Aku tau
benar, kawan. Tentang perihal jangan pernah takut akan kematian. Aku tau
persis. Bahkan guru agama yang gonta-ganti semenjak kita SMP , selalu mengingatkan itu. Jangan kira aku tak
dapat mengingatnya.
Tapi,
perkataanmu tempo lalu, tepatnya kemarin siang, membuatku ingin memukul wajahmu
dengan buku setebal 560 halaman yang sedang kubaca. Ingin sekali. Namun,
sayangnya, orang yang mengatakan itu adalah kau. Coba saja kalau bukan kau,
buku tebalku ini sudah mendarat telak di tengah wajahmu. Menyisakan nyeri di
hidung.
Jangan
pernah katakan kalau kau ingin mati. Jangan katakan. Sekalipun. Jangan pernah
takut akan kematian bukan berarti berharap ingin cepat mati. Dan lihat, apa
yang selama ini kau lakukan. Sibuk bertanya kesana kemari seperti apa rasanya
mati, seperti apa rasanya ditusuk pisau. Sibuk pula menerka-nerka berapa
umurmu, bahkan dengan mantap mengatakan kalau umurmu tak akan pernah mencapai
angka 50.
Apa kau
tidak sayang pada hari-harimu yang terlewat begitu saja karena kau terlalu
sibuk dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaanmu sendiri? Daripada sibuk
merutuki masa lalu dan menyimpulkan berapa lama kau hidup, lebih baik kau
keluar. Melihat dunia. Ada banyak kejadian yang terjadi saat kau sibuk
menundukkan kepala, merenung namun selalu berputar-putar pada kesimpulan yang
sama, lalu kembali mengutuk masa lalu.
Aku tau
masa lalu mu itu terlalu pekat. Aku tau. Karena hari itu, aku juga ada disitu.
Walaupun aku hanya sekilas menjabat tanganmu, menatap lekat-lekat wajah datarmu
yang menyembunyikan segepok duka yang kau pikul sendiri. Jangan kau kira aku
lupa.
Namun,
kau sama seperti aku yang berlari pada lorong waktu. Berlari mundur kebelakang.
Asyik menikmati bingkai-bingkai memori yang terpajang apik pada dinding lorong.
Saking sibuknya, sampai melupakan waktu dimana seharusnya kita berada. Kita
menyelam kembali ke masa lalu, kembali memahami dengan lebih baik, namun tak
sadar bahwa kita kehilangan waktu-waktu terbaik pada masa kini. Kita abai.
Ada
pepatah yang bilang, kesedihan sebanding
dengan kebahagiaan. Lalu, kau juga pasti bisa bahagia. Jangan berkata kalau
kau dikutuk oleh masa lalu. Jangan berkata kalau umurmu akan berakhir sebelum
mencapai angka 50. Kau berhak bahagia. Alasan kenapa kau masih belum
benar-benar bahagia adalah, kau menolak kehadiarannya. Kau tetap terkungkung
pada sedihmu. Enggan keluar. Pemikiranmu sendiri yang menjadi tembok
penghalang. Bisakah kau, mulai sekarang, berpikir lebih positif, kawan?
0 komentar:
Posting Komentar