Zaq (Bagian 1)

                Amboi, kau dengar itu, kawan? Penguasa kegelapan sedang murka. Ia kirimkan pasukan petir untuk bumi. Ayo cepat mengaku, siapa yang melakukan ini padanya? Sungguh, sang penguasa harusnya duduk tenang di kursinya sambil menikmati langit biru. Bukannya meraung sekencang ini. Ayolah, siapa saja, cepatlah mengaku.
                Semalam suntuk mataku terbuka lebar-lebar. Mengawasi siapa saja yang gerak-geriknya mencurigakan. Bahkan tikus yang mencicit di balik pintu terkena pelototan mataku. Kali ini aku tak akan lengah. Bahkan jika ada orang yang menggantikanku, aku tidak akan mau. Ini tugasku untuk menjaga.
                Suara hewan-hewan malam semakin gaduh. Amukan petir sang penguasa baru saja reda. Para penduduk desa sedang pulas tertidur. Memaksakan merapatkan mata walaupun perasaan cemas masih menyelimuti mereka. Kukatakan kepada mereka, semuanya akan baik-baik saja. Maka, mereka patuh dan mencoba tidur dengan suara hewan malam sebagai musik pengantar tidur.
                Aku menyuruh para penduduk berkumpul di satu tempat. Di aula besar di tengah kota yang biasanya digunakan untuk pertemuan besar. Sempat ada yang protes. Bagaimana kita akan aman jika berlindung di tempat yang terlalu terbuka? Bahkan terlalu mencolok. Aku menghela napas. Menjelaskan. Agar tidak saling berpencar. Lebih mudah untuk ku lindungi. Agar tidak ada yang panik dan berlarian. Tidak ada yang tertinggal.
                Akulah sang penjaga. Malam kemarin aku lengah saat aku berjaga. Ada seseorang yang mencuri barang berharga milik penguasa kegelapan. Aku sudah mencoba mencarinya kemana-mana. Di hutan, sungai, tebing, jurang. Hasilnya nihil. Lalu, penguasa kegelapan murka. Ini sebenarnya salahku karena sibuk bercakap dengan bulan. Bulan membual pernah mencium Matahari. Jadilah, aku terpingkal-pingkal bersama Bulan. Aku tertawa karena lucu. Bulan tertawa karena terlalu menyedihkan.
                “Mau sepotong kue, Zaq?”
                Lamunanku tentang cerita Bulan buyar saat seseorang menyentil bahuku pelan. Aku buru-buru menoleh lalu mendapati Biru duduk bersila sambil mengunyah kue. Di tengah kepanikan seperti ini, lihatlah, ia masih bisa bersikap santai. Sama sekali tidak ada guratan cemas di wajahnya.
                “Halo tuan penjaga? Aku tidak sedang berbicara dengan tiang tempatmu bersandar kan? Kau mau atau tidak?”
                Ia menyodorkan sekali lagi kue berbentuk kepala kucing itu. Aku sempat ragu akan rasanya. Mengingat Biru adalah murid yang paling suka membuat gaduh di kelas memasak. Ada-ada saja tingkahnya. Berlagak seperti chef yang mampu mengeluarkan api di wajan—berakhir dengan kompor terbakar—atau mencoba resep baru bikinannya sendiri –dia yang mencicipi langsung muntah.
                Untuk menghargainya, aku mencomot satu, “Tenang. Ini seperti kue kebanyakan. Aku tidak jail kali ini. Makan saja. Aku tau kamu belum memasukkan apa-apa kemulutmu sejak sang penguasa murka.” Biru mengangkat bahu, lalu kembali asyik mengunyah kue bikinannya.
                Melihat Biru yang baik-baik saja setelah memakan kue berbentuk kepala kucing itu, aku membuka mulutku. Lalu perlahan menggigit kue dibagian kepalanya. Aku mengunyahnya perlahan dengan sedikit was-was. Tidak terlalu buruk. Malahan, bisa dibilang ini enak.
                “Bagaimana? Enak kan? Ini yang terjadi kalau aku serius memasak.” Perempuan berambut pendek itu tersenyum sambil menyodorkan lagi beberapa kue untukku.
                Tidak ada percakapan saat kami berdua sibuk mengunyah. Langit perlahan-lahan mulai tenang. Bintang-bintang juga mulai terlihat. Galaksi bima sakti membentang membelah langit. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan.
                Selesai makan, Biru mengemasi kotak makannya. Lalu memasukkannya ke dalam tas jaring miliknya. Dan benar saja, tebakanku benar. Saat mengungsi, ia hanya membawa sekotak makanan. Hanya itu. Orang seperti Biru memang lebih mementingkan makanan. Bisa apa kita tanpa makanan? Berpikir juga macet-macet, kepala pening, habis energi. Begitu katanya.
                Biru menghela napas panjang, “Aku heran dengan sang penguasa. Dua tahun lalu ia datang sendiri ke kota ini untuk mencari seorang penjaga. The Guardian. Ia memilih anak paling tangguh dan memiliki pemikiran yang luas. Sang penguasa memilih kau, Zaq. Saat hari penobatan itu, dan sang penguasa menyematkan tanda pada punggung tanganmu, bukankah sang penguasa benar-benar menaruh kepercayaan padamu?”
                Aku menggaruk kepala, bingung apa yang harus ku lakukan. Samar-samar, aku mengangguk, “Nah, lalu sekarang sang penguasa malah tidak percaya padamu. Ia tidak memberimu kesempatan lagi untuk mencari barang yang hilang itu. Lantas dengan gelap mata ia menyerang kota dengan menghujam petir.” Biru melanjutkan lagi. Nada suaranya terdengar sedih. Mau bagaimana lagi.
                “Biru, aku sedikit mengerti kenapa ia begitu. Barang yang hilang memang sangat berharga. Sebuah leontin. Di dalam leontin itu tersimpan jiwa istrinya yang sudah meninggal.” Aku mengecilkan suaraku. Akan menjadi masalah jika orang lain mendengarnya.
                Kau tidak bergurau, Zaq? Begitu maksud tatapan Biru. Aku mengangguk samar. Tidak ada orang lain yang kuberi tau tentang barang yang hilang itu. Hanya Biru. Ia temanku sejak kami belum bisa berjalan dengan baik. Aku mengenal tabiatnya. Ia bisa dipercaya. Bahkan, ia bisa menjadi orang yang sangat berguna—jika ia serius.
                Bahaya besar jika ada orang lain tau. Leontin itu sangat istimewa. Sang penguasa sangat mencintai istrinya. Saat istrinya meninggal karena suatu penyakit yang menyeramkan, sang penguasa benar-benar terpukul. Maka, ia menyimpan jiwa istrinya ke dalam leontin. Agar ia selalu bisa merasakan kehadirannya. Leontin itu dibuat dengan perasaan sayang.
                Keistimewaannya tidak hanya itu. Leontin itu dapat menghidupkan orang yang mati. Maka, akan terjadi kerusuhan besar jika orang-orang tau leontin itu hilang. Mereka akan berebutan mencarinya. Sebuah bencana.
                Biru menelan ludah, “Kau sudah mencarinya kemana saja, Zaq?”
                Aku menyeka keringat di dahi, “Kau tidak akan percaya. Aku sudah menyusuri hutan, bahkan bagian hutan terlarang, tebing, jurang, hingga ke hulu sungai. Semuanya percuma. Aku bahkan tidak menemukan sebuah petunjuk.” Ada nada pasrah dalam kalimatku.
                Biru bergumam, lalu sibuk memainkan rambutnya. Saat ia melakukan itu, ada dua kemungkinan. Ia sedang berpikir, atau rambutnya kutuan. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku yang sudah berpikir lama sekali saja tidak menemukan petunjuk.
                “Ini masalah yang serius, Zaq. Apalagi jika leontin itu digunakan untuk menghidupkan sesuatu yang sangat berbahaya, bahkan dapat mengancam jiwa penduduk. Akan terjadi bencana yang mengerikan.”
                Aku tau, Biru.
                “Mereka mungkin pencuri yang terlatih. Namun, selalu ada celah dalam setiap kejahatan. Pasti. Kau mungkin belum terlalu memperhatikan. Besok, bawa aku ke istana. Kita cari celah itu. Temukan, lalu buat celah itu menjadi lubang besar yang menganga.”
******
Bersambung. Bagimanakah nasib Zaq dan Biru? Nantikan di kisah mereka selanjutnya.

(Dibuat sambil mendengarkan Audiomachine_Sun and Stars)

0 komentar:

Posting Komentar