Terima Kasih (1)

Aku adalah seorang introvert yang suka berinteraksi dengan orang lain. Berinteraksi, dengan artian tidak selalu berkaitan dengan banyak bicara. Cukup aneh memang, tapi memang begitu adanya. Aku memiliki caraku sendiri untuk berinteraksi, yang seringkali orang tidak bisa mengerti.

Diamku tidak selamanya bernilai emas, atau menghasilkan ide. Pikiranku kadang memang bisa menjadi begitu berbeda dengan orang lain, tapi aku tetap merasa iri pada orang-orang yang mampu dikelilingi oleh banyak orang dan tertawa pada lelucon yang sederhana.

Kemudian aku datang ke Pare. Sebenarnya aku sedang melarikan diri. Aku lari dari kenyataan bahwa aku gagal, aku lari dari kenyataan bahwa aku muak dengan diriku sendiri yang introvert dan iri dengan orang-orang. Iri memang sifat dasar manusia, dan aku tidak pernah menyangkal hal itu. Aku hanya mengakuinya dengan gamblang.

Pare memang tempat pelarian yang menerima siapa saja. Tapi dalam pelarianku ini, aku berharap akan menemukan sesuatu, entah apa itu.

Ketika aku menginjakkan kaki pertama kali disini, aku berpikir, karena tidak ada yang mengenalku, aku bisa bebas bersikap semau yang aku mau. Aku akan hidup dengan sepenuh-penuhnya hidup. Disini tidak ada yang tahu latar belakangku, tidak ada yang berekspektasi padaku, tidak ada yang tahu bagaimana keluarga besarku.

Aku bebas.

Aku berpikir, karena aku berada di suatu tempat yang asing dengan orang-orang yang asing pula, aku akan mampu untuk mengubah diriku sendiri, dan menciptakan suatu kebiasaan baru yang lebih tidak menyendiri. Aku berusaha keras untuk meninggalkan rasa nyamanku pada kesendirian, meninggalkan waktu-waktu untuk berpikir dan berdebat dengan diri sendiri.

Aku meninggalkan buku puisi milikku, menyimpan buku sketsa dan laptop, menyingkirkan buku-buku bacaanku. Kenapa aku tinggalkan? Aku tipe orang yang tidak bisa menggambar dikeramaian, ditatap orang-orang. Aku tidak bisa menulis jika ada orang lain yang berbicara keras di dekatku. Tapi, ada hal yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku tidak bisa meninggalkan kebiasaan mendengarkan lagu dan memakai earphone kemana-mana.

Aku mulai berusaha mengingat semua nama teman-teman di kelas, darimana asal mereka, dan memberanikan diri untuk berbicara lebih dulu. Aku tahu, jika bukan aku yang memulai berbicara duluan, tidak akan ada yang berbicara padaku. Dan aku tahu, bagi sebagian orang, memulai percakapan tanpa topik yang pasti, itu susah.

Aku banyak tersenyum, banyak tertawa. Aku selalu ceria setiap hari, dan itu bukan pura-pura. Aku senang aku bisa melawan sifat introvert milikku, keluar dari zona nyaman. Hingga semua orang yang mengenalku disini tidak percaya kalau aku mengatakan aku adalah anak yang introvert.

Belum ada seminggu, aku sudah memiliki banyak kenalan. Dan terus meningkat.

Tapi, sifat introvert-ku kadang kembali, berkali-kali. Ketika itu terjadi, aku akan lebih diam, tenggelam dalam lagu yang aku putar, lalu sibuk mencuri waktu di tengah jam pelajaran untuk menggambar.

Aku memang banyak kenalan, bahkan jika aku berdiri di pinggir jalan, akan ada banyak yang menyapaku. Tapi, yang benar-benar teman, hanya sedikit. Semakin aku bertambah umur, aku semakin selektif (secara tidak langsung) mana yang kenalan, mana yang teman.

0 komentar:

Posting Komentar