Sajakku
adalah aku sendiri. Tidak perlu berbicara, mereka sanggup menjelaskan seperti
apa aku. Yang harus kau lakukan hanya teliti. Ada hal-hal yang sulit untuk
disampaikan. Walaupun begitu, aku tetap ingin kau tau. Bagaimana? Bukan hujan
itu yang menerangkan, atau gelungan ombak. Sajak itu.
Walaupun
kakiku sedang menghentak angkasa, mataku nyalang menatapmu, atau tanganku yang
terkepal hendak memukul bumi agar bungkam. Tetap saja, pada akhirnya, kau akan
menemukan apa yang kusembunyikan. Sajak tidak akan berkhianat. Kita sendirilah
yang berkhianat. Dengan berbohong untuk menyembunyikan sebuah kata atau mencuri
sebuah kata dari pangkuan.
Aku
tidak ingin kau tau semua hal. Tidak semua hal itu sanggup kau pikul sendiri.
Kata-kata itu, selalu berat untuk dipertanggung jawabakan. Makanya, sajak menyimpan
rahasiaku. Karena kau tak sanggup.
Mengetahui
berarti memahami. Aku tidak ingin kau memahamiku. Memahami artinya bisa saja
aku tetap menetap. Tidak. Akulah penjelajah itu. Yang menyelami pikiran,
merakit kata-kata, tanpa satupun yang tau kemana kelak aku akan berhenti.
Sepertinya,
bukan kau yang tak sanggup. Melainkan aku. Karena tak sanggup, aku meletakkan
apa yang ingin ku ucapkan kepada sajak-sajak itu. Jangan pahami aku. Pahami
saja sajak itu. Jangan cari tau tentangku. Cari tau saja kebenaran yang
disimpan rapat oleh sajak licik itu.
Aku
bukannya susah untuk diselami pikirannya, tapi bagaimana jika kau selami
pikiranku, lalu pikiranku malah berbalik padamu? Jangan terlalu dekat, tapi
jangan pula jauh-jauh dariku. Aku tak mampu kalau itu. Aku hanya tak ingin
hatiku seperti bulan separo. Hilang karena mengejarmu.
07 Okt 2016
Untuk Tuan Teduh
0 komentar:
Posting Komentar