Hei, Rul!

                Setelah obrolan malam itu, Rul, kupikir aku akan menaklukkan hatiku sendiri pada hatimu yang telah bersedia meringankan mules perutku karena masalah milikku. Sayangnya, Rul, ketika mataku terpenjam lantas terbuka lagi pada esok hari, aku kembali merasakannya.
                Aku terlalu lemah.
                Aku terlalu berlagak kuat hingga aku tidak paham lagi apa itu arti dari kuat. Bahkan definisinya saja sudah menguap, digantikan artian palsu yang kukarang-karang sendiri.
                Aku tidak tahu lagi. Yang mana tempatku yang siapa memihakku, Rul. Aku seperti satu unit yang terlempar dari sebuah sistem. Aku tak kunjung membesar, malah semakin kerdil. Terpencil. Lalu kenapa kadang sistem memanggilku, lalu mengusirku kembali?
                Kau menjawab pertanyaan milikku yang bahkan aku kesulitan untuk menyampaikannya padamu atau pada lainnya entah siapa. Ada banyak titik terang bermunculan. Tentu, dalam segi ini, kau sudah berhasil menjadi mahasiswa jurusan psikologi yang hebat.
                Seperti petuah milikmu yang kau limpahkan padaku. Agaknya, petuah itu untuk diri kau juga. Jadilah seorang pemberani, Rul. Jangan terlalu lama menunduk. Angkat kepala kau. Ada banyak hal yang bisa kau temukan atau apa-apa saja yang sanggup membius diri kau.
                Duniamu tidak sebatas pikiran kau.
****
                Rul, harusnya kau tahu kalau aku ini manusia tanpa kekuatan super. Makannya, aku bisa cemburu padanya, pada mereka, pada kau, pada siapa?
                Mungkin, Rul, aku seharusnya tidak usah ada saja dalam lingkup sistem mereka. Aku ini pengacau, sepertinya? Lihat, jika aku terlempar, sistem itu sempurna sekali. Tapi aku kelewat egois hingga akhirnya memutuskan untuk menetap. Hei, Rul,pukul wajahku! Agar aku tersadar.
                Hei, Rul, pukul wajahku! Sekalian saja ia terlempar terkapar tanpa kabar pada sisi jalanan. Tak tahu diri.
                Rul, kisah cinta yang kau kisahkan kemarin malam itu sebenarnya tragis. Aku tak bisa memahami lengkung bibirmu itu. Bagaimana sanggup kau tertawa? Agaknya, kisah cintamu lebih aduhai atau lebih puitis dari itu. Tapi, sejak kapan kau puitis dengan gitar dan game?
                Rul, kisah cinta yang kau kisahkan semalam itu, bukankah milikku yang berusaha kau tanyakan kebenarannya? Bukankah, pernah menjadi milik kita?
*****
                Rul perempuan. Aku berusaha menulis sudut pandang orang pertama laki-laki.

                Kalo bisa disebut prosa, ini prosa. Prosa terpanjang yang pernah kubuat. Terinspirasi dari pembicaraan semalam suntuk dengan temanku—jurusan psikologi murni—yang menjelaskan tentang extrovert, introvert, teman perempuan, bahkan masa kecil penuh liku-liku. Terima kasih. Kamu membuatku yang tiduran, menjadi duduk karena antusias dengan topik pembicaraan. 

0 komentar:

Posting Komentar