Perempuan Garis Tangan

Oktober pertama.

Terminal angkot sepi. Jalanan dipenuhi payung yang mengembang warna-warni. Aku sendiri sibuk memamah biak pisang goreng sambil mangap-mangap kepanasan. Kebul-kebul pisang goreng hangat dan teh hangat, dinaungi atap warung saat hujan. Kumplit mantap.

Mataku mengawasi koran dari tadi. Berita hanya seputar kemalingan, korupsi, harga bahan pangan naik lagi, dan iklan lowongan kerja. Sudut mataku berhenti pada berita yang dipetak kecil. Judul berita ditulis dengan Times New Roman, terbaca ‘Perempuan Garis Tangan’

Ah. Kalau yang bang penulis maksud ini, orang yang tinggal di dusun atas, maka, terkenal betul perempuan itu.

Seperti yang ditulis. Perempuan itu memiliki banyak garis pada telapak tangannya—tak lazim. Sebelah matanya picak, sudah lama tertutup sebelah. Orang-orang dusun percaya bahwa perempuan itu mampu menggurat nasib seseorang. Ah, mana bisa begitu.

Aku meneruskan membaca. Kata surat kabar, orang-orang dusun mempercayai perempuan itu sebagai jelmaan penyihir hutan. Karena, tabib saja tak mampu menakar umur seseorang, namun perempuan itu bisa. Amboi, sakti benar perempuan garis tangan ini.

Aku sendiri sering dengar cerita seram tentang ia. Entah sejak kapan perempuan itu menempati gubuk reyot di pojokan desa. Tidak ada yang tahu. Bahkan namanya pun, tidak ada yang tahu. Serba misterius. Seperti ada kabut melingkupi.

Oleh sebab ini itu, penduduk dusun menjauhinya. Dengan dalih takut jika nasib mereka digurat olehnya, atau kematian mereka yang terbaca dan disuarakan sebelum Sang Ilahi.

Aku runyam, menutup koran, piring pisang goreng tandas. Hujan masih teletik-teletik, namun aku tancap pedal pulang ke rumah. Aku harus diskusikan dengan Bapak. Amboi, beliau bilang bangsa ini ragam-ragam. Pasti beliau tahu harus berbuat bagaimana.

Sampai di halaman rumah, aku sandarkan sepeda pada pohon delima, kemudian masuk rumah tanpa perlu ‘Assalamualaikum’

“Bapak! Bapak! Bapak!”

Aku temui Bapak sedang menghisap rokok lintingan sendiri sambil memperbaiki TV yang kemarin hanya dapat memunculkan gambar semut. Bapak menoleh ke arah aku, lalu kembali fokus memindah-mindahkan antena di atas TV.

“Betulkah, Bapak, bangsa ini ragam-ragam?”

“Benar tanpa meleset satu mili, Lud!”

Bapak beranjak dari perbaikan TV ‘pindah antena’, menatap aku sambil mengusap keringat di lipatan leher dengan kaos gombreng bergambar wajah pemain sepak bola negeri asing.

“Bapak paham bangsa apa kita ini?”

“Bhinekka tunggal ika di kaki garuda!”

“Hapal pancasila dan tahu artinya?”

“Satu sampai lima! Ditambah Piagam Jakarta! Kumplit, Lud.”

“Gagah nian Bapak menjawabnya. Kagum pula aku pada Bapak.”

“Tentu, tentu. Memang sudah sewajarnya kita menasionalisasikan diri.”

“Mantap. Kalau begitu, berkenan Bapak kalau saya boncengkan ke dusun atas?”

“Hendak apa?”

“Menyuarakan pancasila!”

“Siap! Bapak kenakan sepatu dahulu.”

“Mari temui perempuan garis tangan itu. Dialah ‘beda’ yang terluput dari beragam.”

“Perempuan yang katanya penyihir? Ah, aku tak usah ikut saja. Takut aku jika ia gurat nasib aku.”

“Lantas?”

“Biarkan saja ia. Jangan kau ikut campur. Mungkin lebih baik kita tak perlu tahu kebenarannya, Lud. Perihal apa yang disembunyikan, atau kabar burung itu.”


Kemudian, aku renungkan kembali. Pemikiranku tidak sedalam akar pohon delima yang hendak meraih inti Bumi. Namun, apa sebenarnya makna ‘beragam’ itu? Jika ‘beda’ malah membuat kita was-was.

0 komentar:

Posting Komentar