Aku
tidak bisa menceritakan masalah ini kepada siapapun kecuali pada Kei.
Seharusnya aku tidak boleh membeberkan semua detailnya pada orang lain, namun,
jika aku tidak melakukan itu, aku akan pusing sendirian. Dengan
menceritakannya, aku dapat menemukan jawaban yang aku tarik dari obrolan kami.
Dan,
Kei adalah teman diskusi yang baik. Ia dan teman mungilnya yang menggemaskan,
telah menyakinkanku untuk mencari tahu. Walaupun aku tahu, aku hanya akan sakit
sendirian. Namun, salah satu dari kami harus bergerak. Salah satu harus
menanggung semua kebenaran.
Aku.
Dari
dulu aku tidak pernah benar-benar membenci seseorang. Karena aku tahu, benci
adalah penyakit hati, yang jika dibiarkan tumbuh, akan menimbulkan prasangka
buruk pada orang lain, dan kejelekan lainnya. Aku tahu, aku paham. Dan,
sayangnya, perempuan itu mengharuskan aku untuk membenci.
Selama
hidupku, untuk pertama kalinya, aku membenci seseorang. Kei, maaf aku telah
melakukan kesalahan dengan membenci orang lain. Kau keberatan?
Aku
selalu kehilangan sesuatu, entah hilang entah diambil paksa entah kecerobohan
aku sendiri. Perempuan itu telah membuatku kehilangan banyak hal. Ia mengambil
ketenangan batinku, tawa keluargaku, pikiranku, cerewetku, dan yang paling
mengerikan, ia telah ambil semangatku.
Keadaanku
yang sekarang seharusnya mampu membuatku menangis. Kei, kau paham betul tentang
aku. Aku tidak mau menangis dan memperlihatkan sisi lemahku. Aku lebih memilih
marah, mencari tahu sebanyak yang aku bisa, lantas menghampiri perempuan itu.
Aku sama
sekali tidak lemah.
Kei,
beberapa tahun yang lalu, kau ingat pernah mengatai aku sebagai stalker? Itu
benar. Aku mencari tahu tentang perempuan itu layaknya aku adalah stalker.
Dengan bekal sebuah nama panggilan milik perempuan itu, aku kemudian bergerak.
Malam itu, ketika aku telah memutuskan untuk bergerak, aku menghubungi semua
temanku yang mungkin mengetahui tentangnya. Aku mengabaikan ujian kimia besok,
memilih fokus dengan dua ponsel dan satu laptop. Aku mengabaikan pesan dari
Zaq, mengabaikan fakta bahwa aku tidak tidur, mengabaikan apapun.
Ini aku
ketika sudah serius pada satu hal. Dan aku tidak bisa fokus pada dua hal pada
satu waktu, makanya, aku mengabaikan hal-hal itu. Namun, karena aku tidak
tidur, aku tidak bisa konsentrasi untuk ujian kimia. Aku putuskan hari itu, aku
tidak masuk sekolah. Aku tidak benar-benar sakit seperti yang kukatakan. Aku
hanya tidak bisa berdiri, jatuh
sempoyongan. Aku lelah.
Namun,
kerja keras akan menghasilkan pencapaian. Berkat itu, aku mengetahui siapa nama
panjangnya, sekolahnya, kelas berapa ia, siapa teman sebangkunya, keluarganya,
alamat rumahnya, mantan, bahkan nomor teleponnya. Dan aku berhasil membuat
dirinya mau menemuiku.
Aku
hanya seorang diri, menghadapi ia yang secara tidak langsung, dilindungi oleh
laki-laki itu. Laki-laki yang datang dan mengajakku berbicara empat mata, untuk
menghentikan aku yang telah naik pitam dengan segalanya. Peduli setan. Siapapun
itu, jika ia menganggu ketenangan batinku dan keluargaku, aku tidak akan pernah
diam saja.
Demi
Tuhan, Kei, saat aku meminta bertemu dengan perempuan itu, ia mengadukannya ke
laki-laki itu (Aku tidak ingin menamai mereka di sini, jadi biarkan aku tetap
menuliskannya seperti ini). Maka, benar saja, saat hari pertemuan, ia bersama
laki-laki itu.
Sekarang,
siapa yang penakut? Dasar penakut. Ia seenaknya membikin masalah, mencuri
ketenangan batinku, dan sekarang ia tidak mampu menghadapiku secara langsung?
Ia bersembunyi di belakang orang lain.
Aku
ingin pembicaraan yang alami, murni, berterus terang. Bukan berisi formalitas
dan kesopanan palsu karena adanya laki-laki itu. Aku muak. Aku memilih diam,
memilih memperhatikan kucing yang bergulingan di jalan setapak. Biarkan saja
laki-laki itu berkata bahwa aku memang orangnya kelewat serius sehingga irit
bicara. Biar saja laki-laki itu berkata bahwa aku adalah penyair yang kalau
bicara, kaku sekali. Biar saja. Aku muak.
Setelah
sampai di rumah—sebenarnya tidak ada lagi—, Ibu mengelus pundakku, sambil
berkata.
“Majida,
sudah. Ibu sudah enggak apa-apa. Semuanya sudah selesai. Kamu jangan marah
lagi. Kamu lihat, marahmu bikin semua orang takut. Perempuan itu sampai bawa
laki-laki itu, mereka berdua harus menghadapi kamu. Ibu tau, kamu sendirian,
kamu tidak suka kalau suasana rumah jadi begini. Tapi, tolong, jangan marah.”
Aku
hanya mengangguk. Bahkan Ibu, memintaku untuk berhenti. Padahal jelas sekali,
perempuan itu salah. Bahkan Ibu, yang paling terluka, mencoba untuk berdamai
dengan hatinya sendiri, lantas meminta aku untuk melakukannya juga.
Aku
masuk ke dalam kamar adikku, mencoba bertanya sesuatu padanya.
“Memang,
kalo aku marah, seram?”
Adikku
menoleh, “Jelas seram. Kamu kalo marah, bicaranya suka jadi pendek-pendek, tapi
bikin sakit hati. Terlalu terus terang. Apalagi tatapan matamu jadi tajam.
Marahmu beda sama marahnya Mbak Din. Kalo Mbak Din, dia marah, Cuma suaranya
aja yang keras, kadang misuh. Kalo kamu, suaramu pelan, enggak misuh, singkat,
tapi sakit. Dibanding Mbak Din, kamu lebih seram.”
Aku mengangguk,
memilih masuk ke kamarku sendiri. Aku butuh berpikir.
Malamnya,
Ibu mengajakku berbicara lagi. Aku tidak pernah menolak untuk diajak berbicara,
jika itu memang dibutuhkan. Aku tidak pernah menolak untuk mendengarkan,
meskipun apa yang ku dengar nantinya akan membuatku kesal. Karena, setiap
manusia ingin didengar.
“Majida,
Ibu tahu kesannya laki-laki itu berniat melindunginya. Karena laki-laki itu tau
tabiatmu ketika marah. Ia tidak ingin, perkataanmu, menyakiti perasaannya. Ia
tidak ingin kamu berbicara yang tidak-tidak. Sudah ya, Majida. Ibu sungguh
sudah tidak apa-apa.”
Aku tahu
kalau beliau berbohong.
0 komentar:
Posting Komentar