Hari
ini seperti biasanya. Matahari masih naik ke atas horizon bagian timur,
pedagang koran keliling masih sibuk melempar koran ke halaman rumah, suara kring kring bel sepeda anak sekolahan
mulai sering terdengar pukul setengah tujuh, dan perlahan kota mulai bangun.
Tidak
ada yang salah dengan hari ini maupun kota kecil yang sumpek ini. Yang salah
adalah aku. Pagi ini aku tidak menyeduh teh hangat, atau bercakap ringan dengan tetangga. Aku
hanya menghabiskan waktu di tempat tidur dengan selimut yang membalut badanku.
Suara lagu-lagu lawas mengalir melalui iPad yang tergeletak di atas meja
belajar. Aku ingin begini dulu barang sebentar.
Kertas-kertas
berserakan di lantai kamar. Ah, biarkan saja dulu. Toh aku tidak merasa
terganggu. Cat air, kuas, dan palet juga berserakan di atas meja belajar.
Kemarin malam aku hanya membongkar mereka dari kotak cokelat—tempat alat-alat
menggambarku—Aku membersihkan mereka dari debu. Niatnya memang ingin melukis,
tapi idenya menguap.
Gerung
suara AC mengisi langit-langit kamar. Sudah lima hari aku begini.
Uring-uringan. Seperti ada yang hilang, namun aku tak tau apa itu. Seperti ada
yang terlupakan, namun aku tak kunjung mengingatnya. Seperti ada yang terlepas,
namun aku tak juga kembali merengkuhnya.
Sering
aku terisak. Entah menangisi apa. Padahal tidak ada yang meninggal, tidak ada
pula yang kecelakaan, aku juga tidak putus cinta. Lalu kenapa? Aku bertanya
pada hatiku sendiri. Berdamai dengannya, namun ia menolak mentah-mentah. Hatiku
bungkam. Ia berbicara melalui air mata yang aku sendiri tak tau kenapa turun.
Subuh
tadi aku juga terisak. Pelan sampai tak bersuara. Ada perasaan sedih yang
bersembunyi dalam bilik hatiku. Sedih karena apa? Tidak tau.
Ponselku
berdering. Aku mengambilnya dari bawah bantal, lalu memicingkan mata. Siapa
pula yang mengirim pesan sepagi ini? Aku tersenyum samar. Ini dari kawanku yang
ngotot mengajak menonton karnaval. Aku mengetik balasan, menolak ikut. Namun ia
bersikeras. Apapun jawabanku, ia akan tetap membawaku ikut.
Siangnya,
aku benar-benar dibonceng kawanku untuk pergi melihat karnaval, ia sempat
bertanya padaku. Tentang kondisiku. Lebih tepatnya tentang perasaanku karena
secara fisik, aku memang sehat.
“Kamu
kenapa, Na?” Ia menoleh sekilas ke arah belakang, lalu pandangannya kembali
fokus ke jalanan. Namanya Ben. Umurnya lima bulan lebih muda daripadaku, namun
pemikirannya lebih dewasa ketimbang aku.
Aku
menggeleng. Sadar kalau ia tak bisa melihat gelengan kepalaku, aku memberi
tanda ‘baik-baik saja’ dengan tanganku yang maju kedepan sambil mengangkat
jempolku. Aku baik. Memangnya aku kenapa?
Ia
berdecak, lalu menoleh lagi sebentar, “Kalau kamu tidak kenapa-kenapa, lalu
sikap uring-uringanmu itu maksudnya apa?”
Aku
membiarkan pertanyaannya mengambang begitu saja sampai motornya merapat ke
pinggir jalan yang lumayan sepi. Lalu kami berjalan sebentar mencari tempat
menonton yang pas. Di depan toko kelontong. Disini kami akan menonton karnaval
yang berkeliling di setengah kota. Tokonya tutup. Karyawan serta pemiliknya
memilih menggelar tikar sambil menunggu rombongan karnaval lewat.
Gelak
tawa anak kecil memenuhi atmosfer. Karnaval memang selalu lekat dengan hal-hal
seperti ini. Pedagang asongan yang menjajakan minum, penjual balon, anak-anak
kecil yang ramai berlarian kesana-kemari, dan orang-orang yang antusias.
Walaupun sinar matahari menyengat, senyum mereka tetap merekah. Tak mau kalah
dengan sinar matahari.
Ben
berdiri di sebelahku dengan tidak banyak bicara. Ia teman baikku sejak awal
masuk SMA. Jadi ia hapal betul tabiatku selama ini. Jika aku dalam kondisi
seperti ini, lebih baik jangan di ajak bicara. Karena perkataannya hanya akan
dijawab oleh angin.
“Memangnya
aku kenapa, Ben?” Aku yang pertama kali membuka percakapan. Tidak menjawab
pertanyaan miliknya. Aku bertanya hal itu sekaligus untuk memastikan diriku
sendiri. Aku ini kenapa?
Laki-laki
berambut cepak di sebelahku hanya menatapku. Lama sekali. Seperti ia hendak
mencari jawaban dari kedua mataku. Ia menghela napas, lalu mengalihkan
pandangannya pada pedagang es teh yang sibuk berkeliling. Sepertinya ia gagal
menemukannya.
“Kamu
belakangan ini aneh, Na. Walaupun biasanya kamu memang aneh. Tapi ‘aneh’ mu
kali ini tidak bisa ditolerir lagi. Kamu uring-uringan, bolos kuliah, jarang
tertawa lepas seperti biasanya, dan aku yakin pasti kamu sering melewatkan
makan. Benar?”
Aku
mengangguk pelan. Selera makanku tersedot oleh perasaan sedih yang aku sendiri
bahkan tidak tau. Sudah kubilang, laki-laki di sebelahku ini, memang tau betul
seperti apa aku. Bahkan saat aku sendiri tidak tau aku ini kenapa, ia malah tau
kalau ada apa-apa denganku.
Ia
melanjutkan, “Kapanpun kamu mau cerita, akan ku dengarkan. Walaupun katamu,
saranku hanya ada dua jenis. Kalau tidak sesat, ya bikin ketawa.” Aku hanya
mengangguk. Lagi.
Rombongan
karnaval mulai terlihat di kelokan jalan. Kelompk-kelompok marching band dari seluruh
SMA di kota mulai beraksi di jalanan. Karnaval setiap tanggal 17 Agustus ini
juga merangkap lomba marching band
antar SMA.
Barisan
penonton mulai merengsek maju. Aku beberapa kali terdesak, lalu Ben cepat-cepat
meraih tanganku. Berharap tubuh ringkihku tidak terseret keramaian, lalu aku
tertinggal sendirian.
Sebenarnya
ini cukup menyenangkan. Melihat kekompakan mereka dalam bermain alat musik,
tiupan pianika yang khas, pukulan snare dan bass yang mantap, suara terompet
dan euphonium yang menyembul satu-dua kali sebagai pelengkap, suara ting ting bellyra yang anggun, lenggok
badan para mayoret yang tubuhnya semampai, dan kibaran bendera yang disertai
sedikit atraksi.
Ragaku
ada disini. Tapi pikiranku melancong entah kemana. Mataku tidak benar-benar
tertuju pada kelompok-kelompok marching
band yang lewat. Walaupun badanku terseret beberapa kali, dan lagi-lagi
tanganku ditarik oleh Ben, aku tetap tidak benar-benar menonton.
Mataku
sibuk berkeliaran di barisan para penonton. Pada sela-sela tubuh orang-orang
yang berdesakan, anak-anak kecil yang bersorak riang dengan sebelah tangan
menggandeng lengan ibunya, anak-anak remaja yang sibuk berselfie di pinggir jalan. Aku mengamati setiap orang. Berharap
kalau-kalau ada satu wajah yang kukenali. Yang masih kukenali. Menyembul dari
balik kerumunan penonton, atau tiba-tiba menyeruak ke barisan penonton dengan
tawa khas yang kuhapal dengan baik.
Aku
sedang mencari sosoknya.
Belakangan
ini aku memang mencari kehadirannya. Pada keramaian lalu lintas, ku sempatkan
menengok ke kanan atau ke kiri saat aku dibonceng. Pada saat hujan dan orang-orang
sibuk menghindari tetes-tetes air, aku mengamati wajah-wajah yang mendengus
sebal itu. Pada saat berjalan di lingkungan kampus, lari pagi, bahkan sekarang
aku mencarinya dalam kerumunan karnaval.
Aku
berharap dapat melihatnya lagi. Ingin sekali. Saat bertemu lagi nantinya, akan
aku rekam baik-baik seperti apa senyumnya. Akan aku jaga ingatan itu. Hingga
tidak akan terlepas lagi.
“Na?
Na? Kenapa melamun?”
Ben
menepuk pundakku beberapa kali. Aku menoleh ke arahnya dengan tidak mengatakan
apa-apa. Lamunanku buyar. Digantikan lagi dengan suara ramai, dan pemandangan
di depanku. Ben.
Aku
menggeleng, lalu menepis tangannya yang masih berada pada pundakku. Ia teman
yang baik. Bahkan di sela-sela kesibukannya kuliah, ia menemaniku menonton
karnaval. Dengan harapan dengan melihat ini,wajahku kembali cerah.
“Mau
pulang saja? Wajahmu pucat.”
Aku
tidak menjawab tawarannya. Tapi demi melihat wajahku yang pucat, ia menarik
tanganku menjauh dari kerumunan. Kembali ke tempat motornya diparkir. Aku
menurut saja, mengekor di belakanganya tanpa banyak protes.
Ia
menyerahkan helm putih milikku. Ini akhirnya. Pulang. Dengan tidak merubah
apapun.
“Na,
maaf karena aku memaksamu ikut. Aku hanya berharap kamu merasa lebih baik.”
Aku
tersenyum samar. Senyum kedua hari ini, “nggak apa. Aku sedikit senang. Ini
lebih baik daripada melihat pemadangan kamar yang isinya kertas semua.”
Sebenarnya,
aku sedang melempar lelucon. Sekedar membuat dirinya merasa tenang kalau aku
sedikit lebih baik. Bukannya tersenyum atau apa, Ben malah menatapku tajam.
Mungkin leluconku yang basi atau memang ia sadar kalau aku sedang memaksakan
diri.
Ben
memakai helmnya, “Kamu tau, Na, sebenarnya aku tau apa yang membuatmu begini.
Kamu merindukannya.”
******
Aku
menghela napas saat motor Ben menghilang dari pandangan. Ia benar. Belakangan
aku merasa ada sesuatu yang hilang. Itu adalah ‘dia’. Seringkali, bahkan saban
hari, aku mencari sosoknya. Dibalik kokohnya bangunan, rintik hujan yang jatuh,
lalu lintas yang padat, hilir-mudik orang-orang, bahkan pada keramaian yang
menyesakkan sekalipun.
Aku
berharap dapat menemukan serpihan-serpihan dirinya. Ah, bukan. Aku berharap
dapat menggali ingatan tentang hari-hari emas itu. Namun, ia tidak akan datang
lagi ke kota sumpek ini. Tidak lagi.
Yang
hilang, pasti terganti. Namun, ia tidak hilang. Ia berlalu. Kau tau,
orang-orang datang dan pergi. Namun ia tetap tinggal dalam hatiku, tidak pergi.
Hanya saja ia sudah berlalu. Perasaanku masih. Berlalu itu maksudnya, ia sudah
menjadi bagian masa lalu. Ia tidak hilang ataupun pergi, jadinya ia tak
tergantikan.
Belakangan
aku mencari yang seperti dia. Namun yang kutemukan hanya bayang-bayangnya saja.
*****************
03 Desember 2016. Terinspirasi saat mikirin orang di kelas tadi siang. Si Tuan Teduh tukang
gombal dadakan kayak tahu bulat. Sudah kubilang, selalu ada cerita disela-sela
dirinya. Atau, aku yang terlalu banyak berpikir tentangnya? Yaah, tak masalah.
Aku juga tidak peduli kalau dua-daunya terjadi. Memangnya siapa yang peduli
kalau itu terjadi? Cerita ini terinspirasi juga dari obrolan tak masuk akal
malam-malam bersama temanku, Beno, yang namanya kupinjam jadi nama tokoh. Haha.
Awanya aku curhat, namun berakhir dengan drama ‘Roma dan Ani’. Aku jadi
Roma. Dia jadi Ani. Hei, peran kita terbalik, kawan. Namun, aku tau drama
itu hanya sebuah cara agar aku tertawa dan melupakan masalahku.
0 komentar:
Posting Komentar