Bersama Langit, Aku Mengenangmu

                Kamu masih menulis? Aku masih. Kamu masih sering baca tulisanku? Tidak pernah lagi, mungkin. Bagaimana kabar para huruf yang harusnya kau tulis namun urung? Bagaimana project besar-besaranmu dulu? Sibuk apa sekarang? Apa aku berhasil melampauimu? Belum, kurasa.
                Aku menghela napas panjang. Langit semakin pekat. Angin sekali dua kali menerpa pucuk pohon. Aku tiduran tanpa alas di halaman samping rumah. Percayalah, langit benar-benar berkuasa disini. Membius siapapun yang mendongak. Termasuk aku.
                Kamu masih rajin bernyanyi? Katamu dulu, kamu ingin menyaingiku. Apa kamu tau, aku semakin mahir dibidang itu. Tentu saja, aku masih berlatih diam-diam. Kamu masih ingat suaraku saat bernyanyi ketika SMP? Aku sudah berlari kencang semenjak itu. Aku bisa vibra sekarang. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa-bisanya aku punya vibra. Kata temanku, itu karena efek sering bernyanyi. Menurutmu bagaimana, kawan?
                Aku perempuan yang mencintai langit. Tapi panggilan ‘Astro’ sudah tidak melekat lagi padaku. Juga panggilan-panggilan lainnya. Mereka raib. Tidak ada lagi yang memanggilku Astro, Astor, Astrogirl, Anif, Rare, Smart Koala, Nifa, An, Hacchi, Kak Han, Rinko, Pus. Tidak ada lagi orang-orang yang pertama kali memanggilku seperti itu. Mereka berlalu.
                Nama panggilanku tidak sebanyak dulu lagi, kawan. Sekarang hanya Alin, Majida, Han, Muti. Hanya keluargaku dan Vian yang berani memanggilku Alin. Asal usul nama Alin sedikit mengganggu, sebenarnya. Saat itu aku hendak pergi, tapi diluar hujan. Aku memutuskan memakai jas hujan yang benar-benar kebesaran. Lalu dengan polosnya mengenakan helm milik bapak karena helmku dipakai Ibu.
                Bapak yang melihatku langsung tertawa. Siapapun juga pasti akan tertawa. Aku yang kecil, mengenakan jas hujan yang gombreng lengannya dan celananya yang harus dilipat berkali-kali dibagian bawah agar tidak menyentuh tanah.
                “Mau kemana, mbak Alin?”
                “Alin siapa, bapak?”
                “Kamu, Alin. Kalo bapak manggil ‘astronot’ ke kamu, mana ada astronot jalan pake jas hujan kebesaran? Jadi ‘Alin’ aja. Dari kata ‘Alien’. Kan pas.”
                Baiklah, langit sore ini benar-benar mengirim memori lama agar terputar kembali. Baik, aku tidak menolaknya.
                Kawan, aku masih rela-rela saja kalau bapakku atau kakakku berteriak memanggilku dengan julukan itu. Tapi Vian? Manusia kurus itu selalu tertawa mengejek setiap kali memanggilku dengan itu. Ah, cerita mengenai kenapa Vian bisa tau julukanku. Vian itu adik laki-laki dari temannya kakakku. Dan sialnya, kakakku adalah orang yang sangat suka bercerita. Jadilah, Vian mengetahuinya. Sejak aku SD kelas 6, aku sudah mengenalnya. Namun, kami benar-benar berteman saat SMA ini.
                Kamu ingat tidak? Saat aku bercerita tentang Ryouta. Tempo lalu aku mengiriminya pesan. Dia benar-benar mengabaikanku. Padahal dulu aku yang marah-marah, lantas sekarang, kenapa justru aku kembali menyapanya? Diluar kebohongan yang dia ciptakan, sebenarnya dia anak yang baik. Pendengar yang luar biasa. Kamu ingat saat perpisahan SMP? Kamu ingat tentang Sesepuh? Kamu ingat saat eyangku sakit di rumah sakit? Saat aku sedih, Ryouta benar-benar menemaniku. Walaupun hanya lewat dunia maya. Semalam suntuk kami bercerita tentang apa saja sampai pagi.
                Aku kehilangan banyak orang. Namun aku juga menemukan banyak orang. Orang-orang yang dari dulu sampai sekarang masih berhubungan denganku hanya Nisa, Fau, Hi-Chan, Ivonne, Hanief, Dimzy, Delvi, Ifa, May, Ricchan. Selebihnya entah mereka ada dimana. Aku rindu, kawan. Sangat.
                Aku menghela napas sekali lagi. Awan-awan mulai berarak ke arah timur. Sinar matahari perlahan menyembul dari balik awan. Angin sepoi masih mengenai pucuk pohon. Suara tertawa milik anak-anak yang bermain di depan rumah terdengar hingga sini.
                Kamu ingat, saat Sesepuh membuat jadwal tidur untukku? Sungguh, itu jadwal yang menakjubkan. Aku benar-benar patuh pada jadwal itu. Dia sendiri yang bilang, kebanyakan tidur atau kekurangan tidur adalah sesuatu yang buruk untuk dilakukan. Bahkan saat aku telat bangun dari jam tidur yang sudah ditentukan, ia akan membangunkanku.
                Ah, aku belum pernah cerita padamu, ya. Tentang Sesepuh yang mengatakan ‘suka’ padaku. Dia bilang, aku rare, pendek. Halo? Aku sendiri benci kenapa aku pendek, nah ini, ada orang yang suka karena aku pendek. Dia bilang, ‘Kalo khawatir nggak bisa ngambil barang di tempat tinggi, kamu bisa minta tolong orang lain’. Tapi, maafkan aku, aku tidak bisa menerima Sesepuh.
                Aku rindu mbak Dila. Guru les privat matematikaku saat SMP. Dia guru sekaligus temanku. Setiap selasa dan kamis, ia akan datang ke rumah. Mengajariku. Disela-sela belajar, aku sering melempar lelucon. Entah lucu atau tidak, dia seringkali tertawa. Mbak Dila orang yang sabar. Bahkan saat aku ketiduranpun, ia tidak marah. Atau saat aku beringsut ke lantai, tiduran sambil mengerjakan soal darinya, ia tetap maklum. Ia penikmat film-film horror, sebenarnya. Benar-benar terbalik denganku yang saat itu suka sekali menonton anime comedy. Aku berharap ia dapat meneruskan kuliahnya.
                Tentu saja, aku juga sangat merindukan Eyang. Rindu sekali. Beliau selalu mengelus kepalaku, selalu berkata ‘selamat belajar selamat meraih cita-cita’ saat aku pamit hendak berangkat sekolah. Eyang selalu tertawa saat Eyang Uti memarahiku karena aku malas makan. Kebiasaan Eyang menonton TV sampai akhirnya beliau tertidur juga, aku sangat merindukan melihat beliau mendengkur sedangkan TV masih menyala.
                Aku rindu memapah Eyang untuk sholat berjamaah di masjid. Aku rindu berlarian memasuki halaman rumahnya. Aku rindu bertanya macam-macam pada beliau. Sungguh, dari semua kehilangan, aku benar-benar kehilangan beliau. Untuk selama-lamanya. Sungguh, aku selalu menangis saat mengingatnya. Eyang, apa kelak aku benar-benar bisa meraih cita-citaku?
                Pertengahan kelas 10. Aku kehilangan satu orang lagi. Syawal. Saat kami putus, dia bilang, kami akan berteman seperti dulu. Kembali seperti dulu tanpa embel-embel ‘pacar’. Tapi, lihat, siapa yang menjauh sekarang? Aku kehilangan dia sebagai temanku. Aku berpikir, temanku berkurang lagi satu.
                Orang-orang datang dan pergi. Ada yang menetap lalu memberi kenangan, berbekas, lalu pergi. Ada yang hanya singgah sebentar tanpa meninggalkan apa-apa. Ada yang lewat begitu saja. Ada yang datang dengan cara baik-baik, ada pula yang datang dengan menyebalkan. Ada yang berakhir dengan tawa, ada yang berakhir dengan sedih.
                Kawan, apa kamu masih membaca tulisanku? Apa kamu membaca ini? Apa kamu membaca sampai kalimat terakhir? Karena kalimat terakhirnya adalah:

                Apa kamu tidak akan kembali lagi? Aku rindu. 

0 komentar:

Posting Komentar