Namanya
Pak Teguh. Beliau guru matematikaku saat kelas 8 SMP .
Demi apapun, beliau satu-satunya guru di SMP
yang selalu ingin kutemui bahkan ketika aku duduk mengetik ini. Kalau dikatakan
kangen, mungkin tidak juga.
Bagaimana
caraku mendiskripsikan seperti apa beliau? Mungkin ini memang agak kurang ajar
karena menurutku beliau mirip panda merah. Matanya sering melotot namun tidak
menyelidik, hanya agar ia mampu melihat lebih jelas saja. Badannya tambun,
tentu saja, lengkap dengan perut buncitnya. Suaranya kadang keras, kadang biasa
saja. Caranya tertawa sedikit menyebalkan karena kadang beliau bisa tiba-tiba
berhenti tertawa.
Yang
membikin 26 siswa di kelasku bingung, adalah ketika Pak Teguh menyebut hasil
hitungan matematikanya dari belakang. Misal, hasilnya 625, beliau membacanya
526. Awalnya memang susah mengikuti cara berhitung beliau yang cepat dan dibaca
dari belakang, namun lama-kelamaan kami bisa juga. Dan sialnya lagi, aku
mengikuti caranya berhitung. Cepat, dari belakang, yang lain bingung.
Pak
Teguh suka menyuruh untuk menghapus papan tulis atau membuang sampah yang ada
di kelas. Beliau hanya menyuruhku atau Yogi. Aku dan Yogi. Yang lainnya, hanya
tertawa saja melihatku bersungut-sungut meraih penghapus papan tulis, dan Yogi
yang berjongkok mengambil kertas di bawah meja.
Harus
ku akui, aku memang nakal saat SMP .
Sering tenggelam dalam imajinasiku sendiri daripada materi yang tumpah ruah di
papan tulis. Itu sebabnya, kadang Pak Teguh menodongku tiba-tiba.
“YA JED
YA?” Beliau orang pertama yang memanggilku Majed.
“Ah?
Apa Pak?” Aku mendongak menatap beliau, sambil menutup bagian belakang buku
yang penuh gambaranku.
“Yaudah.
Sini kamu maju kerjain.”
Tidak
masalah walaupun teman sebangkuku—Nisa—cekikikan melihat aku mendorong pelan
kursi, lalu melangkah menuju papan tulis. Tidak masalah walaupun Pak Teguh
menyeringai melihatku yang pasrah saja. Tidak masalah ketika suara spidol
berdecit saat aku menulis jawabannya.
Aku bisa
mengerjakannya.
Aku
mungkin tidak melihat Pak Teguh ketika menerangkan materi, namun aku mendengarkannya.
Sebuah keberuntungan aku bisa mengerjakan soal itu. Karena itu, beliau hanya
menyuruhku menghapus papan tulis. Sebuah bentuk hukuman yang entah ya, aneh.
Namun,
gara-gara beliau, aku menjadi lebih rajin belajar pada pertengahan akhir
semester. Aku adalah seorang pembelot, bukan? Karena itu, aku ingin menunjukkan
kalau aku ini tidak bodoh. Aku juga bisa rajin dan serius seperti anak-anak
kebanyakan. Aku hanya, bosan terperangkap pada materi yang berbatas.
Pak
Teguh, secara tidak langsung, mengubahku.
Ah,
bukan, beliau tidak mengubahku menjadi seorang maniak belajar. Pada dasarnya
aku memang suka belajar, namun, yang kupelajari kadang bukan materi sekolah.
Haha. Beliau mengubahku, agar aku lebih memperhatikan materi sekolah.
Hmm,
Pak, kalau Bapak baca ini, jangan melotot. Lewat tulisan ini, Pak, saya ingin
berterima kasih sebanyak yang bisa saya
berikan. Bapak masih jadi satu-satunya guru yang sangat ingin saya temui. Saya belum
menemukan guru seheboh Bapak saat SMA ini. Kalau yang lebih galak, banyak.
Namun, saya tidak terkesan dengan kegalakan mereka.
Sekian,
Pak.
0 komentar:
Posting Komentar