Dari Seorang Tua

                Kemarin, di kaki gunung, aku berpapasan dengan seorang tua. Kerut-kerut pada wajahnya adalah bukti kalau waktu telah melewatinya sedemikian rupa. Punggungnya sudah menjadi sabit. Rambutnya putih, giginya pun dapat dihitung dengan jari. Setelah semua perubahan itu, tetap saja ada yang tertinggal.
                Saat itu, bersama dengan rombongan milikku, kami duduk mengitarinya. Seorang tua itu memiliki cerita-cerita semasa hidupnya. Sayang sekali, kan. Cerita-cerita sehebat itu ia pendam sendiri karena tak ada orang yang mau menyempatkan duduk untuk mendengarkan.
                Ia bercerita seperti ia kembali melakukannya lagi. Baru, setelah ia selesai, ia tutup ceritanya dengan cinta.
                “Dari ceritaku yang sebenarnya tanpa ujung karena aku sendiri pun masih hidup, ada hal yang harus kalian ketahui. Aku mungkin hanya orang tua yang tinggal di kaki gunung. Sehari-harinya sibuk bercengkrama dengan angin saat ia pulang. Tapi, biarkan orang tua ini memberi kalian sesuatu yang sekiranya dapat terus kalian ingat.
                “Diantara kalian, tidak lain, ada yang merasakan cinta. Biar orang tua ini perjelas. Cinta tidak datang dari pergaulan yang lama, kedekatan dengan rasa saling mengerti, atau sederet rayuan-rayuan. Tidak. Cinta tidak sedangkal itu. Kalian hanya terbuai oleh waktu saat kalian pikir cinta datang dari pergaulan yang lama dan rasa saling mengerti. Kalian juga terbodohi dengan kata-kata saat cinta datang dari rayuan-rayuan. Kata-kata yang entah dicuri dari mana.
                “Lalu, dimana datangnya cinta? Dari dalam diri kalian. Yang terlihat biasanya saling menipu karena dapat jelas terlihat. Yang tidak terlihat, diselimuti oleh duka, tidak akan mampu menipumu”
                Lalu, bagaimana bisa seorang tua ini mampu menggambarkan cinta dengan itu semua, saat sebelumnya ia bercerita kalau ia belum pernah menikah?
*****

16 Okt 2016. Ditulis saat mendung mulai menyergap, dan listriknya mati. Gelap menyelimuti kamar, hanya layar laptop yang bersinar. Dan ibu dengan santainya tidur di kamarku, tanpa peduli sederas apa nantinya hujan akan datang. 

0 komentar:

Posting Komentar