Aku sebenarnya
tidak terlalu mengenalnya, begitu juga ia yang tidak terlalu baik mengenal aku.
Namun, melalui puisi yang kami anggap sebagai sebuah perkenalan sekaligus
permulaan yang ajaib—ditulis sebagai caption instagram—, kami menjadi teman
yang tidak sebenar-benarnya teman sebab kami hanya mengenal sebatas puisi.
Kemarin,
ia datang kepadaku. Di tangannya, ada sebuah buku yang katanya tiba-tiba saja
jatuh di depannya. Seperti ada yang sengaja mengingatkanku pada Ra, katanya
lagi. Ra. Sebuah nama tempat puisi-puisinya pulang. Selalu, jika puisinya
membahas tentang Jogja atau hatinya, di bagian atas puisi akan tertulis ‘Untuk:
Ra’
Ia
memiliki Ra dalam bait-bait puisinya sama seperti aku yang memiliki Tuan Teduh
dalam puisi aku sendiri.
“Lucu
banget. Buku ini datang berselang setelah undangan pernikahan itu nyelempit di bawah pintu rumahku.”
Dalam
pertemuaan kami, itulah kalimat pertama yang ia ucapkan, disusul dengan helaan
napasnya yang paling berat. Kemudian ia letakkan sebuah kenyataan pada meja.
Aku yakin saat pertama kali memegang ‘kenyataan’ itu, tangannya bergetar juga
tubuhnya sebab menahan sesak paling sesak.
Dibantu
sinar lampu sekian watt, aku lihat sebuah undangan pernikahan. Di sana tertulis
nama Ra dan sebuah nama lagi yang bukan ia.
Aku
tidak bisa mengatakan apapun mengenai hal ini. Sebab aku tahu, tidak semua
kata-kata dapat menyelamatkan seseorang. Sekarang, apa bisa sebuah kata-kata
kembali membuat penyair di hadapanku ini bangkit dari patah hati yang paling
patah?
“Lang,
aku tidak bisa lakukan apapun jika yang kamu bawa ini. Kalau kamu bawa novelnya
Don Pedro, aku masih tau harus ngapain.”
Penyair
bertubuh gemuk yang duduk di hadapan aku ini hanya tersenyum. Padahal dulu,
jika membahas Don Pedro atau novel terjemahan Meksiko lainnya, ia akan tertawa.
Tahu bahwa sulit memahami alur dan akhirnya masing-masing dari kami akan
terjatuh dalam diksi yang membikin puyeng itu.
“Lalu
buku ini, Bahaya Laten Malam Pengantin. Sengaja benar biar aku ingat Ra lagi.”
Kemudian
hening. Percakapan kami tidak benar-benar sunyi walaupun tanpa ada yang bicara.
Di antara kami, ada suara musik tahun 90an yang sering diputar Bapak. Di
sela-sela alunan musik, ada percakapan orang lain. Dan masing-masing dari kami,
tengah berdialog dengan diri sendiri.
“Kekasihku
menikah dengan orang yang bukan aku. Menikah itu sakral sekali, kan. Kalau aku
mau merencanakan nikung, pasti nanti aku kena gebuk batang pisang yang jadi
hiasan pernikahan itu.”
Aku
biarkan ia mengeluarkan kalimat-kalimat yang sudah lama melayang dalam
pikirannya, hatinya, hidupnya. Mungkin yang ia butuhkan sekarang hanya seorang
pendengar, bukan kalimat ‘sabar ya’. Kita tidak bisa menyuruh orang lain yang
sudah lama bersabar untuk bersabar lagi, bukan?
“Kekasihku
menikah dengan orang yang bukan aku. Sesak, lur. Aku bahkan sesak jika melihat
huruf ‘R’ dan ‘A’. Apalagi jika membaca kata ‘anta[ra]’. Kalau nanti di
terminal lihat kota tujuan Jogja, nanti aku sedih lagi. Di Jogja, segala sudut
mengingatkan aku pada Ra. Sesak sekali, lur. Nanti, kalau aku jalan-jalan dan
ketemu pemusik jalanan, aku harus apa? Nanti, kalau aku ingin makan bubur di
pinggir jalan dekat alun-alun, apa rasanya bakal asin ya? Aku sepertinya bakal
menangis.”
Aku
bisa dengar suaranya yang perlahan berubah menjadi nada minor. Ia kemudian
menangis. Seorang penyair di depanku ini akhirnya menangis. Ia dekap kuat-kuat
buku Bahaya Laten Malam Pengantin yang katanya membikin ia teringat Ra.
Sejujurnya, yang ingin ia dekap bukan buku itu. Melainkan Ra.
Dalam
sela-sela air mata, muncul nama Ra berulang kali.
Malam
semakin larut. Sedih miliknya makin berlarut-larut. Di luar sana, orang-orang
sibuk membicarakan film Dilan. Di luar sana, orang-orang sibuk ribut perihal
masalah BEM UI. Di sini, seorang penyair tengah jatuh terduduk.
ANTARA TANDA TITIK
Untuk: Lang dan Ra
Belum genap aku mencintai kau
Aku seperti tanda titik yang
tidak mampu menemukan sendiri mana yang akhir
Dalam mencintai kau
Namun kita ini,
seperti dua kalimat yang terpisahkan oleh tanda titik
yang diletakkan sutradara
Namun kita ini,
seperti dua adegan yang lain
yang tiap lakonnya kikuk jika bertemu
Belum genap aku mencintai kau, Ra
0 komentar:
Posting Komentar