Akhirnya,
pohon itu tetap ditebang. Aku sudah bilang berkali-kali pada Bapak, jangan
tebang pohon roda-roda itu. Namun, beliau tetap menyuruh orang untuk
menyingkirkan pohon setinggi 3.5
meter itu. Hendak diganti tanaman hidroponik, katanya.
Berjajar-jajar hingga memenuhi satu petak tanah lapang di samping rumah.
Aku
tidur saat proses penebangan pohon, sama sekali tidak rela. Bahkan saat aku
terbangun dan mendengar deru mesin pemotong, aku memilih kembali tidur walaupun
kepalaku sudah sakit sekali karena kebanyakan tidur. Aku menutup kepalaku
dengan bantal, menghalau suara bising yang lebih menyakitkan di hati daripada
di telinga.
Dulu,
kamarku berada tepat di samping pohon itu. Setiap kali aku membuka jendela
kamar, aku langsung melihat batang pohon yang kokoh dengan daun-daun yang
rindang menaungi halaman samping rumah, termasuk menghalau sinar matahari yang
langsung jatuh ke dalam kamarku. Saat mendongak sedikit saja, aku bisa
menemukan beberapa burung pipit yang bertengger santai sambil menikmati pagi
mereka.
Sekarang
kamarku pindah ke sisi rumah yang lain. Kamarku yang dulu menjadi kamar Bapak
dan Ibu. Bertukar.
Asal
kau tahu saja, pohon ini sebenarnya beracun. Aku sudah tahu fakta itu sejak aku
duduk di kelas 6 SD. Tapi aku tidak bilang kepada siapapun. Itu sebabnya, tidak
ada burung yang membangun sarang pada dahannya yang kokoh. Jika aku memberi
tahukannya pada yang lain, pasti sekarang pohon itu sudah hilang. Digantikan
dengan tanaman hidroponik yang membosankan.
Aku
teramat sayang dengan pohon roda-roda itu. Entah simbiosis apa yang sudah kita
lakukan. Hanya saja, dialah pohon terbesar dan tertua yang keluarga kami
miliki. Dialah saksi bisu dari kejadian-kejadian remeh maupun besar yang
terjadi di halaman rumah. Pohon itu menyimpan ingatan-ingatan yang kerap kali
aku lupakan.
Apa kau
percaya saat kubilang tadi kalau pohon menyimpan ingatan? Ah, pohon memiliki
ingatan dan ia bisa bercerita dengan pohon lainnya lewat akar yang menggurita
di dalam tanah. Sudah beribu-ribu cerita bahkan lebih yang sudah ia saksikan
dan ceritakan kepada pohon lain. Bisa saja ia bercerita pada pohon salam di
belakang rumah, pohon jeruk, pohon jambu, bahkan bambu-bambu yang bersuara
nyaring saat terkena angin. Bisa saja.
Pohon
itu, kawan, adalah saksi saat aku tertatih berlatih sepeda dengan Mbak Yuli.
Berkali-kali jatuh, berkali-kali bangkit. Atau saat aku masih berlarian dengan
teman masa kecilku, Tata, berlomba siapa yang paling cepat masuk rumah dan
sampai di depan aquarium kecil di ruang tengah. Atau saat aku menyapu sendirian
di bawah pohon, lalu Io menyembul dari balik pohon dengan bola plastik
ditangannya, ia nyengir, berkata dengan santai kalau Totok mencariku. Mereka
bagian masa lalu, bukan? Masa lalu yang remeh, mungkin, menurutmu. Lebih banyak
lagi, sebenarnya, karena aku sendiri sudah berumur 17 tahun.
Aku
punya dua rahasia lagi, kawan. Karena itu kau, maka aku berani membocorkannya.
Yang pertama, bukan hanya satu alasan kenapa aku tak rela karena aku sayang.
Ada alasan lainnya. Percaya padaku, tidak banyak orang yang tahu dan punya
pohon roda-roda. Apalagi jika tahu kalau pohon itu beracun. Nah, bukankah, saat
ada keadaan terdesak, aku bisa membuat seseorang pingsan dengan menabur sedikit
bagian dari buahnya? Pingsan saja, dengan dosis kecil, tentunya.
Yang
kedua. Pohon itu akan benar-benar mati jika kau babat habis batang pohonnya.
Jika saat menebang kau tinggalkan sedikit batangnya, pohon itu masih akan
tumbuh lagi. Tadi, orang-orang itu melakukan kesalahan terbesar. Mereka sisakan
batang yang sekiranya cukup untuk jadi tempat duduk. Pohon itu akan tumbuh
lagi.
Dialah
pohon terkuat di halaman rumahku.
Namun,
saat musim berbuah, kau harus ekstra hati-hati. Buah pohon itu dapat meledak
dan mengeluarkan biji yang berhamburan sembarang arah dengan kecepatan yang
lumayan. Paham maksudku? Bijinya seperti peluru.
Haha.
0 komentar:
Posting Komentar