Maka,
akan ku rengkuh kau ke dalam aksaraku.
Kemarin
ada yang bilang, pena itu mampu menikammu. Lebih sakit daripada belati.
Katanya. Maka, sastra yang bertugas membunuh. Kemudian. Namun, sepertinya aku
gagal menikam seseorang. Aku malah menggunakan pena sebagai jembatan. Menuju
apapun. Yang aku mau. Ke dalam aksara. Terbebas dari hiu lapar dibawah sana.
Terbebas dari jurang yang tak nampak dasarnya.
Maka,
akan ku abadikan kau ke dalam aksaraku.
Hei,
hei, siapa bilang menulis diary hanya untuk bualan? Bukan jamannya lagi,
katanya. Itu katanya. Tapi, jika ia menulis yang bukan tentang dirinya,
sebenarnya ia sedang menyimpan rapat memorinya. Agar tidak satupun lepas,
tergelincir, lalu menghilang bersamaan dengan hiruk-pikuk.
Maka, dalam aksaraku, aku abadi,
kau abadi.
Ditilik dari paragraf di atas,
di atasnya lagi, bisa dikatakan, aku abadi. Aku mungkin akan lenyap seperti tak
pernah ada. Tapi, coba kau baca tulisanku saat aku tiada nanti, bukankah, itu
sebuah bukti aku pernah hidup? Bukankah, tulisan itu bukti aku masih hidup?
Adalah kita, yang hidup dengan
menunggu kekalahan. Percayalah, di dalam aksaraku, kita abadi. Tidak ada yang
mampu melenyapkan mereka. Kecuali, aku tidak pernah menulisnya. Jadi biarkan
aku tetap menulis yang bukan tentang diriku.
Biarkan aku kembali mencipkan
ruang dimana segalanya akan tetap hidup.
Di dalam aksara
Dalam sajak.
Purwodadi, 11 Desember 2016
Untuk: Siapa saja yang namanya terselip dalam sajakku
0 komentar:
Posting Komentar