g e . t a s


Tadi pagi, di atas boncengan vespa merah Bapak, dan langit biru yang sebiru-birunya langit, aku katakan pada diriku sendiri bahwa hari ini pasti akan menjadi hari yang menyenangkan. Aku tersenyum, mengayunkan kakiku, lalu memilih memutar lagu yang menenangkan.

Namun, perkataan penuh keyakinan diiringi lagu Miniscule itu pertama kali telah dirontokkan oleh mas-mas servis laptop yang tokonya buka pukul sembilan tiga puluh tidak kurang tapi lebih. Ia terus menceracau apa yang sebenanarnya sudah aku lakukan pada laptop hitam tidak misterius ini. Aku baru terbebas dari tembok kata-kata miliknya pada pukul setengah sebelas. Itu artinya, aku telat berangkat try out matematika pukul setengah sebelas teng.
                
Toko servis laptop ini dekat dengan sekolahku. Aku memilih jalan kaki. Aku berjalan secepat yang bisa kaki-kakiku lakukan, tapi waktu telah melewatiku begitu saja tanpa mau kasih keringanan. Bukan keringanan yang waktu berikan, tapi keringatan.
                
Aku sampai di lab 4—tempatku try out, saat teman-temanku sudah maju sampai nomor lima. Baik. Tidak ada salahnya kali ini aku memakai otakku lebih keras dari sebelumnya. Jujur saja, aku bisa melakukannya, tapi biasanya berakhir puyeng dan ingin makan banyak. Baik.
                
Ku kira, makan setelah selesai try out dengan teman-temanku akan membikin perkataanku yang diiringi lagu Miniscule menjadi kenyataan, tapi nyatanya tidak. Aku tiga kali dibuat kaget oleh temanku, sekali ditabok punggungku karena aku mengatakan kebenaran yang berunsur ‘cinta masa SMA’ pada temanku yang kelihatan sekali sedang merasakannya, dan yang terakhir, ibu kantin menertawaiku sampai dua orang yang lain ikut tertawa.
                
Baik sekali hari ini.
                
Belum selesai kebaikan hari ini. Ketika aku sampai di rumah, entah sebab apa perutku sakit. Mungkin, perutku sudah hendak sakit sejak pagi tadi, tapi ia tahu aku ada try out, jadi ia memilih sakit ketika aku sampai. Badanku sayang padaku. Ketika aku menulis ini, aku sedang dibungkus selimut, kompres air hangat di perut, dan lagu Miniscule aku hilangkan dari playlist.
                
Tadi, tepat setelah aku rebahkan diri aku sendiri pada kasur, aku mendapat pesan yang harusnya membikin aku terduduk, tapi, karena aku tidak kuat, aku tetap rebahan. Sebelum aku mengetik apa yang harusnya aku ketik, aku mencoba menghipnotis diriku sendiri.

Aku adalah lautan, aku adalah kebebasan, aku adalah irama yang aku ciptakan melalui denting waktu yang tidak tahu malu meletakkan nada minor di manapun ia suka. Aku lautan luas, tidak bisa ditebak sedalam apa yang aku kandung. Aku tenang.

Baik, mulai dari sini, ini akan menjadi tulisan yang serius.

Namamu adalah Biru, sama seperti warna yang selalu aku sukai. Dan kau, Biru, telah mengiriku sepatah bukan dua patah kalimat yang tidak sanggup membikin aku menjelaskan semuanya. Aku tidak bisa menjelaskannya di saat aku seperti ini. Faktanya, aku adalah manusia yang memiliki pikiran, perasaan, ego, harga diri.

Aku mungkin terlalu kelewatan karena memberimu banyak pertanyaan sedangkan kau sendiri tidak mampu menjawabnya dengan benar. Maaf, aku saat ini tidak ingin melobangi otak kau dengan pendapat pribadiku. Aku ingin kau mencari sendiri jawabannya.

Namun, aku tahu kau bukan orang yang mau repot untuk mencari jawabannya sendiri. Maka, aku suruh saja kau untuk bertanya pada orang lain. Carilah orang lain itu, cari, berbicaralah yang banyak kepada orang-orang. Kalau itu membuatmu merasa lebih baik, aku tidak apa-apa.

Aku tahu kau tidak tahan membaca pesan yang terlalu panjang. Maka, sulit sekali bagiku menemukan kalimat yang singkat, menggambarkan semuanya, dan kamu mengerti. Akhirnya, aku memilih menulis melalui ini, yang entah terbaca entah tidak entah tertimbun postingan baru lainnya. Aku sama sekali tidak masalah.

Begini, Biru, sejak awal aku sudah tahu sisi kau yang seperti itu. Jadi tidak perlu meminta maaf padaku sebab dari awal aku sudah menerima kau seutuh-utuhnya kau. Namun, bukan berarti jika aku menerima kau apa adanya, kau bisa seenaknya sendiri, bertingkah semakin menyebalkan, hingga melewati batas.

Aku tidak bisa menjelaskannya padamu karena aku tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini. Namun, mungkin aku bisa memberi tahu kau sesuatu. Kadang, kau memberi mereka nama panggilan yang kau buat, kau memperhatikan mereka dengan cara ‘membully’ mereka, kau selalu welcome dengan siapapun, mendengarkan mereka, membiarkan menganggap kau ada untuk mereka. Denganmu, mereka merasa diperhatikan.

Aku percaya padamu, maka aku berpikir itu hanyalah cara agar kau bisa dekat dengan orang lain. Jika kau tanya padaku sebelah mana kau menjadi transformasi anak perempuan yang centil, itulah jawabanku.

Jika aku melarang, menghalau, atau berkata tidak suka, itu hanya akan menjadi bagian dari keegoisanku, bukan? Aku tidak ingin menjadi egois, Biru. Apalagi terhadap kau. Justru karena aku sayang pada kau, aku tidak ingin menuntut kau untuk melakukan apa yang aku mau. Karena tidak semua yang aku mau, itu baik untuk diri kau.

Kau bukan boneka kayu bertali milik aku. Kau seorang manusia yang bebas, dalam bertindak, berpikir, merasakan. Karena kebebasan adalah hak segala bangsa, dan kau termasuk warga kebangsaan Indonesia, aku sungguh menjadi orang yang tidak baik jika menuntut kau.

Jika ditanya apakah aku cemburu atau tidak, jawabannya sejelas lampu di kamarku. Benderang. Aku cemburu. Namun, karena keputusanku sudah begitu, aku harusnya bisa meredamnya. Seperti mematikan lampu, membiarkan kamar menjadi gelap. Maka, aku hanya harus menghindari mengetahui interaksi kau. Walaupun aku adalah stalker handal nomor sekian namun nomor satu di kalangan warga RT.

Berinteraksi dengan orang itu penting. Membikin hubungan, atau apalah itu. Dan aku, tidak ingin membatasi, bahkan jika itu perempuan. Ini agak menyakitkan untuk diriku sendiri, namun, aku harus menulisnya saat ini. Kau tau alasan kenapa aku tidak banyak cincong saat aku tahu bahkan jika kau tidak menceritakannya padaku? Sebab, semua orang berhak mendapat apa yang paling baik bagi dirinya sendiri. Termasuk kau. Jika memang, aku yang menurutmu paling baik, kau akan kembali. Tuhan juga sudah menjanjikannya begitu bagi setiap hamba-hambanya yang telah berjodoh sejak awal.

Aku percaya padamu.

Namun, jika saat itu datang, saat kau memang menemukan yang lebih baik, tolong buat aku menghilang. Buat aku pergi. Sebelum terlambat, sebelum ada yang memarahimu. Jangan sampai, kau mengalami hal yang beberapa orang alami.

Kau tahu, saat aku menceritakan masalahku yang ada kaitannya dengan laki-laki, kepada tiga teman terpercaya dan kokoh untuk disandar bahunya, aku menceritakannya dengan sedikit melawak, dan mereka juga tertawa. Namun, mereka memang yang paling tahu, berkata

“Kamu sama sekali engga lemah, Majid.”

“Sama Arin aja, Jid, Arin siap.”

Arin perempuan pendiam kawanku itu, mendekatiku, memeluk badanku.

“Kok dia bajingan gitu. Mana Hpmu, bawa sini. Biar aku yang kasih balasan.”

Teman laki-laki yang paling dekat denganku, yang ku kira ia tidak mendengarkan ceritaku, malah berkata begitu. Kau tau, itu adalah kata-kata yang tidak bisa aku ucapkan, namun entah kenapa, aku lega sekali ketika ada orang lain yang mengatakan itu. Apalagi, yang mengatakan itu adalah temanku.

Aku akhirnya menangis. Air mataku jatuh pada telapak tangan aku. Ternyata, warna kesedihan itu sebening ini. Bening, transparan, seperti dapat menggambarkan segalanya. Rapuh.

Tulisan serius ini selesai di sini, dan aku tetap menghilangkan lagu Miniscule.


0 komentar:

Posting Komentar