Pacar
anak Ibu adalah seorang seniman. Saya. Entah seniman yang akhirnya jadi penyair
entah penyair yang tiba-tiba diberi amanah menjadi seniman. Mungkin dua-duanya
boleh. Saya seniman dan penyair. Penyair bukan penyiar. Kalau salah ketik, bisa
runyam. Bisa-bisa saya sudah berubah jadi juru omong sekarang.
Saya
punya banyak dunia. Bukan hanya dunia nyata, dunia mimpi, dan dunia nyata.
Setiap saya membikin sebuah cerita, maka itu akan menjadi dunia pula.
Sayangnya, dalam dunia yang ini, saya sering menyeret-nyeret anak Ibu untuk ada
di dalamnya.
Jika
manusia mampu masuk ke dalam dunia cerita, bisa saya jamin, anak Ibu akan
jarang ada di rumah. Saya memakai nama anak Ibu untuk menamai tokoh dalam
cerita. Saya mohon maaf kalau kelak anak Ibu menjadi terkenal. Ya itu ulah saya
juga, barangkali, kalau terkenalnya lewat kata pengantar buku.
Karena
sebabnya begini, Ibu. Saya tidak semata-mata menggunakan nama ia karena saya
suka ia, atau saking sukanya jadi menulis segalanya berbau dirinya. Ah, tidak.
Saya hanya ingin tunjukkan dunia yang berbeda padanya. Bisa ia berpetualang
dalam sebuah cerita? Bisa ia berubah menjadi tokoh utama selain dalam hidupnya
sendiri? Lagipula, anak Ibu memang sebuah inspirasi, sedang saya adalah sebuah
konspirasi—dengan pikiran saya.
Terima
kasih, Ibu, telah mendidik dirinya. Barangkali saya dapat menjelma menjadi
kisah, atau lagu, atau nama dalam selipan-selipan yang kemudian jadi abu.
Barangkali. Tapi, biarlah, saat ini, saya menyukai anak Ibu dengan cara seorang
seniman yang akhirnya jadi penyair entah penyair yang tiba-tiba dapat mandat
jadi seniman.
0 komentar:
Posting Komentar