Aku Mati Oleh Waktu

                Kepalanya tertunduk. Diam. Bahkan suara tik tok jam berbentuk bulan miliknya bisa terdengar. Seperti biasa, tidak pernah ada pagi dalam putaran 24 jam waktunya. Pagi, siang, sore, malam. Semuanya sama saja. Sama-sama berjalan, lantas selesai tanpa perlu dicegah.
                Ia bahkan tak perlu untuk membuka kerai jendela miliknya. Selalu tertutup. Ventilasi keluar masuk udara hanya ada di atas jendela. Kecil, bersekat-sekat. Menurutnya itu cukup. Jika ia ingin menghidupkan AC, tinggal tutup saja sekat-sekat kecil itu. Sayangnya, ia lebih suka kipas angin. Suaranya mampu mengusir sepi.
                Kamar empat sudut miliknya selalu banyak barang. Termasuk kertas, buku, pensil yang bercecer, gelas-gelas sisa semalam, permen kecil, bahkan jaket miliknya yang terletak tertutup selimut tebal miliknya. Bukannya malas, ia hanya berpikir, lebih ramai jika berserakan seperti ini.
                Kepalanya terangkat. Tanpa helaan napas, ia beranjak dari kursinya. Kali ini bukan gambar yang ia selesaikan, melainkan tulisan yang nantinya akan ia lombakan nanti. Nanti. Jika editornya mau mengoreksinya.        
                Jalannya terseok-seok karena penuhnya buku yang menutup i lantai. Jika tidak hati-hati, bisa-bisa ia tersandung, lantas terantuk meja. Seperti kemarin. Lututnya jadi merah karena itu.
                Ia menyibak sedikit kerai jendela berwarna cokelat tua itu, lantas memicingkan mata. Silau. Ia mendongak melihat langit, berusaha menerka-nerka waktu. Apa ini siang? Atau sudah bergerak menuju sore? Buntu. Ia memilih menengok jam bulannya. Siang. Pukul sebelas.
                Dari jendela kamarnya, ia bisa melihat rumah di seberang jalan, juga rumah di sebelahnya yang hanya dibatasi tembok rendah. Yang menjadi masalah justru rumah di seberang jalan itu. Masalah apa? Hanya hatinya yang bisa menjawab.
                Tidak ada helaan napas saat potongan ingatan melintasi pikirannya. Itu sudah berlalu, teringgal jauh di belakang. Untuk mengubur jauh-jauh ingatan itu, ia menggambar untuk membunuh waktu. Biarlah. Namun, yang terjadi malah, waktu yang membunuhnya.
                Ia mati oleh waktu. Ia tenggelam oleh zaman. Ditelikung, tak bisa bergerak.
                “Sejak awal kita memang sudah berbeda.”
                Tidak ada helaan napas. Tidak ada senyum. Ia sadar akan hal itu. Dan itu bukan hal yang harus diberi senyuman atau helaan napas. Buat apa?
                Ia mati oleh waktu, kamar empat sudut miliknya mengurungnya dari dunia luar. Namun, bukan berarti pikirannya ikut terpenjara, bukan? Pikirannya jauh melayang. Melewati sekat-sekat kecil, terus menerobos tembok rendah, menyeberang jalanan, bahkan menyentuh rumah di seberang jalan. Pikirannya lebih jauh, daripada dirinya sendiri.
                “Sejak awal kita memang sudah berbeda.”
                Ia ulangi lagi kalimat itu sambil menutup kerai jendela. Dipandanginya seluruh sudut kamar, dan ia merasa tidak ada yang perlu diubah. Begini saja sudah cukup.
                Lalu, monolog itu muncul dengan sendirinya. Ia sendirian, bukan? Tapi ia ingin berbicara.
                “Sejak awal kita sudah berbeda, Ling. Aku tidak punya apapun. Tubuhku, pikiranku, yang sering dipuji orang-orang luar. Buat apa? Aku hanya punja pujian, sesekali kritikan tanpa dasar, sesekali celaan. Mereka tidak tahu, Ling, benar-benar tidak tahu. Yang mereka puji dari tulisanku adalah kesedihanku. Mereka memuji kesedihanku. Ironi.
                Saat aku menangis dalam tulisan, mereka bertepuk tangan. Bravo. Perasaan sang penulis kuat sekali terpancar. Bukan main, tulisan yang berhasil adalah yang mampu menyeret para pembaca masuk ke dalam pikiran sang penulis.
                Ling, mereka bersorak atas kesedihanku.
                Aku sudah tidak tahu lagi, Ling. Yang mana tempatku? Yang mana kehidupanku? Berbeda denganmu. Selalu ada orang-orang yang memiliki telinga untukmu. Selalu ada orang-orang yang akan merengkuh bahumu jika kau roboh, tersungkur. Bahkan, sebelum kau meminta, mereka menawarkan diri untukmu. Untuk menjadi pendengarmu. Untuk menjadi kekuatanmu kembali bangkit.
                Di satu sisi, aku sendirian. Aku hanya diberikan kertas dan pensil oleh Tuhan. Dengan ini, aku bisa menumpahkan semuanya. Kesedihanku. Aku hanya punya itu dalam putaran 24 jam. Ling, disaat aku berpikir aku memilikimu, aku tidak memilikimu.
                Sekarang, tidak ada lagi Ling yang menemukanku. Yang tiba-tiba muncul, menyelamatkanku. Kau keren sekali jika melakukan itu. Apalagi ekspresi wajahmu itu, antara lega dan senang.
                Sejak awal kita memang berbeda. Sejak awal, aku memang berbeda. Aku seperti, satu unit yang terlempar dari sebuah sistem. Dulu kau menemukanku, membawaku pulang. Sekarang, aku adalah satu unit yang terlampau jauh dari sistem. Aku terperosok.”
                Monolognya diakhiri dengan helaan napas panjang. Ia tidak menangis lagi sejak lama. Bosan. Toh air matanya nanti juga mengering. Ia ditinggalkan pula oleh air matanya. Lantas, siapa yang tidak meninggalkannya? Tentu, dirinya sendiri.

*****
                Saat menulis ini, aku jadi ingat banyak orang. Mungkin tidak banyak. Dapat dihitung dengan jari. Mentari, Beno, Rina. Aku tidak suka jika orang lain tau kalau aku menangis. Tapi di depan mereka, aku menangis. Mas Viga. Terima kasih sudah mendukung kami. Zaqi. Aku tidak pernah mengerti kenapa kamu ada dan bertemu denganku. Vian. Terima kasih sudah mau mengerti tanpa banyak bicara, keluargamu baik sekali. Syawal. Aku tidak pernah menganggapmu keluar dari sistem milikku. Tidak pernah. Mbak Dila. Benar katamu, aku ini anak yang cuek. Tapi aku tetap menjadi orang yang selalu ingin memanggil namamu. Husein. Aku bisa katakan apa untukmu?

                Aku mengenal banyak orang. Banyak orang mengenalku, lebih banyak dari aku mengenal orang-orang. Mereka hanya tau namaku, tulisanku. 

0 komentar:

Posting Komentar