Amboi,
kau dengar itu, kawan? Penguasa kegelapan sedang murka. Ia kirimkan pasukan
petir untuk bumi. Ayo cepat mengaku, siapa yang melakukan ini padanya? Sungguh,
sang penguasa harusnya duduk tenang di kursinya sambil menikmati langit biru.
Bukannya meraung sekencang ini. Ayolah, siapa saja, cepatlah mengaku.
Semalam
suntuk mataku terbuka lebar-lebar. Mengawasi siapa saja yang gerak-geriknya
mencurigakan. Bahkan tikus yang mencicit di balik pintu terkena pelototan
mataku. Kali ini aku tak akan lengah. Bahkan jika ada orang yang
menggantikanku, aku tidak akan mau. Ini tugasku untuk menjaga.
Suara
hewan-hewan malam semakin gaduh. Amukan petir sang penguasa baru saja reda.
Para penduduk desa sedang pulas tertidur. Memaksakan merapatkan mata walaupun
perasaan cemas masih menyelimuti mereka. Kukatakan kepada mereka, semuanya akan
baik-baik saja. Maka, mereka patuh dan mencoba tidur dengan suara hewan malam
sebagai musik pengantar tidur.
Aku
menyuruh para penduduk berkumpul di satu tempat. Di aula besar di tengah kota
yang biasanya digunakan untuk pertemuan besar. Sempat ada yang protes.
Bagaimana kita akan aman jika berlindung di tempat yang terlalu terbuka? Bahkan
terlalu mencolok. Aku menghela napas. Menjelaskan. Agar tidak saling berpencar.
Lebih mudah untuk ku lindungi. Agar tidak ada yang panik dan berlarian. Tidak
ada yang tertinggal.
Akulah
sang penjaga. Malam kemarin aku lengah saat aku berjaga. Ada seseorang yang
mencuri barang berharga milik penguasa kegelapan. Aku sudah mencoba mencarinya
kemana-mana. Di hutan, sungai, tebing, jurang. Hasilnya nihil. Lalu, penguasa
kegelapan murka. Ini sebenarnya salahku karena sibuk bercakap dengan bulan.
Bulan membual pernah mencium Matahari. Jadilah, aku terpingkal-pingkal bersama
Bulan. Aku tertawa karena lucu. Bulan tertawa karena terlalu menyedihkan.
“Mau
sepotong kue, Zaq?”
Lamunanku
tentang cerita Bulan buyar saat seseorang menyentil bahuku pelan. Aku buru-buru
menoleh lalu mendapati Biru duduk bersila sambil mengunyah kue. Di tengah
kepanikan seperti ini, lihatlah, ia masih bisa bersikap santai. Sama sekali
tidak ada guratan cemas di wajahnya.
“Halo
tuan penjaga? Aku tidak sedang berbicara dengan tiang tempatmu bersandar kan?
Kau mau atau tidak?”
Ia
menyodorkan sekali lagi kue berbentuk kepala kucing itu. Aku sempat ragu akan
rasanya. Mengingat Biru adalah murid yang paling suka membuat gaduh di kelas
memasak. Ada-ada saja tingkahnya. Berlagak seperti chef yang mampu mengeluarkan api di wajan—berakhir dengan kompor
terbakar—atau mencoba resep baru bikinannya sendiri –dia yang mencicipi
langsung muntah.
Untuk
menghargainya, aku mencomot satu, “Tenang. Ini seperti kue kebanyakan. Aku tidak
jail kali ini. Makan saja. Aku tau kamu belum memasukkan apa-apa kemulutmu
sejak sang penguasa murka.” Biru mengangkat bahu, lalu kembali asyik mengunyah
kue bikinannya.
Melihat
Biru yang baik-baik saja setelah memakan kue berbentuk kepala kucing itu, aku
membuka mulutku. Lalu perlahan menggigit kue dibagian kepalanya. Aku
mengunyahnya perlahan dengan sedikit was-was. Tidak terlalu buruk. Malahan,
bisa dibilang ini enak.
“Bagaimana?
Enak kan? Ini yang terjadi kalau aku serius memasak.” Perempuan berambut pendek
itu tersenyum sambil menyodorkan lagi beberapa kue untukku.
Tidak
ada percakapan saat kami berdua sibuk mengunyah. Langit perlahan-lahan mulai
tenang. Bintang-bintang juga mulai terlihat. Galaksi bima sakti membentang
membelah langit. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan.
Selesai
makan, Biru mengemasi kotak makannya. Lalu memasukkannya ke dalam tas jaring
miliknya. Dan benar saja, tebakanku benar. Saat mengungsi, ia hanya membawa
sekotak makanan. Hanya itu. Orang seperti Biru memang lebih mementingkan
makanan. Bisa apa kita tanpa makanan? Berpikir juga macet-macet, kepala pening,
habis energi. Begitu katanya.
Biru
menghela napas panjang, “Aku heran dengan sang penguasa. Dua tahun lalu ia datang
sendiri ke kota ini untuk mencari seorang penjaga. The Guardian. Ia memilih
anak paling tangguh dan memiliki pemikiran yang luas. Sang penguasa memilih
kau, Zaq. Saat hari penobatan itu, dan sang penguasa menyematkan tanda pada
punggung tanganmu, bukankah sang penguasa benar-benar menaruh kepercayaan
padamu?”
Aku
menggaruk kepala, bingung apa yang harus ku lakukan. Samar-samar, aku
mengangguk, “Nah, lalu sekarang sang penguasa malah tidak percaya padamu. Ia
tidak memberimu kesempatan lagi untuk mencari barang yang hilang itu. Lantas
dengan gelap mata ia menyerang kota dengan menghujam petir.” Biru melanjutkan
lagi. Nada suaranya terdengar sedih. Mau bagaimana lagi.
“Biru,
aku sedikit mengerti kenapa ia begitu. Barang yang hilang memang sangat
berharga. Sebuah leontin. Di dalam leontin itu tersimpan jiwa istrinya yang
sudah meninggal.” Aku mengecilkan suaraku. Akan menjadi masalah jika orang lain
mendengarnya.
Kau tidak bergurau, Zaq? Begitu maksud
tatapan Biru. Aku mengangguk samar. Tidak ada orang lain yang kuberi tau
tentang barang yang hilang itu. Hanya Biru. Ia temanku sejak kami belum bisa
berjalan dengan baik. Aku mengenal tabiatnya. Ia bisa dipercaya. Bahkan, ia
bisa menjadi orang yang sangat berguna—jika ia serius.
Bahaya
besar jika ada orang lain tau. Leontin itu sangat istimewa. Sang penguasa
sangat mencintai istrinya. Saat istrinya meninggal karena suatu penyakit yang
menyeramkan, sang penguasa benar-benar terpukul. Maka, ia menyimpan jiwa
istrinya ke dalam leontin. Agar ia selalu bisa merasakan kehadirannya. Leontin
itu dibuat dengan perasaan sayang.
Keistimewaannya
tidak hanya itu. Leontin itu dapat menghidupkan orang yang mati. Maka, akan
terjadi kerusuhan besar jika orang-orang tau leontin itu hilang. Mereka akan
berebutan mencarinya. Sebuah bencana.
Biru
menelan ludah, “Kau sudah mencarinya kemana saja, Zaq?”
Aku
menyeka keringat di dahi, “Kau tidak akan percaya. Aku sudah menyusuri hutan,
bahkan bagian hutan terlarang, tebing, jurang, hingga ke hulu sungai. Semuanya
percuma. Aku bahkan tidak menemukan sebuah petunjuk.” Ada nada pasrah dalam
kalimatku.
Biru
bergumam, lalu sibuk memainkan rambutnya. Saat ia melakukan itu, ada dua
kemungkinan. Ia sedang berpikir, atau rambutnya kutuan. Ia menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku yang sudah
berpikir lama sekali saja tidak menemukan petunjuk.
“Ini
masalah yang serius, Zaq. Apalagi jika leontin itu digunakan untuk menghidupkan
sesuatu yang sangat berbahaya, bahkan dapat mengancam jiwa penduduk. Akan
terjadi bencana yang mengerikan.”
Aku
tau, Biru.
“Mereka
mungkin pencuri yang terlatih. Namun, selalu ada celah dalam setiap kejahatan.
Pasti. Kau mungkin belum terlalu memperhatikan. Besok, bawa aku ke istana. Kita
cari celah itu. Temukan, lalu buat celah itu menjadi lubang besar yang menganga.”
******
Bersambung.
Bagimanakah nasib Zaq dan Biru? Nantikan di kisah mereka selanjutnya.
(Dibuat sambil mendengarkan
Audiomachine_Sun and Stars)
0 komentar:
Posting Komentar