Awal
masuk periode pertama, aku hanya mendengarkan dua lagu, saat aku bersepeda ke
kelas. Barasuara-Bahas Bahasa dan Yui-Skyline. Sebenarnya aku gugup untuk
bertemu orang baru. Aku tidak tahu harus berbicara apa, atau bagaimana caranya
memulai percakapan yang normal.
Tapi,
ketika aku masuk kelas pertamaku di pagi hari, kelas Speaking 1 Ms. Hima, entah
kenapa aku bisa menyapa semuanya saat aku datang. Awalnya aku memang canggung,
tapi aku berusaha terseyum lebar, dan sok kenal.
Masih
di kelas yang sama, pagi berikutnya, aku datang terlalu pagi. Tapi, satu orang
sudah duduk di kelas, sambil terpaku pada catatan di buku kecilnya. Aku
berjalan pelan-pelan, mengecilkan volume lagu, ragu.
Ketika
aku sampai di hadapannya, mendadak ia mendongak, melihatku, lalu tersenyum
ramah, “Morning.”
Ah.
Sesaat
aku memikirkan suatu hal. Sebuah hal yang melesat cepat luar biasa. Ia bisa
begitu mudah menyapa orang yang baru kemarin memperkenalkan diri, lalu kenapa
aku tidak bisa? Kenapa aku terlalu khawatir dengan apa yang aku pikirkan, tanpa
mau mencoba? Kenapa aku hanya berpikir, berpikir, berpikir, hingga aku
kehilangan waktu?
Aku
mengendurkan pegangan tanganku pada tali tas, melangkah dengan lompatan kecil,
lalu tertawa, “Morning!”
Orang
yang membuat aku manjadi sedikit berani ini adalah Rio. Orang yang ternyata
menjadi teman baikku hingga aku pulang dari Pare. Berkat dia yang aktif dan
ramah menyapa, dan membikin aku mengetik nomor WhatsApp-ku di ponselnya, aku
menyadari sesuatu: tidak ada yang perlu ditakutkan saat berhadapan dengan orang
baru.
Sedikit
cerita tentang Rio. Ia anak yang telalu tinggi, dan sering menjadi tongsis
hidup ketika kami berfoto. Anak yang baik, ramah, walaupun kadang serius
sekali. Ku kira ia tidak punya selera humor, ternyata ia punya dan itu aneh
tapi lucu. Aku percaya padanya, entah karena dasar apa. Pernah aku minta tolong
padanya untuk menemaniku menolak orang. Ia tidak bertanya apa-apa, atau alasan
detail, ia langsung bertanya, “Kapan?” Aku tahu aku akhirnya tidak sendirian
saat menghadapi masalah itu, terlepas seisi camp tidak terlalu peduli saat aku
pulang sambil menangis karena takut. Karena aku tahu aku tidak lagi sendirian,
aku berani menghadapinya, dan masalah itu selesai.
Rio,
selalu menjadi orang yang kehadirannya mengatakan: tidak ada yang perlu
ditakutkan. Dan aku harap, ia juga tidak akan takut untuk berjuang menggapai
mimpinya. Kamu baca ini, Rio?
Di kelas yang sama, Speaking 1, saat hari
pertama aku lihat ada seseorang yang membikin orang-orang mengelilinginya.
Semua perempuan terlihat bisa akrab dengannya. Saat pertama melihatnya, aku
pikir ia adalah orang normal yang hidupnya ramai dan seperti orang kebanyakan.
Tapi,
ketika aku memberanikan diri masuk dalam lingkaran percakapan, aku tahu ia
orang yang baik dan bisa mengerti aku. Namanya Nida, dan dia adalah orang yang
membikin aku sedih saat meninggalkan Pare.
Kami
hampir tidak pernah duduk bersebelahan. Tapi entah kenapa, kami menjadi dekat
dan akrab. Begitu saja. Ia menjadi pencerita yang baik, dan aku menjadi pendengar
yang baik. Selalu menyenangkan untuk mendengar ceritanya, dengan ditemani
makanan, diselingi tawa, dan berakhir dengan kekenyangan lantas malas
beranjak—memilih duduk lebih lama untuk bercerita lagi.
Nida
selalu datang di waktu yang tepat. Ketika aku menggelepar ditampar bosan,
mendadak namanya akan muncul di notifikasi, mengajak keluar sekedar mencari
makan. Kadang ketika ia mengajakku, aku sudah makan, tapi aku tetap ikut. Tentu
saja aku juga makan lagi. Kadang ketika ia mengajakku, aku memiliki tugas atau
final test paginya atau suatu kegiatan yang harus cepat ku selesaikan, tapi,
aku tetap ikut.
Ia
memutuskan untuk mengikuti Public Speaking (berbahasa Indonesia total). Ketika
ia semakin sibuk dengan dunianya sendiri, dengan teman-temannya di sana, dan
semakin sulit untuk mencari waktu luang pergi bersama denganku, aku tidak
apa-apa. Mungkin hari-hariku menjadi sedikit sepi, dan aku pergi juga dengan
teman-temanku yang lain, tapi, rasanya tetap berbeda.
Tidak
peduli seberapa banyak teman yang aku punya, pergi dengan banyak orang ke
banyak tempat, menghabiskan malam dengan membiarkan tubuh terbalut atmosfer
luar, rasanya tetap berbeda. Tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan Nida.
Tidak ada.
Di sisi
lain, aku merasa senang. Ia selalu berkata kalau sulit bersosialisasi dengan
orang, atau sulit mencari orang-orang yang cocok dengannya. Aku senang akhirnya
ia menemukan tempat yang membuat dirinya nyaman dan menemukan orang-orang yang
cocok dengannya. Aku lega setengah mati.
Aku
ingat Nida selalu bilang, kalau aku adalah orang yang rendah hati, tidak suka
pamer, sederhana, dan tidak menunjukkan kehebatan sekedar menyombongkan diri.
Kadang, aku merasa muak dengan diri sendiri karena pemikiran: kenyataannya aku
gagal ujian dan sedang melarikan diri ke Pare. Tapi, aku kembali bangkit dengan
kalimat miliknya. Entah dibagian mananya kalimat itu mengandung motivasi yang
berkaitan dengan pemikiranku.
Di hari
ulang tahunku, sebenarnya aku tidak tahu sejak kapan orang-orang tahu hari itu,
tapi bodo amat. Nida mengirimiku video, yang membikin aku tertawa sekaligus
terharu.
******
Malam
sebelum Rio pulang, aku benar-benar ingin bertemu dengannya. Karena aku tahu
besok kami berdua akan pulang, tanpa tahu kapan akan bertemu dan menyapa
seperti keseharian kami ketika papasan di jalan Pare. Tapi, aku tidak tahu
bagaimana cara mengajaknya bertemu. Lalu aku berpikir, kami pun tidak terlalu
dekat. Aku bingung sekali saat itu.
Akhirnya,
aku menyerah dengan keinginanku sendiri.
Tapi,
diluar dugaan, Rio mengajak bertemu. Ketika aku sudah menyerah dan tidak tahu
bagaimana cara mengajanya, ia mengajak bertemu. Ia hanya mengetik, “Meet yok.”
Sederhana, dan tidak rumit seperti yang ada di dalam kepalaku.
Aku
senang. Aku mencoba menghubungi teman-teman Speaking 1 yang lain—yang masih di
Pare. Nida dan Nafis. Yang bisa datang hanya Nida.
Kami
berkumpul di Bali House atas saranku. Berbicara banyak hal, tertawa, dan
berbicara tentang mimpi kami. Untuk pertama kalinya, inilah nongkrong yang aku
paling takut untuk pulang. Aku takut pulang, tidak ingin pulang. Tapi waktu
memang suka menggilas, dan waktu kami tidak lagi banyak. Besok, aku dan Rio
akan pulang, meninggalkan Pare. Malam terakhirku, aku habiskan bersama mereka
berdua.
Sempat
ada pertanyaan: Apa yang kamu pikirkan tentang aku saat pertama kali bertemu?
Nida:
Gua pikir lu pendiem, cuek, tapi aslinya engga. Lu asik, receh, dan mau
menerima orang lain apa adanya. Easy going, sederhana, dan selalu ada buat gua.
Rio:
Kalo aku ngobrol sama kamu itu rasanya kayak aku ngobrol sama temen laki-laki.
Nyaman gitu, nggak canggung. Kamu beda aja.
0 komentar:
Posting Komentar