Terima Kasih (2)


                Awal masuk periode pertama, aku hanya mendengarkan dua lagu, saat aku bersepeda ke kelas. Barasuara-Bahas Bahasa dan Yui-Skyline. Sebenarnya aku gugup untuk bertemu orang baru. Aku tidak tahu harus berbicara apa, atau bagaimana caranya memulai percakapan yang normal.
                Tapi, ketika aku masuk kelas pertamaku di pagi hari, kelas Speaking 1 Ms. Hima, entah kenapa aku bisa menyapa semuanya saat aku datang. Awalnya aku memang canggung, tapi aku berusaha terseyum lebar, dan sok kenal.
                Masih di kelas yang sama, pagi berikutnya, aku datang terlalu pagi. Tapi, satu orang sudah duduk di kelas, sambil terpaku pada catatan di buku kecilnya. Aku berjalan pelan-pelan, mengecilkan volume lagu, ragu.
                Ketika aku sampai di hadapannya, mendadak ia mendongak, melihatku, lalu tersenyum ramah, “Morning.
                Ah.
                Sesaat aku memikirkan suatu hal. Sebuah hal yang melesat cepat luar biasa. Ia bisa begitu mudah menyapa orang yang baru kemarin memperkenalkan diri, lalu kenapa aku tidak bisa? Kenapa aku terlalu khawatir dengan apa yang aku pikirkan, tanpa mau mencoba? Kenapa aku hanya berpikir, berpikir, berpikir, hingga aku kehilangan waktu?
                Aku mengendurkan pegangan tanganku pada tali tas, melangkah dengan lompatan kecil, lalu tertawa, “Morning!
                Orang yang membuat aku manjadi sedikit berani ini adalah Rio. Orang yang ternyata menjadi teman baikku hingga aku pulang dari Pare. Berkat dia yang aktif dan ramah menyapa, dan membikin aku mengetik nomor WhatsApp-ku di ponselnya, aku menyadari sesuatu: tidak ada yang perlu ditakutkan saat berhadapan dengan orang baru.
                Sedikit cerita tentang Rio. Ia anak yang telalu tinggi, dan sering menjadi tongsis hidup ketika kami berfoto. Anak yang baik, ramah, walaupun kadang serius sekali. Ku kira ia tidak punya selera humor, ternyata ia punya dan itu aneh tapi lucu. Aku percaya padanya, entah karena dasar apa. Pernah aku minta tolong padanya untuk menemaniku menolak orang. Ia tidak bertanya apa-apa, atau alasan detail, ia langsung bertanya, “Kapan?” Aku tahu aku akhirnya tidak sendirian saat menghadapi masalah itu, terlepas seisi camp tidak terlalu peduli saat aku pulang sambil menangis karena takut. Karena aku tahu aku tidak lagi sendirian, aku berani menghadapinya, dan masalah itu selesai.
                Rio, selalu menjadi orang yang kehadirannya mengatakan: tidak ada yang perlu ditakutkan. Dan aku harap, ia juga tidak akan takut untuk berjuang menggapai mimpinya. Kamu baca ini, Rio?
                Di  kelas yang sama, Speaking 1, saat hari pertama aku lihat ada seseorang yang membikin orang-orang mengelilinginya. Semua perempuan terlihat bisa akrab dengannya. Saat pertama melihatnya, aku pikir ia adalah orang normal yang hidupnya ramai dan seperti orang kebanyakan.
                Tapi, ketika aku memberanikan diri masuk dalam lingkaran percakapan, aku tahu ia orang yang baik dan bisa mengerti aku. Namanya Nida, dan dia adalah orang yang membikin aku sedih saat meninggalkan Pare.
                Kami hampir tidak pernah duduk bersebelahan. Tapi entah kenapa, kami menjadi dekat dan akrab. Begitu saja. Ia menjadi pencerita yang baik, dan aku menjadi pendengar yang baik. Selalu menyenangkan untuk mendengar ceritanya, dengan ditemani makanan, diselingi tawa, dan berakhir dengan kekenyangan lantas malas beranjak—memilih duduk lebih lama untuk bercerita lagi.
                Nida selalu datang di waktu yang tepat. Ketika aku menggelepar ditampar bosan, mendadak namanya akan muncul di notifikasi, mengajak keluar sekedar mencari makan. Kadang ketika ia mengajakku, aku sudah makan, tapi aku tetap ikut. Tentu saja aku juga makan lagi. Kadang ketika ia mengajakku, aku memiliki tugas atau final test paginya atau suatu kegiatan yang harus cepat ku selesaikan, tapi, aku tetap ikut.
                Ia memutuskan untuk mengikuti Public Speaking (berbahasa Indonesia total). Ketika ia semakin sibuk dengan dunianya sendiri, dengan teman-temannya di sana, dan semakin sulit untuk mencari waktu luang pergi bersama denganku, aku tidak apa-apa. Mungkin hari-hariku menjadi sedikit sepi, dan aku pergi juga dengan teman-temanku yang lain, tapi, rasanya tetap berbeda.
                Tidak peduli seberapa banyak teman yang aku punya, pergi dengan banyak orang ke banyak tempat, menghabiskan malam dengan membiarkan tubuh terbalut atmosfer luar, rasanya tetap berbeda. Tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan Nida. Tidak ada.
                Di sisi lain, aku merasa senang. Ia selalu berkata kalau sulit bersosialisasi dengan orang, atau sulit mencari orang-orang yang cocok dengannya. Aku senang akhirnya ia menemukan tempat yang membuat dirinya nyaman dan menemukan orang-orang yang cocok dengannya. Aku lega setengah mati.
                Aku ingat Nida selalu bilang, kalau aku adalah orang yang rendah hati, tidak suka pamer, sederhana, dan tidak menunjukkan kehebatan sekedar menyombongkan diri. Kadang, aku merasa muak dengan diri sendiri karena pemikiran: kenyataannya aku gagal ujian dan sedang melarikan diri ke Pare. Tapi, aku kembali bangkit dengan kalimat miliknya. Entah dibagian mananya kalimat itu mengandung motivasi yang berkaitan dengan pemikiranku.
                Di hari ulang tahunku, sebenarnya aku tidak tahu sejak kapan orang-orang tahu hari itu, tapi bodo amat. Nida mengirimiku video, yang membikin aku tertawa sekaligus terharu.
******
                Malam sebelum Rio pulang, aku benar-benar ingin bertemu dengannya. Karena aku tahu besok kami berdua akan pulang, tanpa tahu kapan akan bertemu dan menyapa seperti keseharian kami ketika papasan di jalan Pare. Tapi, aku tidak tahu bagaimana cara mengajaknya bertemu. Lalu aku berpikir, kami pun tidak terlalu dekat. Aku bingung sekali saat itu.
                Akhirnya, aku menyerah dengan keinginanku sendiri.
                Tapi, diluar dugaan, Rio mengajak bertemu. Ketika aku sudah menyerah dan tidak tahu bagaimana cara mengajanya, ia mengajak bertemu. Ia hanya mengetik, “Meet yok.” Sederhana, dan tidak rumit seperti yang ada di dalam kepalaku.
                Aku senang. Aku mencoba menghubungi teman-teman Speaking 1 yang lain—yang masih di Pare. Nida dan Nafis. Yang bisa datang hanya Nida.
                Kami berkumpul di Bali House atas saranku. Berbicara banyak hal, tertawa, dan berbicara tentang mimpi kami. Untuk pertama kalinya, inilah nongkrong yang aku paling takut untuk pulang. Aku takut pulang, tidak ingin pulang. Tapi waktu memang suka menggilas, dan waktu kami tidak lagi banyak. Besok, aku dan Rio akan pulang, meninggalkan Pare. Malam terakhirku, aku habiskan bersama mereka berdua.
                Sempat ada pertanyaan: Apa yang kamu pikirkan tentang aku saat pertama kali bertemu?
                Nida: Gua pikir lu pendiem, cuek, tapi aslinya engga. Lu asik, receh, dan mau menerima orang lain apa adanya. Easy going, sederhana, dan selalu ada buat gua.
                Rio: Kalo aku ngobrol sama kamu itu rasanya kayak aku ngobrol sama temen laki-laki. Nyaman gitu, nggak canggung. Kamu beda aja.

0 komentar:

Posting Komentar