Kepada Tuhan

                Kalian bahkan tidak tau sekeras apa aku berusaha. Benar,kan? Kalian tidak tau jam tidurku selama sehari, berapa lama aku bersenang-senang atau sekedar menikmati acara TV, pergi jalan-jalan sekedar menghirup udara luar, dan hal-hal seperti itu.
                Dan dengan entengnya kalian bilang, aku manusia yang tidak memiliki kesibukan sama sekali? Kalian tidak sedang melempar lelucon, bukan?
                Di antara jam-jam sibukku mengejar materi pelajaran sekolah, muncul project yang menyebalkan. Yep, menyebalkan dalam artian project itu merepotkan. Kalian memberiku bagian dalam project, dan aku mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.
                Kalian tau, berapa lama aku berlatih? Berapa banyak kegagalan? Seberapa rasa kesalku karena tidak mampu mencapai kata ‘pas’? Kalian tau, seberapa keras usahaku agar hasilnya nanti tidak akan mengecewakan kalian? Sungguh, Tuhan, aku ingin mereka tau.
                Tuhan, aku ingin mereka tau. Katakan.. Katakan pada mereka. Semua.. Semuanya. Tentang aku, buku-buku, not-not yang berlarian, suara-suara yang mengisi malam, sunyinya rumah dan aku lalu mengisinya, senyum sumringahku ketika berhasil untuk pertama kalinya, dan mataku yang berusaha mati-matian menampung air mata. Tuhan, katakan.. Katakan semua. Aku mohon.
                Setelah aku berlatih sekeras itu, setelah semuanya, dan waktu yang terbuang untuk itu, mereka tidak menggunakannya. Mereka tidak menggunakan bagian yang kukerjakan. Tanpa bilang padaku. Tanpa meminta maaf. Tanpa segalanya.
                Mereka berkata tentang ‘menghargai seseorang’ dan tentang ‘pentingnya menghargai’ lalu mengkritik orang-orang jaman sekarang yang mulai susah ‘menghargai’. Mereka berkata juga tentang ‘mengubah sifat-sifat’ dan hal-hal seperti itu. Tapi, Tuhan, kenapa mereka malah menjadi bagian dari ‘orang-orang  jaman sekarang’ itu? Tapi, Tuhan, kenapa mereka malah menghina diri sendiri? Tuhan, semoga mereka tidak terlalu banyak membenci ‘orang-orang jaman sekarang’ itu.
                Mereka terlalu sibuk berfilosofi sampai tak sadar, mereka juga mulai kehilangan sifat ‘menghargai’. Mereka bahkan tidak ‘menghargai’ hal-hal di sekitarnya yang teramat sepele. Mereka tidak ‘menghargai’ usahaku, kehadiranku, dan waktuku.
                Tuhan, aku ingin menangis. Tuhan, aku lelah menjadi yang selalu tersingkir. Tuhan, aku ingin waktuku kembali. Tuhan, apa benar tempatku disini? Apa yang hendak Kau rencanakan? Aku ingin menangis, Tuhan. Sekali.. Sekali saja. Aku ingin menumpahkan semuanya. Tuhan, aku ingin ada orang lain yang tau tentang masalah ini. Tapi pada siapa?
                Tuhan, kalau Kau dengar aku, tolong jawab aku.

                Kalian mungkin berpikir, ‘usaha yang tidak dihargai’ itu sudah biasa. Banyak kejadian serupa di luar sana. Amat banyak. Tapi, kenapa kalian begitu mudah menyimpulkan seperti itu padahal kalian tidak benar-benar berada pada posisi tersebut? Sungguh, sekalipun kalian pernah mengalaminya, tetap saja, rasanya tidak akan sama pada setiap orang. 

0 komentar:

Posting Komentar