Aku
masygul dari tadi. Al-Quran makin kudekap erat-erat. Pelataran toko kelontong
sepi. Hanya aku yang menunggu hujan reda disini. Seharusnya Harun tidak
mengambil payung biruku tadi. Ah, jika saja. Jika saja aku berani membentaknya
dan merebut payungku dari tangannya yang seenak jidat mengambil barang milik
orang.
Emosiku
masih meluap-luap saat vespa abu-abu bapak merapat. Bapak tersenyum tipis ke
arahku. Aku tetap masygul walaupun sebuah keajaiban datang. Kalau ditilik,
pasti bapak hendak menjemputku karena hujan tidak kunjung reda dan langit
semakin pekat sedangkan aku masih belum berada di rumah.
“Payungmu
kemana, Na?”
Bapak
bertanya sambil menyerahkan bungkusan plastik berisi jas hujan. Aku menerimanya
dengan wajah yang masih ditekuk. Lagi-lagi bapak tersenyum tipis. Sepertinya
beliau sudah tau kemana lenyapnya payung yang sebelum berangkat mengaji ku
taruh di saku samping tas.
“Sepertinya
giliran Kak Eno yang harus mengajarimu.” Bapak terkekeh. Aku tau betul apa
maksud bapak. Tidak ada yang menandingi kegalakan Kak Eno. Sebaliknya, adik
perempuannya malah tidak bisa marah bahkan membentak orang.
Aku
berkata ‘hmm’ pelan sambil menjejalkan Al-Quran ke dalam tas punggung. Aku
membuka bungkusan plastik, menemukan sepasang jas hujan yang biasanya teronggok
di lemari—aku lebih suka memakai payung—lalu mengenakannya.
Jika
jaraknya dekat, dan hujan turun, aku lebih suka menggunakan payung. Tidak
peduli jika tempias air mengenai kaki. Aku suka mendengar bunyi rintik hujan
yang jatuh mengenai payung. Seperti, aku bisa merasakan hujan tanpa perlu basah
kuyub. Itu artinya, tanpa perlu dimarahi oleh Ibu juga.
Hujan
masih terus turun. Saking emosinya, aku bahkan tidak peduli lagi dengan kabar
kali di belakang rumah. Padahal biasanya aku yang paling antusias menengok
keadaannya melalui celah di dinding dapur. Siaga kalau tiba-tiba air kali
meluap.
“Na,
kamu mau pulang, atau masih mau merengut di depan toko kelontong?”
Aku
tersadar dari lamunan, lalu cepat-cepat naik ke jok belakang. Jas hujan sudah
sempurna menutup badanku sampai ujung kepala. Tapi sepertinya ujung jilbabku
tetap akan basah. Tempias air di jalanan aspal mengenai kaki. Dingin.
Sampai
di rumah, aku tetap diam. Sampai akhirnya Kak Eno masuk ke dalam kamarku. Hanya
kakak laki-lakiku yang akan masuk begitu saja. Tanpa salam, tanpa ketuk.
Langsung masuk. Tentu saja, tanpa maaf juga. Dia hanya akan cengar-cengir, lalu
duduk di atas kasurku tanpa rasa bersalah terbesit di wajahnya.
“Pasti
gara-gara Harun lagi, kan?”
Kak Eno
menyilangkan kaki di atas kasurku, lalu bertanya langsung ke pokok. Aku tidak
yakin ia akan memberikan saran atas masalahku. Ia hanya akan menggodaku.
“Ciyee.
Ehem ehem. Harun lagi, Harun lagi. Tidak ada laki-laki lain selain Harun yang
berani mengganggu anak pendiam seperti kamu. Seperti istilah sekarang, apa itu
namanya, ah iya, pdkt.”
Benar,
kan. Ia selalu senang menggodaku. Dan aku akan senang jika aku bisa menyumpal
mulutnya yang sekarang tertawa lebar itu.
“Diam,
Kak.” Aku melempar bantal berbentuk lingkaran tepat ke tengah wajahnya. Kak Eno
menyeringai, tidak jera. Malah semakin menjadi-jadi.
“Hati-hati,
loh. Bisa saja tahun-tahun berikutnya kamu malah jatuh hati sama tukang usil
itu.” Kak Eno tertawa sampai sudut matanya berair. Menertawakan wajahku yang semakin
kesal. Itu benar-benar hal mustahil yang dapat terjadi.
Akan
menjadi keajaiban dunia ke-8 jika itu benar-benar terjadi. Harun yang sering
mengejek rambut panjang sepunggungku sebagai rambut setan, atau dia yang sering
menyerobot PR milikku pagi-pagi buta hanya untuk menyalinnya. Harun yang
begini, Harun yang begitu. Ah, kenapa aku malah memikirkan tentang laki-laki
ceking menyebalkan itu?
Kak Eno
masih nyengir, lalu kembali menggodaku, “Harusnya kamu tidak perlu marah kalau
yang ku katakan itu salah. Kalau kamu marah, apa jangan-jangan perkataanku tadi
benar?”
Aku
bersungut-sungut keluar dari kamar. Malas menanggapinya. Semakin ditanggapi,
semakin senang ia menggodaku nantinya. Juga tidak perlu memikirkan
perkataannya. Kak Eno selalu saja mengatakan udara kosong. Tidak ada arti.
Melompong.
Siapa
pula yang mau jatuh hati pada manusia paling menyebalkan di dunia? Jika ada,
aku akan tertawa terbahak-bahak. Kalau perlu sampai terjungkal-jungkal.
0 komentar:
Posting Komentar