Seruni tiada mengerti betul akan sebab irama pernah
terdengar pada dua sisi kupingnya. Belakangan hening telah menjadi dirinya, dan
malam-malam penuh kelotak juga ingatan masa lalu kembali menyita tubuhnya lagi
untuk meringkuk. Meratapi. Seakan hanya ia yang menyesal paling sesal.
Ia coba selalu untuk tidak mengingatnya kembali. Namun
ingatan itu rupanya adalah seorang pemberontak yang menentang Seruni yang rapuh
itu. Semakin keras gadis kecil itu menolak, semakin kuat juga
pemberontak-pemberontak itu menusuk-nusuk kepalanya. Barangkali juga ada
tusukan yang meleset, jatuh terpeleset mengenai hati.
Sakit. Ngilu.
Namun, ada yang Seruni percayai semenjak umurnya masih
belia. Hidup itu hanya bercanda, yang serius itu mati. Ia terka lagi,
barangkali sakit dan masa lalu itu hanya sebuah candaan sarkas, yang tiada
satupun yang mengerti sebab rumitnya adalah paradoks, yang tertawa hanya luka.
0 komentar:
Posting Komentar