Aku dan Kakak

     Ini cerita tentang kakakku. Namanya Azima, 20 tahun, penyuka makan. Aku dan dia seperti dua kutub yang berlawanan. Aku kutub utara, dia kutub selatan. Benar-benar berbeda dari tampilan, maupun apa-apa saja yang kami lakukan.
     Saat aku memilih diam untuk meredam marah, atau aku memang tidak banyak bicara,sebaliknya, ia akan langsung berkata panjang lebar. Sekalinya marah, suaranya keras sekali. Seakan hendak menunjukkan pada seisi dunia kalau dia lah yang benar dan tidak seharusnya begitu.
     Namanya Azima, dan ia membenci kucing. Aku tidak begitu. Karena jika aku sedang duduk-duduk di teras rumah, lalu mendapati seekor kucing sedang santai menggelungkan badannya, aku akan membopongnya masuk ke dalam rumah. Entah kucing siapa itu. Dengan dalih karena kasihan, aku membagi makanan kucing peliharaanku. Lalu kakakku yang melihat apa yang kulakukan, ia akan berseru dari tangga, menyuruhku untuk segera mengeluarkan kucing itu.
     Jiwanya adalah jiwa petualang. Ia akan tersenyum puas saat berhasil mendaki gunung. Ia akan bersorak girang saat pergi ke suatu tempat yang sekiranya dia anggap menarik. Lalu, beberapa foto akan memenuhi mail milikku. Dia suka bepergian. Menemukan tempat-tempat baru, lalu menunjukkannya padaku. Seperti hendak mengatakan 'yakin mau terus mendekam di kamar sambil belepotan cat air?' Berbeda dengannya, aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah-di kamar. Aku menggambar, menciptakan sebuah cerita, bernyanyi jika aku ingin, dan membolak-balik buku hingga aku bosan dengan suara kertas yang dibalik.
      Dia pemain bulu tangkis sekaligus pemain futsal andalan di universitas. Badannya yang besar dan tinggi benar-benar mendukung untuk itu. Ia suka olahraga. Bergerak. Aku tidak begitu. Badanku kecil, aku pendek (ini yang orang-orang katakan), dan aku benar-benar payah dalam olahraga. Nilai praktek olahraga di sekolah selalu saja kurang. Boleh saja kalau tentang teori, tapi kalau urusan olahraga, aku angkat tangan.
       Kakakku jago olahraga, aku, bolehlah sedikit sombong, prestasi akademikku masih menolongku untuk mengangkat wajah di depan orang tuaku. Masalahnya, orang tuaku, dua-duanya, adalah guru olahraga. Hanya aku yang payah soal ini. Adikku pemain bulu tangkis juga. Yang satunya lagi, rajin sekali jika ada renang.
        Lewat kata-kata yang kasar namun benar, ia mengutarakan pendapatnya. Ia mengucapkannya begitu saja, tanpa basa-basi. Aku juga tak suka basa-basi, tapi aku mengutarakan pendapat melalui tulisan. Kadang, akulah yang menulis, lalu ia yang akan membacakannya dengan lantang.
        Kakakku mengambil jurusan geografi di UNNES. Ia mempelajari bumi. Tanah, batuan, sungai, dan hal-hal seperti itu. Aku mempelajari astronomi. Hal-hal yang ada di luar angkasa itu. Kata Bapak, 'Kamu langit, kakakmu bumi. Jangan gara-gara beda, kalian sering berantem'
         Ia suka pedas, aku benci pedas. Ia pecinta lagu-lagu slow, aku pecinta lagu-lagu rock dengan pukulan drum yang mantap. Ia penikmat film-film horor, aku membencinya. Ia jagonya kalau menyontek saat ujian, aku tidak pernah. Ia peduli tentang cinta (apalagi kalau urusan dengan Mas Rifa, pacarnya), aku cuek dan 'peduli' ku kepada pacar, tidak pernah secara gamblang ku tunjukkan. Ia pecinta sepatu, aku cukup bahagia dengan sandal jepit (walaupun dia sering merebut paksa sandal itu gara-gara tak cocok dengan acara yang kami hadiri).
         Namanya Azima, 20 tahun, dan ia adalah kakakku. Kutub utara dan selatan, walaupun begitu, tetap saja mereka tetap terhubung. Seperti aku dan kakakku. Kami tetap baik-baik saja walaupun selalu berkebalikan.

0 komentar:

Posting Komentar