Dari
kelas 10 sampai sekarang, aku tidak pernah ikut lomba flashmob—acara classmeeting.
Entah karena keadaanku, atau jadwal-jadwal yang tak terduga. Kelas 10, aku
tidak bisa ikut karena aku masih anggota OSIS .
Saat itu ada peraturan bahwa anggota OSIS
tidak boleh ikut berpartisipasi. Kelas 11, aku absen lagi, karena ada bimbingan
olimpiade astronomi. Kelas 12, aku memilih ikut lomba story telling. Aku tidak
bisa fokus pada dua hal pada saat yang bersamaan.
Jadi,
beginilah. Aku tidak tahu bagaimana rasanya latihan bersama, ribut membahas
konsep, atau apapun yang menjadi proses. Aku hanya duduk, sebagai penonton,
melihat mereka bergerak.
Aku
sedang duduk sendirian di kelas saat yang lain sedang sibuk mempersiapkan. Dari
dandanan, aksesoris, kostum, dan berlatih tempo. Aku hanya membantu satu-dua,
selebihnya aku duduk diam.
Vian
datang lalu duduk di depanku. Aku duduk di atas kursi, dia memilih duduk di
lantai, daripada harus menarik kursi. Ia duduk bersila, sambil mendongak ke
arahku.
“Apa?
Kenapa kamu berangkat?”
Aku
memasang wajah yang menurutku sudah cukup galak. Bagaimana tidak? Selama tiga
hari, ia tidak masuk sekolah. Padahal, yang lain sibuk latihan. Aku tahu ini
bukan urusanku kalau Vian ikut latihan atau tidak, namun, setidaknya aku ingin
dia mengerti dan tidak menyendiri seperti itu.
Vian
nyengir, sambil menunjukkan wajah andalannya—wajah tidak bersalah. “Berangkat
dong.”
Aku
meninju pelan pipinya. Aku sudah menahan diri selama tiga hari. “Oke. Kemaren
ikut latihan nggak? Sore.”
Ia
mengangguk, sambil melepas kacamata. “Ikut kok. Kenapa? Nggak masalah dong kalo
aku enggak ikut latihan tiga hari. Toh kemaren aku langsung hapal gerakannya.”
Aku
manyun, sedangkan Vian nyengir. Tertawa seperti ia sama sekali tidak bersalah.
Aku heran kenapa aku punya saudara semenyebalkan dia. Umur kami hanya berbeda
beberapa jam, namun dengan kepribadian kami, kami lebih sering berbeda
pendapat.
Saat
kelasku tampil, aku hanya harus memegang kamera, lalu menjadi orang yang
mengabadikan momen itu. Dokumentasi. Aku sesekali tertawa, membuat goncangan
kecil yang nantinya muncul pada video yang ku rekam. Aku memperbaiki fokus,
meletakkannya pada Tensya yang bermain solo. Lagi-lagi aku tertawa.
Mungkin,
yang menyendiri itu adalah aku.
Classmeeting
hari ini selesai. Sempat foto bersama di depan lobi. Tentu, dengan aku yang
berada di tengah. Karena jelas, aku memakai pakaian yang berbeda. Mereka
putih-biru, aku pink-abu-abu.
Mungkin,
seperti kostum ini, aku satu unit kecil yang berbeda dari sebuah sistem
raksasa.
Saat
pulang, aku berjalan bersebelahan dengan Vian. Lagi-lagi, aku bersama makhluk
menyebalkan ini, yang sering mengambil kacamataku. Ia membuka percakapan dengan
sebuah pertanyaan.
“Sekarang
aku yang tanya. Ngapain kamu berangkat?”
Lorong
kelas sudah lumayan sepi. Mungkin karena gerimis di luar, jadi orang-orang
memilih menunggu reda di dalam kelas, daripada menghabiskan waktu
berjalan-jalan di luar. Jam menunjuk pukul dua lebih.
Aku
mendongak, melihatnya yang menunduk. Perbedaan tinggi terkadang membuat kami
harus begini jika berbicara. Aku mendongak, ia menunduk. Jika sifat jahatnya
muncul, ia akan tertawa, mengatai aku pendek, kecil. Kali ini, sepertinya ia
lebih baik.
“Hmm?
Kan mau nonton flashmob kelas.”
Ia
mengangguk-angguk. “Itu aja?”
“Iya
tuh.”
“Ah,
nggak. Kamu tuh berangkat biar ada yang bisa ngevideoin waktu kelas kita
flashmob tadi. Kamu disuruh megang kamera.”
Vian
tertawa. Aku tersenyum malas, sambil mengangguk-angguk. Terserah saja apa
katanya. Sebelum aku menjawab, ia sudah melanjutkan lagi.
“Atau,
kamu berangkat, biar menuh-menuhin barisan pas di foto tadi. Biar di foto tuh,
orang-orangnya banyaak.”
Kali
ini, pukulanku sudah melayang mengenai lengannya. Ia mengaduh sambil tertawa.
Melihatnya yang tertawa sambil pura-pura meringis kesakitan, membuat aku ikut
tertawa. Mungkin, ini tawa yang paling melegakan.
Selain
teman-teman dekatku, Vian adalah orang yang sering menghampiriku kalau aku
sedang duduk sendirian. Walaupun saat itu aku sedang mode serius, ingin
sendiri, atau merenung, ia tidak peduli. Ia hanya akan duduk di sebelahku,
tanpa berbicara apapun. Mungkin karena kita saudara, jadi mudah memahami
perasaan.
Kadang,
ada saat di mana kami tidak berbicara. Hanya diam, sibuk melakukan kegiatan masing-masing.
Sesekali beradu tatap, lagi-lagi tanpa bersuara. Lalu, entah bagaimana caranya
entah kapan, kami tau kapan harus mengakhiri percakapan bisu ini, lalu pergi.
Kami
saudara beda keluarga. Kakakku sering menginap di rumahnya saat Kakak merasa
muak dengan keadaan rumah. Kakaknya pernah menonton siaran pertandingan sepak
bola di rumahku. Ia bersama pacarnya. Saat aku ikut bersorak atas bola yang
berhasil masuk gawang, aku menyakini bahwa Kakaknya dan pacarnya akan selamanya
begitu. Dekat. Lekat. Namun, aku salah.
Dulu,
saat ia dan kakaknya berkunjung ke rumahku, aku tidak keluar. Aku sibuk
menonton acara bola sambil tiduran. Aku menguap berkali-kali, tidak peduli di
luar rumah berisik sekali. Toh itu hanya Vian.
Kalau
berpikir ulang, aku bersyukur memiliki saudara seperti Vian. Walaupun kami
sering bertengkar, sering menghina, menertawakan satu sama lain, adu panco,
sesekali ia memegang kepalaku, aku memukulnya. Namun, dunia akan sepi jika
orang usil seperti Vian tidak ada. Terlampau sepi.
0 komentar:
Posting Komentar