Itu
kebiasaan Bapak. Menyetel lagu lawas di mobil saat perjalanan jauh. Kadang,
Bapak sesekali ikut bernyanyi, aku juga. Kadang, bersenandung kecil sambil
mengetuk jari pada setir mobil. Atau, Bapak memilih mengecilkan volumenya,
lantas bercakap dengan kami.
Biasanya
aku sering mengeluh. Kenapa lagu itu lagi, itu lagi. Bapak santai menimpali,
lagunya bagus. Lembut didengar, bisa dinikmati. Katanya, lagu-lagu jaman
sekarang, banyak yang asal bunyi saja, tanpa jelas betul apa maksudnya. Ah,
yang Bapak dengar kan lagu pop yang itu. Paham maksudku?
Kalau
semua orang di mobil sudah tidur kecuali aku dan Bapak, biasanya beliau
bercerita banyak hal. Itu yang paling aku suka dari sebuah perjalanan.
Malam
ini, beberapa hari sebelum lebaran, aku menemukan file lagu-lagu lawas itu pada
hardisk milik Bapak. Iseng, aku mendengarkannya. Lagu Tak Bisa Kelain Hati
milik Kla Project, sedang mengudara saat ini.
Lagu
itu, bisa bercerita banyak hal. Itu lagu yang diputar saat aku menangis pulang
dari TK, karena dijahili teman laki-lakiku, lantas, Bapak membawaku ke pabrik
pupuk. Saat lomba menggambar juga, di balai, semua anak sudah pulang. Bapak
telat menjemputku, aku pikir saat itu, aku akan terus-terusan sendirian.
Lagu
itu mengerikan. Karena aku jadi ingat saat pulang dari sholat idul fitri, aku
melihat Totok berjalan karena motornya bermasalah. Aku yakin saat itu ia juga
melihatku dari kaca belakang mobil, karena ia memalingkan wajahnya.
Lagu
itu menyedihkan. Karena aku jadi ingat perkataan Bapak saat buka puasa tadi.
“Lebaran
bentar lagi ya, Jid?”
“Iya.
Kenapa?”
“Nanti
kalau lebaran, kita mau kemana ya?”
Aku
paham betul maksud pertanyaan itu. Tiap lebaran, kami sekeluarga mudik ke rumah
kakek di Klaten—bapak dari bapak. Tahun ini, kakek sudah meninggal. Lantas,
kemana Bapak hendak pulang?
Aku
tidak menjawab pertanyaan itu, memutuskan kembali mengunyah pepaya.
0 komentar:
Posting Komentar