Kau Tidak Pulang?

                Aku berlari-lari menyebrang jalan raya yang ada di depan sekolahku. Aku baru saja membeli sesuatu, lalu memutuskan menunggu dijemput Ibu di depan sekolah. Hari ini beliau memintaku menemaninya ke toko kacamata. Mengganti frame.
                Aku duduk di kursi plastik dekat gerobak Mang Edy—penjual batagor—Aku mengenalnya walaupun tidak terlalu baik. Hanya akrab saja karena ia sering menasehati om cara membikin mie ayam yang enak, dan aku kebetulan sering beli batagor.
                Tepat saat aku hendak mengambil ponsel, Abang yang biasanya menemani Mang Edy jualan, lewat di depanku. Seperti biasa, sebuah topi selalu menutupi kepalanya. Aku tidak tahu bagaimana kondisi kepalanya jika topi itu dibuka.
                “Kamu habis lari-lari nyebrang jalan kan? Dari sana.” Telunjuknya mengarah ke jalan besar, kemudian ia terkekeh. Aku tahu kenapa ia begitu. Aku tidak jago dalam menyeberang jalan, jadi aku menunggu jalanan itu sepi. Sepi. Kau tahu kan selama apa itu.
                Aku mengangguk.
                Aku tidak pernah tahu siapa namanya. Agak menjengkelkan juga. Saat aku menyapa Mang Edy, aku hanya bisa menyapanya ‘Bang’ Padahal, tiap kali aku menunggu jemputan atau angkot, kami mengobrol.
                “Kamu ngga pulang?”
                Ini pertanyaan yang sama setiap kali aku duduk-duduk lama di sini. Entah dia hendak mengusirku secara halus atau bagaimana.
                Aku mengangguk, “pulang kok.”
                “Ya ayo pulang. Bareng aku.”
                Ini jawaban dan percakapan yang sama. Selalu begini. Aku hanya menanggapi tawarannya dengan tertawa kecil. Lantas selesai. Dulu, percakapan yang sama juga terjadi. Namun, bedanya, ia sudah menghidupkan motor sambil berkata ‘bareng ngga? Aku masukin kamu ke keranjang bronjong’
                Namun, aku sebisa mungkin tidak usah dibonceng laki-laki. Tidak perlu kalau aku masih bisa pulang sendiri. Aku tidak ingin dikasihani dengan diantar pulang. Aku masih mampu, sungguh.
                Abang itu melepas ikatan terpal pada ujung-ujung pagar sekolah. Terpal itu tadinya dipakai agar air hujan tidak mengenai gerobak dan kursi-kursi yang ada di situ. Sekarang hujan telah berhenti, hanya tinggal mendung dengan angin dingin.
                “Dibuka. Gini kan terang.”
                Ia tersenyum. Aku tidak. Selama ini, saat ia berbicara, aku lihat ia selalu tersenyum. Bagaimana mungkin ada orang yang sanggup terus tersenyum?
                Saat Abang itu mulai menggulung terpal, aku turun dari tempat dudukku, meletakkan barang yang aku beli, lantas mendekatinya.
                “Bang, aku bantu, ya.”
                Terpal ini lebar. Akan sulit jika menggulung dari sebelah sisinya saja. Walaupun bisa, itu akan menghabiskan waktu lama. Boros waktu. Maka, aku membantunya menggulung terpal pada sisi kiri, ia sisi kanan. Akan lebih mudah jika dilakukan bersama, tidak sendirian.
                Abang itu terkekeh seperti biasa, “kamu nawarin bantuan sendiri.”
                “Ngga masalah kok.” Aku menjawab sambil menyelaraskan kecepatan menggulungku dengannya.
                Terpal ini harus digulung sampai atas gerobak. Lalu, diikat. Selesai. Ternyata masalah ini tidak sesederhana yang aku pikirkan. Lihat saja, walaupun tanganku sudah terentang sempurna,aku tetap tidak mampu menggulung terpal sampai atas. Sisi kanan sudah tergulung sempurna, sedangkan bagianku terhenti.
                “Bang, akunya ngga nyampe.” Aku berjinjit sambil menoleh ke samping. Dengan tatapan ‘tolongin’
                Abang itu tertawa, “nah kan.”
                Nah kan apanya ya, Bang?
                “Sini aku aja yang lanjutin gulung.” Maka, pekerjaanku diambil alih olehnya.
                Aku selalu senang membantu orang lain, tidak peduli siapa ia. Beberapa orang mungkin telah kehilangan kepedulian dengan bertingkah seakan orang lain pasti bisa menyelesaikan masalah itu tanpa bantuannya. Namun, sungguh aku tidak ingin kehilangan kepedulian pada diri aku. Hal ini yang membikin perasaanku jauh lebih baik.
                Orang yang ditolong mungkin merasa senang, maka di sela-sela itu, ia akan tertawa atau tersenyum. Aku senang melihat pemandangan itu. Kemanusiaan. Melihat itu, aku yang terlalu banyak beban pikiran ini akan merasa ikut bahagia.
                Kebahagiaan itu menular. Kau harus percaya itu.
                Aku beri tahu satu hal lagi mengapa aku senang membantu orang. Kebaikan itu menular. Aku harap orang-orang yang mulai kehilangan perasaan peduli, kemanusiaan, dan hal-hal dasar itu, kembali mendapatkannya lagi. Yang aku lakukan tidak besar. Namun, hal besar selalu dimulai dari hal kecil.
                Aku ingin kau percaya.

                

0 komentar:

Posting Komentar