Pemeo

Aku tidak mengutuk temanku sebab ia kata aku lebih mirip laki-laki ketimbang seorang gadis. Ia dengan kesungguhan yang aku sendiri tidak tahu atas dasar apa ia mampu mendapatkannya, telah mengatakan hal itu padaku sebanyak tiga kali dalam satu malam yang sama. Ia tertawa bungah sedang aku begah mendengar omongannya.

Jika yang ia maksud adalah aku orang yang banyak tingkah, pecicilan, dan suka sekali ngomong tanpa ada manisnya itu, ia benar. Tapi apa sebutan 'laki-laki' hanya terpatok pada hal-hal itu? Aku muntab, aku lempari ia dengan biji kenari.

"Kau memang kayak laki-laki. Tidak banyak yang seperti kau."

Di luar, malam telah mengerjap perlahan, meninggalkan apa-apa saja yang sekiranya mampu dililit dalam kata, diambil oleh penyair, lantas entah mengapa malam bagi mereka adalah gulana. Bukankah malam hanya berisi gelap? Apakah gulana adalah gelap itu sendiri? Tiada yang tahu.

Aku tiada mau duduk di sebelahnya lagi, memilih duduk pada bonggol kayu yang telah dipotong lantas disusun tumpuk-menumpuk itu. Ia sendiri masih duduk di tepian tembikar, memainkan biji kenari yang aku lempar barusan. Jika saja ia balik lemparkan biji kenari itu padaku, mungkin halaman belakang rumah aku telah berubah menjadi area perang biji kenari.

"Jika tidak banyak yang seperti aku, kemudian aku ini mampu menjadi istimewa? Lantas mengapa orang-orang itu selalu sebal denganku?"

Ia abaikan pertanyaanku, membuat tanda tanya sibuk berlarian sendirian. Barangkali satu tanda tanya mampir pada bahunya, atau kedua telinganya. Menunggu untuk diubah menjadi titik. Jawaban.

"Bagaimana bisa jadi istimewa oleh sebab kau beda dari yang lain berdasar kau mirip laki-laki?"

Ia tertawa pula pada kalimatnya sendiri yang bagi aku adalah sebuah olok-olok. Bagi aku, yang saban hari dikatai Bapak sebagai jelmaan setengah laki-laki, mendengat kalimat itu dari orang selain Bapak, membikin aku gusar. Apakah aku memang begitu?

Aku memutar badan, memilih hirau pada kalimatnya. Aku menghela napas panjang, membiarkan hembusan angin menjadi jawaban atas pertannyaannya. Kosong. Melompong. Tiada arti.

Hening menjadi kami, lewat di antara celah-celah, dan kemudian hinggap pada masing-masing kami. Tidak pada pikiran kami. Aku masih membalikkan badan, memilih mengamati konstelasi acak di langit.

"Hei, Ra?"

Aku bungkam.

"Ara? Kau tahu aku sedang bercanda, bukan?"

Aku menghela napas. Malas.

"Tidak apa kau beda dari yang lain. Tidak apa jika sebagian orang kira kau mirip laki-laki. Jika itu memang kau, tidak apa. Bukankah bagimu yang paling membahagiakan adalah hidup dalam kenyataan dengan jujur dan apa adanya?"

Kali ini aku menoleh, tanpa mau lihat ke dalam dua matanya yang entah seperti apa sekarang tatapannya. Peduli betul. Aku mengepalkan tangan, sedang sebelah lagi sibuk melakukan sesuatu dari balik badan aku.

"Terima kasih. Kata-kata kau ada benarnya."

Ia tersenyum.

"Namun, sebenar apapun perkataan kau, kau tetap pantas dilempari biji kenari."

Aku lemparkan semua biji kenari yang aku pungut satu-satu semenjak aku membalikkan badan. Puas. Selalu ada balasan untuk tiap perkataan. Kali ini, biarlah biji-biji kenari yang menjadi jawaban. Biarlah ia meng-aduh saja sambil menutup wajah ia menggunakan tangan.

Biarlah, waktu ini hanya milik kami.

0 komentar:

Posting Komentar