk kabur dari seseorang dan berdiam di camp Alaska Female, camp Nida. Aku benar-benar tidak ingin pergi, dan mencari alasan supaya tidak pergi, jadi, aku kesana sekalian membantu Nida mengerjakan tugas miliknya.
                Di luar dugaan, Gandi ternyata di camp ini juga. Saat aku sedang menggambar untuk tugas Nida, ia datang sambil membawa nasi bungkus. Tentu saja aku ingat ia siapa dan dimana kami pernah bertemu sebelumnya. Ia duduk di hadapanku, bercerita sedikit kalau ia lapar lalu membeli makan, lalu makan sambil diselingi berbicara denganku.
                Setelah pertemuan itu, kami sering berbicara. Ketika ia memutuskan untuk pindah ke kost, aku sempat beberapa kali main ke sana, menghabiskan waktu untuk menikmati dunia kami, menonton anime. Sesekali kami berbicara tentang hal lain, tertawa, makan, dan heboh ketika menonton.
Sebenarnya aku tipe orang yang lebih suka menonton anime sendiri, tapi, bersama Gandi, itu kali pertama aku suka menonton dengan orang lain. Dan ketika aku pulang dan menonton anime sendirian, aku merasa ada sesuatu yang hilang.
Gandi orang yang baik, ramah, banyak tertawa. Baru kali ini aku menemukan seseorang yang lebih tua dari Kakakku, tapi aku dengan gamblangnya memanggilnya dengan tidak menggunakan embel-embel ‘kak’. Aku merasa aku menemukan seorang Kakak sekaligus seorang teman disini.
Ketika ia mengatakan akan ikut kelas Public Speaking Mr. Anam—sama sepertiku—aku senang sekali. Aku senang aku memiliki banyak waktu untuk bertemu dengannya. Kami sering pergi makan siang bersama setelah selesai kelas. Terkadang bersama Tian dan Danial, terkadang bersama Nuri.
                Hari terakhirku di Pare, kami memutuskan untuk makan pagi bersama. Aku, Gandi, dan Nida. Itu makan terakhirku di Pare, dan terakhir kalinya pula aku makan bersama mereka berdua di sini. Intinya, sampai dua jam sebelum aku naik kereta, Gandi menemaniku.
                Bahkan ia menemaniku untuk memaketkan tumpukan buku-buku milikku. Kami bersepeda ke Kantor Pos yang agak dekat dengan camp, tapi tutup. Lantas kami bersepeda lumayan jauh. Aku benar-benar bersyukur Gandi ada bersamaku. Aku tidak terlalu tahan dengan sengatan matahari, terkadang itu membikin aku pusing setengah mati. Tapi, melihat Gandi yang sibuk membenarkan rambutnya, menyeka keringat, dan masih tertawa, aku merasa aku baik-baik saja.
                Saat aku benar-benar sudah duduk di dalam kereta, aku baru sedikit menangis saat mengetik pesan untuknya. Aku merasa sedih. Sangat. Aku telah menemukan seorang teman yang berharga untukku, tapi aku pergi dan tidak tahu kapan dan dimana aku akan bertemu lagi dengannya.
                Aku bukannya tidak ingin meninggalkan Pare dan melanjutkan belajarku, aku hanya tidak ingin meninggalkan teman-temanku. Itu saja. Bertemu dengan Gandi, Nida, Rio, dan teman-teman yang lain, telah mengajari aku mana yang benar-benar tulus, dan berarti.
                Hal yang aku cari.
******
                Parner anime-ku yang kedua adalah Farid. Aku bertemu dengannya di kelas Vocabulary 2 Ms. Aini. Saat di kelas, aku tidak begitu banyak berbicara dengannya, hampir tidak pernah. Aku bahkan bisa mengingat apa yang aku bicarakan dengannya saat di kelas, saking sedikitnya kami berbicara.
                Ia lebih suka duduk paling pojok, agak menjauh dari kerumunan orang, dan tertimpa silau matahari sore. Selama di kelas, aku benar-benar hampir tidak pernah melihatnya tersenyum, atau berbicara dengan teman kelas yang lain. Farid lebih banyak diam, menunduk, dan sesekali melihat ponsel miliknya.
                Aku pernah mencoba berbicara dengannya, “Farid, kamu ngga silau? Geser kesini aja.”
                Ia menggeleng.
                Ketika kelas dan periode selesai, kami sekelas berfoto bersama. Aku sempat melihat ia tersenyum, walaupun tidak lebar seperti yang aku lakukan, tapi ia tetap tersenyum, kan? Lalu, aku sekali lagi mencoba berbicara dengannya, “Kamu emang pendiem banget ya?”
                Suaranya pelan ketika menjawab, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas, “Gua orangnya emang gini.”
                Baru ketika kelas selesai, kami bercakap beberapa kali lewat chat. Dari situ aku tahu, ia menyukai anime sama sepertiku. Genre anime yang ia tonton sedikit berbeda denganku, tapi, kami sama-sama menyukai SAO. Aku benar-benar antusias sekali saat tengah malam ia memberi tahu kalau SAO season 3 sudah rilis. Asal kalian tahu, aku langsung mendownloadnya dan menontonnya.
                Aku dua kali meminta rekomendasi anime darinya. Aku tipe orang yang lebih suka menonton rekomendasi film dari teman.
                Terkadang aku sulit mengerti maksud dari isi chatnya. Ketika aku mengetik tentang suatu hal, kadang ia memberi jawaban yang agak tidak ada kaitannya. Aku kadang bingung, tapi berusaha tetap menjaga komunikasi dengannya. Ah, sesekali kami memakai bahasa Jepang. Hanya dengannya, aku memakai bahasa Jepang.
                Hari-hari setelahnya, kami sering berpapasan di jalan. Ketika itu terjadi, aku akan menyapanya sambil tersenyum lebar, seperti yang biasa aku lakukan. Saat pertama kali berpapasan dan menyapanya, ia tersenyum padaku. Farid tersenyum. Wajahnya ketika tersenyum sungguh berbeda saat ia diam dan berwajah serius. Wajahnya ketika tersenyum, sama sekali tidak menakutkan, justru terkesan lembut dan teduh.
                Aku tidak tahu apa-apa tentangnya, bagaimana kehidupannya, atau bagaimana kehidupan sosial miliknya. Tapi, mengingat ia banyak diam di kelas Vocabulary, aku rasanya seperti: akan lebih baik jika lebih banyak orang mengetahui Farid yang tersenyum dan ramah. Senyum yang tulus, bukan buatan dan paksaan.
                Maka, aku sering berkata padanya, “Farid, kamu harus lebih banyak senyum.”
                Sebenarnya, ada beberapa teman perempuanku yang membicarakannya. Farid yang begini.. Farid yang begini.., tapi aku tidak merasa itu benar. Memang ia cuek, terkesan dingin, introvert, pendiam, lebih suka sendiri, tapi aku pikir, dia orang yang baik. Ia baik, ia serius belajar, dan ketika ia mengeluarkan ide entah untuk debat atau speech, ia keren sekali.
                Terlepas dari apapun, Farid tetap teman sekaligus partner anime-ku di Pare. Ia berharga, walaupun ia sepertinya tidak terlalu menganggapku, bodo amat. Yang penting, bagiku, ia berharga. Aku mengakui keberadaannya.
                Aku benar-benar menghargai keberadaan orang-orang, terlepas mereka peduli padaku atau tidak. Akan sangat menyenangkan ketika ada orang yang mengakui keberadaanmu, kan? Maka, aku melakukan hal itu.

0 komentar:

Posting Komentar