Payung (Bagian 1)

                Aku masygul dari tadi. Al-Quran makin kudekap erat-erat. Pelataran toko kelontong sepi. Hanya aku yang menunggu hujan reda disini. Seharusnya Harun tidak mengambil payung biruku tadi. Ah, jika saja. Jika saja aku berani membentaknya dan merebut payungku dari tangannya yang seenak jidat mengambil barang milik orang.
                Emosiku masih meluap-luap saat vespa abu-abu bapak merapat. Bapak tersenyum tipis ke arahku. Aku tetap masygul walaupun sebuah keajaiban datang. Kalau ditilik, pasti bapak hendak menjemputku karena hujan tidak kunjung reda dan langit semakin pekat sedangkan aku masih belum berada di rumah.
                “Payungmu kemana, Na?”
                Bapak bertanya sambil menyerahkan bungkusan plastik berisi jas hujan. Aku menerimanya dengan wajah yang masih ditekuk. Lagi-lagi bapak tersenyum tipis. Sepertinya beliau sudah tau kemana lenyapnya payung yang sebelum berangkat mengaji ku taruh di saku samping tas.
                “Sepertinya giliran Kak Eno yang harus mengajarimu.” Bapak terkekeh. Aku tau betul apa maksud bapak. Tidak ada yang menandingi kegalakan Kak Eno. Sebaliknya, adik perempuannya malah tidak bisa marah bahkan membentak orang.
                Aku berkata ‘hmm’ pelan sambil menjejalkan Al-Quran ke dalam tas punggung. Aku membuka bungkusan plastik, menemukan sepasang jas hujan yang biasanya teronggok di lemari—aku lebih suka memakai payung—lalu mengenakannya.
                Jika jaraknya dekat, dan hujan turun, aku lebih suka menggunakan payung. Tidak peduli jika tempias air mengenai kaki. Aku suka mendengar bunyi rintik hujan yang jatuh mengenai payung. Seperti, aku bisa merasakan hujan tanpa perlu basah kuyub. Itu artinya, tanpa perlu dimarahi oleh Ibu juga.
                Hujan masih terus turun. Saking emosinya, aku bahkan tidak peduli lagi dengan kabar kali di belakang rumah. Padahal biasanya aku yang paling antusias menengok keadaannya melalui celah di dinding dapur. Siaga kalau tiba-tiba air kali meluap.
                “Na, kamu mau pulang, atau masih mau merengut di depan toko kelontong?”
                Aku tersadar dari lamunan, lalu cepat-cepat naik ke jok belakang. Jas hujan sudah sempurna menutup badanku sampai ujung kepala. Tapi sepertinya ujung jilbabku tetap akan basah. Tempias air di jalanan aspal mengenai kaki. Dingin.
                Sampai di rumah, aku tetap diam. Sampai akhirnya Kak Eno masuk ke dalam kamarku. Hanya kakak laki-lakiku yang akan masuk begitu saja. Tanpa salam, tanpa ketuk. Langsung masuk. Tentu saja, tanpa maaf juga. Dia hanya akan cengar-cengir, lalu duduk di atas kasurku tanpa rasa bersalah terbesit di wajahnya.
                “Pasti gara-gara Harun lagi, kan?”
                Kak Eno menyilangkan kaki di atas kasurku, lalu bertanya langsung ke pokok. Aku tidak yakin ia akan memberikan saran atas masalahku. Ia hanya akan menggodaku.
                “Ciyee. Ehem ehem. Harun lagi, Harun lagi. Tidak ada laki-laki lain selain Harun yang berani mengganggu anak pendiam seperti kamu. Seperti istilah sekarang, apa itu namanya, ah iya, pdkt.”
                Benar, kan. Ia selalu senang menggodaku. Dan aku akan senang jika aku bisa menyumpal mulutnya yang sekarang tertawa lebar itu.
                “Diam, Kak.” Aku melempar bantal berbentuk lingkaran tepat ke tengah wajahnya. Kak Eno menyeringai, tidak jera. Malah semakin menjadi-jadi.
                “Hati-hati, loh. Bisa saja tahun-tahun berikutnya kamu malah jatuh hati sama tukang usil itu.” Kak Eno tertawa sampai sudut matanya berair. Menertawakan wajahku yang semakin kesal. Itu benar-benar hal mustahil yang dapat terjadi.
                Akan menjadi keajaiban dunia ke-8 jika itu benar-benar terjadi. Harun yang sering mengejek rambut panjang sepunggungku sebagai rambut setan, atau dia yang sering menyerobot PR milikku pagi-pagi buta hanya untuk menyalinnya. Harun yang begini, Harun yang begitu. Ah, kenapa aku malah memikirkan tentang laki-laki ceking menyebalkan itu?
                Kak Eno masih nyengir, lalu kembali menggodaku, “Harusnya kamu tidak perlu marah kalau yang ku katakan itu salah. Kalau kamu marah, apa jangan-jangan perkataanku tadi benar?”
                Aku bersungut-sungut keluar dari kamar. Malas menanggapinya. Semakin ditanggapi, semakin senang ia menggodaku nantinya. Juga tidak perlu memikirkan perkataannya. Kak Eno selalu saja mengatakan udara kosong. Tidak ada arti. Melompong.

                Siapa pula yang mau jatuh hati pada manusia paling menyebalkan di dunia? Jika ada, aku akan tertawa terbahak-bahak. Kalau perlu sampai terjungkal-jungkal. 

0 komentar:

Posting Komentar