Yang Terdalam

                Sebenarnya, ini yang aku mau, bukan? Liburan panjang tanpa terjerat materi, tidur, malas-malasan seharian, membaca tumpukan buku di rak yang sebelumnya teronggok setelah dibeli, menonton film sampai larut malam, memutar lagu-lagu lawas. Tapi, seperti ada yang hilang.
                Pernah terbesit pikiran seperti ini? ‘Saat libur pengennya masuk, pas masuk malah pengen libur’ Itu benar-benar manusiawi. Sifat manusia paling mendasar. Tidak pernah puas. Tidak merasa cukup. Selalu meminta lebih, padahal yang dimiliki sudah lebih dari apa yang diminta.
                Yang hilang itu, kebiasaanku belajar. Haha. Aku menjadi manusia paling pemalas dirumah saat liburan. Seperti bentuk balas dendam terhadap hari-hari yang lalu. Isinya belajar, mengubek-ubek rumus. Sampai-sampai Zaq bilang, aku ‘kebo’. Hei, hei, sesama pemalas, lebih baik kita berdamai. Setuju?
                Karena terlalu banyak uring-uringan dikamar dan pemandangan hanya langit-langit kamar saat mendongak, aku jadi memikirkan macam-macam. Tentang apa saja. Mungkin jika selama ini aku berlari dalam hidup, kali ini aku berhenti berlari, diam, merenung. Bahkan orang seperti aku, bisa merenung juga. Entah penting atau tidak. Relatif.
                Sebenarnya ini hal-hal klise. Klise. Aku mungkin bukan penulis yang baik. Seringkali ada yang tercecer, lesap, tanpa sempat menjadi frasa. Aku mungkin manusia paling munafik. Menulis dengan bijak, menuturkan dengan baik, nasihat-nasihat, bahkan sajak-sajak itu. Tapi, aku sendiri tidak seperti itu. Aku bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan milikku sendiri. Walaupun di dalam tulisanku, aku teramat bijak.
                Tempo lalu, aku juga melontarkan pertanyaan klise. Seperti, apa aku ini orang yang membosankan? Apa yang orang-orang suka dariku? Kenapa aku tidak bisa menjadi seperti mereka, yang dikelilingi banyak orang? Kenapa aku tidak mampu menjadi seperti mereka yang mudah mengutarakan sesuatu? Kenapa begini, kenapa begitu. Seperti ada konspirasi tersendiri di dalam ‘aku’
                Aku punya alasan kenapa pertanyaan klise itu muncul. Alasannya tentu saja, keadaanku. Aku sendiri. Apa yang menurut mereka menarik, tidak menarik untukku. Apa yang menurutku menarik, tidak menarik bagi mereka. Menarik atau tidak memang relatif. Tapi, bukankah ada ‘menarik’ yang mampu disetujui banyak orang? Lantas, dari sekian banyak, kenapa ‘menarik’ milikku hanya segelintir yang setuju? Sayangnya, ‘segelintir’ itu hanya jarang di lingkunganku. Jadilah, aku bertanya, apakah aku membosankan? Lalu pertanyaan-pertanyaan lainnya mengekor.
                Lalu kenapa tidak mengikuti selera mereka? Tidak usah.
                Hidup itu seperti bunga yang merekah. Merekah lalu redup secara perlahan. Sebelum kita melewatkan masa ‘merekah’, lebih baik kita bersyukur akan apa yang ada. Kita tidak akan pernah bahagia secara pasti jika bersyukur saja tak mampu. Sibuk memikirkan kenapa begini, kenapa begitu, seandainya begini, misalnya begini.
                Maka, aku memutuskan meninggalkan pertanyaan-pertanyaan itu. Memilih bersyukur dengan diriku sendiri. Berdamai dengan hati. Meredam pertanyaan yang membuat diri sendiri semakin ciut.
                Itu tadi renungan yang pertama. Ini yang kedua.
                Manusia itu dinamis. Baik perasaan maupun fisik. Semuanya bisa tiba-tiba berubah, terutama perasaan. Seperti ‘booff’ lalu segalanya berubah. Memudar. Hilang. Lesap.
                Maka, aku takut dengan diriku di masa depan. Aku takut bagaimana aku berubah nantinya. Jadi, kuredam rasa takutku dengan menulis. Di dalam tulisan, aku abadi. Kita abadi. Bisa saja waktu membuat apa-apa saja tertinggal. Terpukul mundur hingga terpojok. Tapi, akan ku rengkuh mereka semua ke dalam tulisanku. Erat. Hingga tidak ada yang terlupakan lagi. Itu salah satu alasan kenapa aku tetap menulis.
                Aku menyisipkan sedikit jiwaku kedalam tulisan. Saat kau membacanya, kau bisa rasakan. Ada aku. Aku memang mendekam di dalam kamar, di rumah, atau di kota kecil ini yang sumpek. Tapi, aku bisa kemanapun aku mau tanpa harus keluar. Tulisanku sampai pada mereka. Walaupun ragaku masih berkutat dengan sumpeknya kota.
                Itu tadi yang kedua. Sekarang ketiga. Sebenarnya ini hanya cerita kecil yang kutulis untuk meramaikan 30 hari menulis. Tentu saja, buku cokelat yang berisi kumpulan sajakku itu mendadak terlalu sering dibuka. Sedikit tentang buku cokelat. Buku ini belum pernah kuberikan kepada siapapun. Aku tidak membiarkan orang lain membacanya. Aku hanya untuk diriku sendiri.
                “Selalu menyenangkan saat menceritakan bagaimana kita bertemu. Perkenalan itu walaupun kadang tidak semulus yang diperkirakan, tetap saja, akhirnya membawa bahagia. Namun, saat mulut mengambil alih, berkhianat pada diri sendiri, dan hendak menceritakan pula tentang perpisahan, kita kesal setengah mati. Kita enggan membahasnya. Memilih bungkam dan menyimpan kisah masing-masing tanpa perlu dicampuri. Perpisahan membawa duka. Tidak ada manusia yang tidak membenci duka. Menoreh luka, membuat yang lama kembali mengangga, perih tak lekas pulih.
                Kau tau kenapa menjadi begitu perih? Kau tau kenapa saat perpisahan itu selalu menurunkan hujan di hati? Karena ironis, nak. Ironis. Seseorang yang dulunya membuat bahagia, di lain sisi, membuat kita terluka. Mungkin ada sedikit bentuk penyesalan kenapa orang ini yang dulunya membuat kita rela masih membuka mata saat malam larut hanya untuk bercengkrama.
                Bayangan masa lalu itu, nak, berkelebat tak kenal ampun. Mengendap di ranjang, rak buku, lagu-lagu yang kau putar saat bersama, bahkan hatimu. Meneror malam-malam panjang tentang cerita lampau yang usai dengan terpaksa. Lalu, kenyataan turut hadir. Menampar dengan keras sampai ke ulu hati. Berkata lancang kalau semua itu sudah lesap. Sekarang hanya ada engkau yang memeluk bayang-bayang.
                Masa lalu mengekor karena kau enggan berdamai dengan hatimu. Masa kini berbalik, tidak peduli. Masa depan bisa jadi berserakan entah kemana. Kau kini sendiri”
*****

21 Desember 2016, pukul 09:17. Tulisan sebagai sarana pelampiasan disaat tidak ada lagi telinga yang mau mendengarkan perkara klise, sekaligus untuk meramaikan 30hari menulis. Ditulis sambil mendengarkan lagu yang sama. Float_Sementara. Dan berdampak luar biasa. Aku ngantuk. Jangan bilang ku ‘kebo’. Ku ngantuk, bukan kebo. Salam hibernasi.

0 komentar:

Posting Komentar