Pohon

                Kamu lihat pohon rindang di depan sekolah? Dulu saat Ibu masih SMA, pohon itu masih kurus kering, hanya ranting yang ujungnya terdapat daun. Kalau hujan badai, ia doyong kesana kemari. Kalau musim kemarau, daunnya minggat.
                Dulu, karena ia rajin dipupuk dan di ikat dengan tonggak agar tak roboh saat badai, ia perlahan tumbuh. Sekarang, ia kokoh, bukan? Ia tidak lagi butuh sandaran berupa tonggak. Malahan, banyak orang-orang yang bersandar atau berteduh padanya.
                Kita juga sama seperti pohon itu. Ibu tau kalau kamu akan protes. Bukan sama dalam artian anatomi. Kadang bentuk protesmu, di luar logika ya. Ciri khasmu dari SD memang masih melekat. Padahal tinggimu sekarang sudah jauh melampaui Ibu.
                Bukankah saat kita muda, kita juga sering doyong kesana-kemari? Tidak punya pendirian, masih sering terbawa arus, lemah. Jika pohon punya tonggak untuk menguatkan, kita punya orang-orang di sekitar kita yang menguatkan. Seperti teman-teman, guru, keluarga. Jika pohon di beri pupuk, kita diberi nasihat-nasihat yang kadang malah membuat kita kesal. Tapi, percaya saja, nasihat itu yang akan menguatkan kita nantinya.
                Jika kemarau membuat daun-daunnya minggat, maka, masalah yang membuat kita kehabisan akal. Selalu saja ada masalah. Tapi, masalah tidak pernah muncul melampaui batasan kita. Daun yang gugur, akan kembali. Seperti layaknya kita. Setelah masalah selesai, kita akan kembali berdiri kokoh. Lebih kuat dari sebelumnya.
                Jika pohon bisa bersuara seperti kita, pasti sepanjang jalan, kita dapat mendengar omelan mereka yang panjang tanpa putus-putus. Tentang daun yang habis dimakan ulat, ranting yang patah karena dipanjat, atau jika bagian tubuhnya di tebang. Tetapi Tuhan memilih meniadakan mulutnya. Agar ia bisa menjadi teladan untuk manusia. Untuk jangan terlalu banyak mengeluh.
                Pohon juga mengajarkan untuk selalu bersabar. Ia dengan telaten merawat kuntum bunga, menjaganya hingga mekar sempurna, lalu menunggu dengan khidmat sampai buahnya muncul. Merekah dengan penuh kesabaran.
                Kita tidak perlu menghamburkan uang untuk mengundang motivator, berkonsultasi pada guru BK yang malah berujung di marahi, atau bercerita kepada teman namun akhirnya bocor. Kadang, hal-hal di sekitar kita mampu memberi nasihat. Yang harus kita lakukan hanya, menganggap mereka ada, dan menyadarinya.
                Bagaimana kita akan menemukan sesuatu yang berharga dari sebuah hal, jika kita tak pernah peduli?
                Sekarang, ayo bangkit. Masa SMA memang masa-masa labil. Seperti pohon yang doyong itu. Tidak apa-apa jika kamu masih sering berloncat-loncatan pada banyak hati, ikut kesana-kemari karena tidak tau mana yang sebenarnya diinginkan, atau bersikukuh dengan pendapat pribadi. Kelak, kamu akan mengerti. Perubahan-perubahan itu yang membuatmu sadar.
                Dulu Ibu juga anak ingusan. Tidak mau belajar pelajaran sekolah. Berangkat sekolah hanya sebagai syarat, lalu di kelas, Ibu hanya sibuk membuat sajak, atau kabur ke perpustakaan. Alhasil, nilai Ibu anjlok. Ibu juga masih tidak peduli. Tapi, lambat laun, ketika Ibu mulai bisa mengerti, Ibu akhirnya meninggalkan kebiasaan itu.
                Manusia itu dinamis. Tidak ada yang pasti dalam diri manusia. Semuanya dapat berubah dalam hitungan detik. Sedih, marah, kesal, senang, tertawa, jatuh cinta, malas, atau apapun itu. Tidak perlu khawatir akan itu.Kita hanya seperti musim. Namun, lebih banyak ‘musim’ daripada benua Eropa.
******

Mungkin, ya, kalo aku jadi ibu-ibu, aku bakal ceramahin anak panjang lebar. Haha. Tapi kualitas harus tetap dijaga. Dibuat sambil mendengarkan Float_Sementara. Dibuat sekalian untuk meramaikan 30hari menulis. Ini tanggal 15 Desember 2016.

0 komentar:

Posting Komentar