Hukum Langit

Sehebat apapun kamu, kamu tetaplah seorang perempuan. Sekuat apapun kamu menolak perasaan, mengacuhkannya, berkata bahwa kamu manusia es, tetap saja, kamu perempuan. Dibentuk oleh perasaan hangat dan kasih sayang. Itu milikmu. Tertanam di dalam hatimu bahkan sejak ditakdirkan menjadi perempuan.
                
Baiklah, Nona Angkuh, lihat aku. Aku tahu tidak ada yang mau mendengarkan perkataan orang berhati beku macam kamu. Mereka takut es milikmu melukai mereka. Tapi aku tidak begitu, jadi tenang saja. Kemari, bicara padaku.
                
Perempuan di depanku mengangguk samar, lantas menyeka sisa air mata di ujung mata. Ia menegakkan kepalanya, tampak tatapan matanya mulai kembali tajam. Ini baru dia.
                
“Jangan kira aku akan luluh semudah itu, Zaq. Aku memang sedang sedih, namun bukan berarti kamu bisa semudah itu mengkasihaniku.”
                
Nada suaranya bergetar. Tampak jelas ia berusaha mati-matian menahan agar tangisnya tidak keluar lagi. Aku hargai usahanya, namun, seperti apa yang baru saja kukatakan untuknya, dia tetap perempuan.
                
Aku terkekeh pelan, “Nona Angkuh, aku tidak bermaksud mengkasihanimu. Tapi, sekali saja, hanya sekali ini, kamu boleh terlihat lemah. Keluarkan sedihmu, Lyra. Tidak ada yang melihat di sini. Hanya ada kita berdua.”
                
Aku tersenyum lembut. Aku benar-benar memasukkan artian tertentu ke dalam senyumku. Kalian tahu, senyum yang mampu menghipnotis, menenangkan, meyakinkan. Senyumku seperti       mengatakan, ‘ayolah, semua akan baik-baik saja. Ceritakan padaku. Kamu bisa mempercayaiku.’
                
Detik selanjutnya, perempuan yang sesenggukan itu diam menatapku. Amboi, lihat tatapannya, dalam keadaan sedihpun, tatapannya tajam. Alisnya terpaut, mulutnya terkunci rapat, garis-garis wajahnya tegas. Pantas saja semua laki-laki enggan mendekatinya. Lyra terlalu angkuh.
                
“Zaq, apa kamu mengerti kalau persoalanku ini bukan sekedar permasalahan remaja tanggung yang akan selesai begitu saja saat lawan bicaranya berkata, ‘sabar ya’? Tidak, Zaq. Aku tidak mau solusi seperti itu.”
                
Bibi Uni masuk ke beranda rumah sambil membawa nampan berisi minum. Aku yang meminta bibi untuk membuat cokelat panas. Kalian tahu, cokelat selalu bisa membuat perasaan siapapun menjadi lebih baik.
                
Lyra berdiri untuk membantu menaruh dua gelas minuman ke atas meja. Ia tersenyum kecil, berkata terima kasih kepada bibi, lalu kembali duduk. Perempuan ini ternyata masih dapat berkata ‘terima kasih’ Ah, itukan hal wajar. Aku tahu dia manusia yang bermoral sehingga mampu menghormati orang yang lebih tua, sopan santun, dan hal-hal dasar kebaikan lainnya.
                
“Zaq? Kenapa tersenyum melihatku? Puas melihat aku terpuruk karena aku terlalu jatuh ke dalam perasaanku?”
                
Aku menggeleng sambil terkekeh, “tidak, Lyra. Kamu terlihat lebih baik saat bersikap sopan. Kujawab pertanyaanmu barusan. Aku mengerti, dan aku tidak akan mengatakan kalimat klise itu untukmu. Kamu sudah bosan mendengarnya, dan aku sudah bosan mendengar keluhanmu tentang itu.”
                
Dia tersenyum.
                
Beranda rumahku kembali sepi. Jalanan di kompeks perumahan ini memang sepi. Apalagi saat siang hari seperti ini. Walaupun ini hari Sabtu, libur, tetap saja panas matahari yang menyengat tidak pernah menjadi kawan yang bersahabat. Beberapa orang memilih menikmati hari libur di rumah, menonton televisi sambil bercakap dengan keluarga.
                
“Baiklah. Kita sudah berteman lama, itu cukup memupuk kepercayaanku.” Lyra berkata datar. Dia siap bercerita.
                
Aku memperbaiki posisi duduk, mencoba menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Itu tugasku saat ini. Maka, aku akan menjalankannya dengan sebaik mungkin.
                
“Ingat Mareen, Zaq? Laki-laki yang berani dekat-dekat denganku. Awalnya, aku mengira dia memang tulus mendekatiku. Ia berbeda. Itu jelas sekali terlihat. Mareen tidak seperti kebanyakan laki-laki yang bertindak karena ada maunya. Dia tersenyum lembut padaku, sesuatu yang jarang kudapatkan. Dia baik sekali, sampai-sampai aku merasa separuh hati esku mencair. Mareen memberlakukan aku sebagai perempuan, bukan sebagai manusia es.
                
Aku luluh. Lyra sang manusia es luluh. Aku biarkan dia mengkomando kegiatanku. Menuruti saran-saran yang dia berikan. Seperti, aku benar-benar bergantung padanya, Zaq. Lalu hari itu datang juga. Ia menyuruhku menghasut para petinggi organisasi agar mau melebarkan kegiatan sampai ke luar pulau. Aku menurut saja. Karena menurutnya, semakin lebar jangkauan kami, semakin besar pengaruh organisasi, semakin banyak yang terselamatkan.
                
AKU MENURUT, ZAQ!”
                
Lyra terisak sekali lagi. Aku mengehela napas, menatap prihatin.               Aku mengerti kenapa laki-laki iblis itu mendekati Lyra. Lyra satu-satunya petinggi perempuan, apalagi dialah otak dari semua rencana-rencana yang sudah dilakukan.
                
Aku tidak termasuk bagian dari organisasi. Organisasi ini ilegal, bahkan dapat disebut sebagai organisasi kriminal. Tugasnya sederhana saja: mencuri harta dari koruptor kaya, lalu membagikannya kepada rakyat miskin. Tugas memang sederhana, tapi pelaksanaannya tidak pernah sederhana. Bagaimana aku tahu itu semua? Aku adalah seorang informan, kawan.
                
“Nah, Zaq, aku tidak tahu bagaimana dia melakukan jebakan-jebakan itu. Tepat setelah organisasi menurut padaku dan mengutus bawahannya, tempat persembunyian sudah dikepung oleh polisi. Aku berhasil kabur saat itu. Aku mendapat e-mail dari Mareen malam itu, ‘permainan selesai. Kamu dan kelompok sirkusmu sudah hancur.’
                
Aku baru menyadarinya. Mareen Wijayanto. Dia adalah cucu dari kepala polisi yang beberapa tahun lalu tidak sengaja tertembak oleh bawahanku. Dia balas dendam, Zaq. Hatiku hancur karena banyak hal. Yang lebih utama, aku hancur karena terlalu membiarkan aku jatuh hati padanya.”
                
Ceritanya selesai. Semilir angin menelisik helaian rambut kami. Jika situasinya tidak tegang seperti ini, angin tadi menyenangkan sekali. Lembut berdesir saat satu-dua awan mulai menghalau sinar matahari.
                
Aku bangkit dari kursi, berjalan santai ke tepi beranda. Pepatah tua itu berkata, ‘kita tidak akan pernah bisa menemukan solusi jika kita tidak bisa tenang menghadapi masalah’
                
“Lyra, kemari.”
                
Perempuan yang sesenggukan itu beringsut berdiri dari kursi. Dengan gerakan patah-patah karena tenaga dan pikirannya sudah terkuras untuk masalah ini. Lyra menyeka ujung matanya sekali lagi.
                
“Kamu lihat pohon besar itu?”
                
Telunjukku sempurna terangkat, menunjuk ke arah pohon besar yang menaungi ayunan besi yang sudah mulai karatan. Lyra mengikuti arah telunjukku, lalu mengangguk pelan. Bagus, sejauh ini dia masih menjadi ‘bukan Lyra’ yang hatinya lunak. Aku bisa mengatasi ini.
                
“Kita sama seperti pohon, Lyra. Sekarang, anggap saja kamu adalah pohon ringkih yang kecil, kering, dan baru tumbuh. Pohon yang doyong kesana kemari. Mudah goyang kesana goyang kesini tidak punya pendirian. Itu kamu yang sekarang.”
                
Lyra melotot. Aku tidak peduli, kembali melanjutkan.
                
“Kelak pohon itu akan tumbuh. Kokoh. Dipupuk dan disiram dengan baik. Namun kadang, saat musim kemarau, daun-daunnya minggat. Apa daun itu selamanya akan hilang? Tidak. Mereka akan kembali tumbuh. Ini juga sama seperti kamu, Lyra.
                
Sekarang kamu memang lemah, namun dengan bantuan orang-orang di sekitarmu, kamu akan kembali bangkit. Lebih kuat dari sebelumnya. Jika kemarau yang membuat daun-daunnya minggat, masalahlah yang membuat kita kehabisan akal. Namun, setelah masalah selesai, kamu akan kembali kokoh, Lyra.
                
Tidak ada yang selamanya jatuh. Roda pasti menggelinding.”
                
Lyra mendongak menatapku. Ia sedang memahami perkataanku yang bijak tadi. Lebih bijak dari penasehat atahu motivator ulung yang wajahnya sering terpampang pada layar TV atahu halaman depan koran.
                
“Kamu benar, Zaq.”
                
Butuh beberapa detik untuk membuatnya mengerti. Senyumnya merekah, lebih berseri-seri daripada sebelumnya. Aku rasa dia sudah menemukan kepercayaan dirinya lagi, dan siap untuk merencanakan serangan balasan pada Mareen. Laki-laki yang meremas hatinya.
                
Awan-awan semakin menggumpal. Mendung mulai menyelimuti kota. Secepat itu cuaca berubah. Angin memegang peranan penting disini. Ia datangkan berbondong-bondong awan pekat yang mengandung air.
                
Belum sempat Lyra kembali bicara, aku meletakkan telunjukku pada bibirnya.
                
“Tapi, kamu melupakan sesuatu, nak. Bagaimana jika pohon itu ditebang nantinya? Ditebang hingga tidak tersisa apapun. Apa yang akan terjadi? Apa pohon tersebut akan kembali kokoh, rindang, dan bersahaja? Tidak. Dia hancur. Mati.
                
Kamu seperti pohon, Lyra. Untuk saat ini.”
                
Aku mengeluarkan pistol kecil dari saku belakang celanaku. Pistol berkaliber kecil yang suara tembakannya tidak akan membuat berisik. Kutodongkan pistol itu tepat di jantung Lyra. Aku bisa melihat wajah kalut perempuan es itu. Ekspresi meminta pengampunan agar tidak mati.
                
“Zaq?”
                
“Diam. Sangat sulit untuk pura-pura baik denganmu selama bertahun-tahun. Rencana milik Mareen tidak main-main. Dia sudah merencanakan ini matang-matang tepat setelah tahu siapa dalang dibalik kematian ayahnya. Aku adalah informan yang memberi tahunya. Aku informan sekaligus mata-mata di dalam organisasimu. Aku kaki tangannya Mareen.
                
Kamu heran kenapa polisi cepat mengepung tempat persembunyianmu? Saat kalian sibuk mengurus pelebaran jangkauan, orang-orang diorganisasimu terpaku pada titik itu. Lengah. Lalu sibuk terjun pada daerah-daerah. Penjagaan lengah sekali. Aduh, Nona Angkuh, kenapa kamu sebodoh itu?”
                
Perempuan es di depanku menangis, namun matanya nyalang menatap ke arahku. Ada hasrat membunuh di dalam bola matanya yang bulat. Aku terkekeh. Tidak ada gunanya melakukan hal itu. Hatiku lebih dari es. Hatiku serupa golem.
                
Lyra mendesis pelan. Ia meludahi wajahku, lalu menyumpah serapahi. Tidak ada gunanya. Perempuan es itu tidak melawan, karena ia paham betul bagaimana posisinya saat ini. Tidak menguntungkan.
                
“Malam itu, Lyra, kamu tidak benar-benar berhasil kabur. Kami membiarkanmu kabur. Agar permainan ini lebih seru.”
                
Tepat saat hujan mulai turun, tanah lebih dulu menjadi merah. Cairan selain air hujan sudah merembas membasahi tanah.


-Hanifa Muthia Majida-

0 komentar:

Posting Komentar